Tafsir Teologis dalam Perbincangan (Bagian Akhir)
Dalam kondisi seperti ini, gaya hidup manusia dan ajaran yang diterapkan dalam masyarakat manusia adalah aturan-aturan dan perintah-perintah yang diinginkan manusia berdasarkan tuntutan fitrahnya. Oleh karena itu, al-Qur’an mengatakan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah); (tetaplah di atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Al-Rum: 30)
- Hubungan Al-Qur’an dengan keyakinan yang Paling Dasar
Hubungan al-Qur’an dengan keyakinan-keyakinan kalami yang paling pertama dan paling dasar adalah ajaran-ajaran tauhid al-Qur’an yang kami akan mengisyaratkan sebagiannya. Terkait dengan penciptaan Allah Swt dalam menciptakan seluruh alam, al-Qur’an mengatakan, “Berkata rasul-rasul mereka: “Apakah ada keragu-raguan terhadap Allah, Pencipta langit dan bumi? Dia menyeru kamu untuk memberi ampunan kepadamu dari dosa-dosamu dan menangguhkan (siksaan)mu sampai masa yang ditentukan?” Mereka berkata: “Kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami. Kamu menghalang-halangi kami dari sembahan nenek moyang kami, karena itu datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” (QS. Ibrahim: 10).
Tampaknya dalam ayat ini, penggunaan al-Qur’an pada kata fathir yang sebagian mufassir mengisyaratkan tentang makna yang paling teliti dari kata fathir dibandingkan dengan kata khaliq. Selanjutnya, setelah menjelaskan wujud al-Haqq, al-Qur’an juga mengemukakan tauhid dzat dalam pelbagai ayat-Nya, di antaranya: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya telah rusak binasa. Maka Mahasuci Allah yang mempunyai ‘Arsy dari apa yang mereka sifatkan.” (QS. Al Anbiya’: 22).
Dalam ayat ini, al-Qur’an secara resmi berargumentasi dengan metode rasional terhadap tauhid, dimana metode ini secara khusus, sangat memiliki kedudukan yang istimewa dalam disiplin ilmu kalam. Sifat-sifat Allah, salah satu pembahasan kalam dan i’tiqad lainnya yang juga diperhatikan oleh al-Qur’an, dan banyak ayat yang menyinggung masalah jamal dan kamal Allah sebagaimana tentang qudrah Allah Swt.
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah itu ialah al Masih putra Maryam.” Katakanlah: “Maka siapakah yang dapat menghalang-halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan al Masih putra Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi kesemuanya?” Kepunyaan Allah lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al-Maidah: 17).
Dan menurut pandangan al-Qur’an, Allah Swt, bukan hanya dalam maqam zat dan sifat, bahkan dalam maqam fi’l pun juga memiliki keindahan yang mutlak, dan apa pun yang diciptakan-Nya itu indah. Oleh karena itu, dalam ayat yang lain dikatakan: “Yang membuat segala sesuatu yang Dia ciptakan sebaik-baiknya dan Yang memulai penciptaan manusia dari tanah.” (QS. Al-Sajdah: 7).
- Hubungan Alquran dengan Masalah Hari Akhir (Eskatologi)
Eskatologi atau ma’ad adalah salah satu prinsip utama agama Islam dan termasuk dharuriyyat ad-din). Oleh karena itu, al-Qur’an dalam banyak ayat menyinggung masalah ma’ad dan menafikan segala bentuk keraguan tentangnya. Dan dalam banyak kesempatan, al-Qur’an mengingatkan perihal kekuasaan mutlak Allah Swt bagi manusia supaya menambah bashirah dalam hal ini dan menghilangkan anggapan jauh terkait dengan penciptaan pertama kali segala sesuatu. “Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kami menciptakannya dari setitik air (mani, maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata! Dan dia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:” Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?” Katakanlah:” Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha Mengetahui (tentang segala makhluk).” (QS. Yasin: 77-79).
Dalam ayat yang lain dikatakan, “Allah, tidak ada Tuhan selain Dia. Sesungguhnya Dia akan mengumpulkan kamu di Hari Kiamat, yang tidak ada keraguan terjadinya. Dan siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (QS. Al-Nisa’: 87).
Dalam ayat ini pun ditegaskan tidak adanya sedikit pun keraguan tentang ma’ad, dan hal tersebut dinafikannya. Jadi, ma’ad menurut pandangan al-Qur’an adalah hal yang pasti terjadi dan saat itu, seluruh manusia akan mendapatkan hasil dari amal-amal perbuatannya.
Hubungan Ilmu Kalam dengan Al-Qur’an serta Tafsir
Hubungan Ilmu Kalam dengan al-Qur’an serta Tafsir adalah hubungan yang sangat dalam. Hubungan ini paling tidak dapat dianalisa dari tiga dimensi:
- Mayoritas mazhab Islam menganggap bahwa illmu Kalam adalah ilmu yang legal. Lalu, apa peran al-Qur’an dalam perkembangan dan kemunculan ilmu Kalam?
- Mengingat bahwa umumnya para pakar ilmu-ilmu al-Qur’an menerima bahwa untuk menafsirkan al-Qur’an diharuskan seseorang menguasai ilmu yang dianggap dharuri bagi mufassir, lalu apakah illmu Kalam dapat dianggap termasuk ilmu ini? Bila jawabannya ya, maka apa peran ilmu Kalam dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat?
- Sejauh mana pengaruh pandangan-pandangan dan prinsip-prinsip kalam dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an?
Untuk menjawab pertanyaan pertama harus dikatakan asal muasal dan sumber ilmu Kalam terjadi setelah munculnya Islam. Oleh karena itu ayat-ayat i’tiqadi dalam al-Qur’an menyebabkan perkembangan ilmu ini.
Dari sisi lain hubungan ilmu Kalam dan al-Qur’an serta tafsir itu juga sangat penting. Sebab, banyak dari asumsi-asumsi teologis atau keyakinan itu berpengaruh dalam pemahaman benar atau salahnya ayat-ayat. Dengan kata lain, diperlukan adanya hipotesa untuk memahami dan menafsirkan ayat-ayat adalah sebuah hakikat yang diakui oleh seluruh kalangan.
Adanya asumsi-asumsi dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat dalam benar atau tidak benarnya itu menjadi pembahasan dan dialog para pakar mazhab-mazhab Islam. Di sini perlu dianalisa sejauh mana keterpengaruhan prinsip-prinsip kalam dalam pemahaman dan penafsiran ayat-ayat.
Perlu dicatat bahwa banyak para pakar menilai bahwa yang dimaksud tafsir bil ra’yi yang dalam banyak riwayat dikecam adalah memaksakan pandangan-pandangan dan asumi-asumsi yang belum terbukti kebenarannya terhadap al-Qur’an. Dengan kata lain, mufassir sebelum masuk kepada al-Qur’an menganggap bahwa prinsip pandangan teologinya itu hal yang pasti dan shahih lalu ia berusaha mencari ayat-ayat yang dianggap harmonis dengan dengan prinsip-prinsip teologis yang diyakininya tersebut. [By. Muhammad Alkaf)