Silaturahim Dalam Riwayat Maksumin (Bagian Terakhir)
Dosa besar memutus silaturahim
Banyak riwayat yang menyebutkan tentang dosa besar memutus silaturahim, diantaranya sebagai berikut:
Imam Ali Zainal Abidin As-Sajjad dalam sebuah wasiat kepada putera beliau berkata, “Jauhilah orang yang memutus silaturahim karena aku mendapatkannya dilaknat dalam 3 tempat di Alquran…” lalu beliau membaca QS. Muhammad [47]: 22,[1] QS. Ar-Ra’d [13]: 24,[2] dan QS. Al-Baqarah [2]: 27[3] yang menjelaskan laknat atas orang yang memutus silaturahim.[4]
3) Beberapa contoh sikap para imam maksum dalam silaturahim
* Salah seorang sahabat Imam Shadiq a.s. bernama Daud Raqiy punya sepupu yang berkayakinan menyeleweng dan acuh terhadap agama. Ia selalu menyusahkan dan mengganggu anggota keluarganya dan juga Daud. Namun Daud masih tetap menjaga hubungan silaturahim dengannya, bahkan ketika hendak melakukan perjalanan ke Makkah, Daud memberikan sejumlah uang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Daud berkata, “Dalam perjalanan ke Makkah, aku mampir ke Madinah dan menghadap Imam Shadiq a.s. Tanpa mukadimah dan belum sempat aku berkata sesuatu, beliau langsung memandangku dan berkata, “Wahai Daud! Seluruh amal perbuatan pada hari Kamis ditunjukkan kepadaku, di antaranya adalah perbuatan baikmu yaitu tetap menyambung silaturahim dengan saudara sepupumu yang bernama si polan. Perbuatanmu ini telah membuatku senang…””[5]
* Cucu Imam Sajjad yang bernama Husein bin Ali Ashghar bin Al-Husein dikenal dengan sebutan Hasan Afthas adalah sepupu Imam Shadiq a.s. Ia menjadi panglima (pemegang bendera) dalam peristiwa kebangkitan Muhammad bin Abdullah bin Hasan Mutsanna yang dikenal dengan Nafs Zakiyah melawan Mansur Dawaniqi. Setelah syahadah Nafs Zakiyah, ia bersembunyi untuk menghindari kejaran Mansur.
Imam Shadiq a.s. dalam pertemuan dengan Mansur memediasi supaya Mansur memberikan pemaafan kepada Hasan Afthas dan akhirnya memaafkannya.
Imam Shadiq a.s. sering membantu dan menunjukkan rasa sayangnya, meski ia terkadang bersikap kasar terhadap beliau dan bahkan pernah mengarahkan pisau ke arah beliau.
Namun setelah peristiwa itu pun Imam Shadiq tetap tidak melalaikan budaya Islam silaturahim dan menjaga hubungan kekeluargaan.[6]
Salah seorang pelayan perempuan Imam Shadiq a.s. bernama Salimah berkata, “Sesaat sebelum junjunganku Imam Shadiq a.s. dijemput syahadah, beliau membuka kedua matanya dan mewasiatkan tentang keluarga beliau sambil berucap, “Berikan 70 dinar kepada Hasan Afthas dan sejumlah uang kepada si polan dan…”
Salimah bertanya, “Apakah Anda mewasiatkan supaya memberikan sejumlah uang kepada orang yang bersikap kasar terhadap Anda dan bahkan pernah menghunuskan pisau ke arah Anda?”
Imam Shadiq menjawab, “Apakah aku tidak berhak tercakup dalam ayat berikut ini: “(Orang-orang berakal) adalah orang-orang yang menyambungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya disambungkan [yaitu menyambung silaturahim dan hubungan kekeluargaan], dan mereka takut kepada Tuhan mereka dan takut kepada hisab yang buruk. * Dan orang-orang yang sabar karena mencari keridhaan Tuhan mereka, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik).”[7]
Wahai Salimah! Allah swt. menciptakan surga dan menjadikannya suci dan harum yang dapat tercium bahkan dari jarak 2 ribu tahun perjalanan, akan tetapi tidak dapat dicium oleh orang yang durhaka kepada orang tuanya dan memutus silaturahim dengan keluarganya.”[8]
Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa silaturahim harus tetap dijaga meski terhadap orang yang membalas kebaikan dengan keburukan. Silaturahim tidak hanya terbatas dengan kunjungan atau saling sapa, namun hal-hal seperti menghindarkan kerugian, menolong dari sisi finansial dan… (untuk keluarga) termasuk dalam kategori silaturahim.
– Abdullah bin Hasan Mutsanna yang dikenal dengan Abdullah Mahdl (cucu Imam Hasan Al-Mujtaba dari anak lelaki beliau dan cucu Imam Husein a.s. dari anak puteri beliau) termasuk orang yang melakukan perlawanan terhadap Mansur Dawaniqi (thaghut Abbasi kedua) dan menemui syahadah.
Tentang perlawanan ini dan tidak berbaitnya Imam Shadiq kepada puteranya bernama Muhammad terjadi perdebatan sengit. Sedemikian sengit sehingga suara yang terdengar semakin meninggi dan menarik perhatian banyak orang. Hingga tengah malam masing-masing tetap bersikukuh dengan pendapatnya dan akhirnya keduanya berpisah.
Disebutkan bahwa Imam Shadiq pada dini harinya berdiri di samping rumah Abdullah bin Hasan dan menyuruh sahaya Abdullah untuk memanggilnya.
Abdullah datang dan menyapa Imam Shadiq a.s., “Wahai Aba Abdillah! Kenapa engkau datang sepagi ini?”
Imam Shadiq a.s. menjawab, “Tadi malam aku membaca sebuah ayat Alquran yang membuatku khawatir.”
“Ayat yang mana?” tanya Abdullah.
Imam Shadiq berkata, “Ayat 21 dalam surat Ar-Ra’d yang menyebutkan: “(Orang-orang berakal) adalah orang-orang yang menyambungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya disambungkan [yaitu menyambung silaturahim dan hubungan kekeluargaan], dan mereka takut kepada Tuhan mereka dan takut kepada hisab yang buruk.”
Abdullah menjawab, “Benar yang Anda sampaikan, seolah-oleh aku belum pernah membaca ayat ini dalam Kitabullah.” Kemudian Abdullah dan Imam Shadiq a.s. saling merangkul dan untuk beberapa saat saling menangis (sebagai tanda silaturahim dan menyambung tali rahim kembali.”[9]
Riwayat ini dengan tegas menjelaskan bahwa silaturahim harus dijaga, meski terhadap keluarga yang fasik dan sesat.
=========================
[1] “Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?”
“ فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ.”
[2] “(Sambil mengucapkan): “Salamun ‘alaikum bima shabartum” (keselamatan atas kalian berkat kesabaran kalian). Maka Alangkah baiknya tempat kesudahan itu.”
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ بِمَا صَبَرْتُمْ فَنِعْمَ عُقْبَى الدَّارِ
[3] “(Yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi.”
“الَّذِينَ يَنْقُضُونَ عَهْدَ اللَّهِ مِنْ بَعْدِ مِيثَاقِهِ وَيَقْطَعُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيُفْسِدُونَ فِي الْأَرْضِ أُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ.”
[4] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 377.
[5] Bihar, jilid 74, halaman 93.
[6] Safinah Al-Bihar, jilid 1, halaman 268.
[7] QS. Ar-Ra’d (13): 21 – 22.
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ ﴿۲۱﴾ وَالَّذِينَ صَبَرُوا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنْفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً وَيَدْرَءُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُولَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ﴿۲۲﴾
[8] Furu’ Kafi, jilid 7, halaman 55; Anwar Al-Bahiyah, halaman 267; Bihar, jilid 74, halaman 96:
و ان ريحها ليوجد من مسيرة الفی عام فلا يجد ريحا عاق و لا قاطع رحم
[9] Disebut Abdullah Mahdl karena dari pihak ayah dan ibu (Fatimah puteri Imam Husein) keturunan sayid [Tatimmah Al-Muntaha, halaman 128].