Saling Menyapa dengan Mesra dan Sopan
Euis Daryati, MA_____ Imam Shadiq a.s. berkata, “Senyum dan bermuka ramah terhadap sesama muslim memiliki pahala satu kebaikan.” (Biharul Anwar, jilid 75, hal 145)
Sayangnya, banyak dari kita yang terbiasa obral senyum dan bermuka ramah kepada orang lain, namun justru pelit senyum dan bermuka masam kepada belahan jiwa, suami atau istri. Di masa bulan madu, ungkapan, panggilan, dan kata-kata yang keluar dari pasangan suami istri biasanya penuh kasih sayang, kemesraan, dan kesopanan, yayangku, cintaku, jantung hatiku, belahan jiwaku, istriku tersayang, suamiku tersayang, istriku tercinta, suamiku tercinta… Pengantin baru biasanya sangat menjaga perasaan pasangannya sehingga menghindari kata-kata dan panggilan yang menyakitkan dan sinis.
“Tolong ambilkan bajuku dong, Say..!”
“Tolong antarkan aku ke pasar ya, Yang?”
“Yayang tidak sedang repot kan? Tolong buatkan teh hangat buatku ya?”
“Darling, kalau sudah tidak capek lagi, tolong angkatin jemuran ya…”
Seiring dengan berlalunya waktu, terjadi pula perubahan dalam gaya bicara.
“Ma! Bajuku mana?! Cepetan! Udah hampir telat nih!”
“Ayo dong Pa! Lama amat?! Anterin Mama ke pasar!”
“Tehnya mana? Dari tadi ditungguin!”
“Paaa..! Angkatin jemuraaan..! Keburu hujan tuh!”
Ketika usia bertambah, anak-anak juga semakin besar, mungkin muncul perasaan sungkan, “Masa sih sudah tua harus panggil sayang-sayangan…malu dong sama anak-anak!” Padahal kita bisa menyiasatinya. Bila ketika belum punya anak, ungkapan yang digunakan, “Sayangku…!”, ketika sudah ada anak, kita bisa menggunakan ungkapan “Mama sayang…” atau “Papa sayang…”.
Ungkapan-ungkapan mesra seperti ini kendati kelihatannya sepele, namun dampaknya sangat luar biasa dalam membina rumah tangga yang harmonis. Selain memberikan dampak positif terhadap pasangan suami-istri, yaitu menambah rasa cinta dan kasih sayang, juga akan memberi pengaruh terhadap anak-anak. Anak-anak akan merasa bahagia bila melihat kedua orang tuanya senantiasa rukun dan saling mencintai. Mereka juga belajar untuk saling menyayangi sesama anggota keluarga. Kelak ketika menikah, mereka pun terbiasa untuk berkata-kata yang baik kepada pasangan.
Selain sapaan sayang, kata-kata yang sopan pun harus tetap dipertahankan. Sayangnya, ketika pengantin baru, suami bisa menahan diri untuk tidak mengkritik masakan istrinya. Namun, setelah jadi pengantin jadul, dengan entengnya berkata, “Yah…ini lagi…ini lagi masakanya! Gak kreatif amat sih Ma! Kalau masak jangan yang bikin bosen dong!”
Padahal, dalam sebuah riwayat disebutkan, “Orang mukmin makan sesuai kesukaan keluarganya, sedangkan orang munafik makan sesuai kesukaan dirinya.”(Wasail Asy-Syi’ah jilid 15, hal 250). Bila suami tidak menyukai masakan istri, bersabarlah, atau sampaikan keluhan dengan baik-baik
Sebaliknya, sang istri pun, saat pengantin baru dengan sabar menerima penghasilan suami berapapun adanya. Namun, setelah jadi pengantin jadul, “Pa! Kerja yang bener dong! Hari gini duit segini bisa dapat apa? Mama pusing tau, harga-harga naik semua!”
Padahal, Imam Ali as berkata, “Orang mukmin adalah orang menjauhi kata-kata kasar dan perkataannya lemah lembut.” (Nahjul Balaghah, Khutbah ke-192). Sampaikanlah keluhan dengan lemah lembut dan sopan kepada suami, sesuai pesan Imam Ali as kepada kita semua.
Rasulullah Saw dan para Imam as telah memberikan panduan agar para pengikutnya selalu melakukan kebiasaan terpuji, yaitu berbicara dengan baik dan sopan, serta bermuka ramah terhadap orang lain. Tentunya, pasangan kita adalah termasuk orang yang paling utama untuk diperlakukan sebagaimana tuntunan Nabi Saw dan para Imam as. Tidak selayaknya, suami atau istri berkata kasar terhadap pasangannya, karena hal itu akan merusak keharmonisan rumah tangga dan menimbulkan kebencian di antara keduanya.
Imam Ali as berkata, “Berbicaralah dengan baik, tentu engkau akan mendengar jawaban yang baik pula.” (Ghurar wa Durar, jilid 2, hal 266)
Dalam riwayat lain Imam Ali as berkata, “Jauhilah kata-kata kasar, karena hal itu akan menjadikan hati penuh dengan rasa marah dan kebencian.” (Ghurar wa Durar, jilid 2, hal 298)
Imam Shadiq as berkata, “Bermuka ramah kepada orang adalah sebagian akal.” (Biharul Anwar, jilid 76, hal 60)
Dalam bukunya, Dastan Rastan, Syahid Murtadha Muthahari membawa kisah seorang sahabat mulia bernama Sa’ad bin Muadz dari kaum Anshar yang ketika wafat dimandikan, dikafani dan dishalatkan oleh Rasulullah Saw. Bahkan tidak cukup sampai di situ, Rasulullah Saw menjadikan jubahnya menjadi bagian kain kafannya dan dikuburkan. Tentu para sahabat merasa takjub atas perlakukan istimewa tersebut dan mengatakan kepada Rasulullah Saw bahwa betapa bahagianyanya Sa’ad bin Muadz, ia pasti langsung masuk surga dengan syafaat Rasulullah Saw tersebut. Namun, Rasulullah Saw mengatakan bahwa tidak seperti itu, bahwa Sa’ad dengan segala kemuliaannya ia tengah menghadapi siksa kubur, kuburnya menjadi sempit baginya karena perilaku buruk dan kasar keluarganya atau anak dan istrinya.
Kisah tersebut menjelaskan betapa pentingnya berkata baik, lembut dan tidak kasar kepada keluarga, terkhusus istri. Perlakukan buruk dan kasar, meskipun berupa ucapan balasannya sangat sulit di akhirat. Oleh karena itu, bila kita mengamalkan semua panduan Rasulullah dan para Imam as ini dalam kehidupan rumah tangga, insyaAllah akan menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahamah.