Silaturahim Dalam Riwayat Maksumin (Bagian Pertama)
Salah satu prinsip akhlak yang memiliki kedudukan tinggi dalam kehidupan para Imam Maksum a.s. adalah silaturahim (ikatan dan jalinan hubungan baik dengan sanak keluarga). Prinsip ini termasuk kewajiban yang sangat ditekankan dan penting. Lawannya yaitu qath’urahim (memutus silaturahim) dianggap sebagai dosa besar yang balasan di akhiratnya sangat berat, juga termasuk dosa yang balasannya cepat ditimpakan, bahkan akan dirasakan oleh pelakunya langsung di dunia ini.
1) Arti ‘rahim’ dalam silaturahim dan signifikansinya
‘Rahim’ pada dasarnya memiliki arti keluarga. Menurut ‘urf dan bahasa dapat mencakup seluruh keluarga dari pihak perempuan dan lelaki, jauh atau dekat, meskipun silaturahim untuk yang lebih dekat lebih ditekankan.
Syahid Awal (Muhammad bin Makki, meninggal 787 H) dalam kitabnya Qawa’id memilih arti luasnya dan menolak pendapat sebagian ulama Ahlu Sunnah yang memandang silaturahim hanya terbatas terhadap keluarga yang mahram saja.
Beliau berkata, “Kata rahim menurut bahasa, ‘urf dan riwayat memiliki arti yang luas dan mencakup seluruh keluarga jauh dan dekat.”
Kemudian beliau membawakan ayat Alquran sebagai dalilnya: “Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? * Mereka itulah orang-orang yang dila’nati Allah…”[1]
Dalam tafsir Ali bin Ibrahim dinukil ucapan Imam Ali a.s.: Ayat ini turun berkenaan dengan Bani Umayyah.
Berdasarkan ucapan Imam Ali terkait ayat di atas dapat dipahami bahwa rahim mencakup keluarga jauh juga, karena Bani Umayyah memiliki hubungan kekeluargaan jauh.[2]
Penulis berkata: Tentang luasnya makna rahim juga terdapat beberapa riwayat lain di antaranya sebagai berikut:
Rasulullah saw. bersabda: Pada malam mi’raj saat dibawa ke langit, aku melihat seseorang yang menggantungkan diri ke arasy Allah dan mengadukan salah satu rahimnya (familinya). Aku bertanya, “Berapa jarak antara engkau dan dia dari pihak ayah?”
“40 ayah,” jawabnya.[3]
Terkait signifikansi salaturahim dan balasan qath’urahim terdapat banyak ayat dan riwayat, di antaranya sebagai berikut:
- Rasulullah saw. bersabda, “Aku wasiatkan kepada umatku hingga hari kiamat, baik yang ada (pada saat itu) atau yang tidak ada dan benih-benih yang masih berada di sulbi dan rahim supaya menyambung rahim meski jarak perjalanan yang harus ditempuh adalah setahun, karena hal itu merupakan bagian dari agama.”[4]
- Imam Baqir a.s. berkata, “Silaturahim dapat memperbaiki akhlak, menciptakan kedermawanan, membersihkan jiwa, menambah rezeki, dan menunda ajal.”[5]
- Seseorang datang kepada Nabi saw. dan berkata, “Beritahukan kepadaku perkara yang paling baik dalam Islam!” Nabi saw. menjawab, “Iman kepada Allah.” “Lalu apa?” sahutnya. “Silaturahim,” jawab Nabi.[6]
- Nabi saw. juga bersabda, “Kebaikan yang paling cepat memperoleh ganjaran adalah silaturahim.”[7]
- Imam Shadiq a.s. berkata kepada salah satu sahabat beliau bernama Muyassir, “Sesungguhnya ajalmu berkali-kali telah tiba, namun semuanya ditangguhkan oleh Allah swt karena engkau menyambung silaturahim dan berbuat baik kepada keluargamu.”[8]
- Rasulullah saw bersabda, “(Pahala) shadaqah 10 kali lipat, menyambung hubungan dengan saudara (seagama) 20 kali lipat, dan menyambung silaturahim 24 kali lipat.”[9]
Batas dan cakupan silaturahim
Batasan silaturahim menurut riwayat sangat luas sekali dan harus benar-benar dijaga dalam berbagai keadaan, meski ketika keluarga yang memutuskan silaturahim terlebih dahulu, atau mereka sebagai pendosa dan orang-orang sesat, silaturahim tetap menjadi kewajiban. Satu hal yang dikecualikan yaitu ketika silaturahim membuat kita terbawa kepada kesesatan dan melenceng dari jalan haq.
Coba kita perhatikan riwayat berikut ini:
“Seseorang datang ke hadapan Nabi saw. dan berkata, “Seluruh keluarga dan familiku telah memutuskan hubungan rahim (kekeluargaan). Mereka juga mengatakan hal buruk tentangku. Apakah perlu aku bersikap sama seperti sikap mereka dan memutus hubungan silaturahim?”
Nabi saw. menjawab, “Engkau sambung hubungan dengan orang yang memutuskanmu, engkau beri orang yang tidak memberimu, engkau maafkan orang yang menzalimimu, karena Allah akan menjadi penolongmu terhadap mereka bila engkau melakukan hal-hal tersebut.”[10]
2) Berbagai bentuk silaturahim
Model silaturahim bergantung kepada proporsi ‘urf (kebiasaan yang berlaku) dan memiliki berbagai bentuk di berbagai lingkungan. Bentuk minimnya adalah bertemu, saling berkunjung, dan menanyakan keadaan. Bentuk lain adalah tidak mengganggu (menyakiti) sanak keluarga, membantu dan membela hak mereka dengan lisan dan perbuatan.
Berikut ini beberapa ucapan dari para imam maksum a.s.:
- Imam Shadiq a.s.:
“Sambunglah tali rahimmu meski hanya dengan memberikan air putih dan paling afdalnya silaturahim adalah tidak menyakiti/mengganggu mereka.”[11]
- Nabi saw.:
“Perbaruilah silaturahim kalian meski hanya dengan mengucapkan salam.”[12]
Almarhum Syahid Awal dalam kitab Qawa’idnya berkata, “Silaturahim kepada kedua orang tua yang miskin dengan bantuan finansial wajib hukumnya, namun kepada sanak saudara lainnya yang miskin hukumnya sunnah.”
Beliau melanjutkan, “Derajat silaturahim tertinggi ketika seseorang menjalin hubungan yang erat dan akrab dari hatinya yang paling dalam kepada kerabatnya, kemudian mencegah bahaya atau kerugian dari mereka dan memberikan manfaat… dan tingkat paling rendah dari silaturahim adalah mengucapkan salam kepada mereka, mendoakan mereka saat tidak ada, dan menyanjung mereka saat ada.”
Menurut beliau, silaturahim terbagi menjadi dua bagian:
- Wajib
- Sunnah
Silaturahim yang wajib ketika mencegah seseorang untuk memutuskannya, karena memutus silaturahim termasuk dosa besar yang wajib untuk ditinggalkan. Silatudahim sunnah adalah selain itu.[13]
=========================
[1] QS. Muhammad [47]: 22 – 23.
“فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ * أُولَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ…”
[2] Bihar, jilid 74, halaman 110 – 111.
[3] Khishal Shaduq, jilid 2, halaman 111; Bihar, jilid 74, halaman 91.
[4] Ushul Kafi, jilid 2, halaman 151:
“أُوصِي الشَّاهِدَ مِنْأُمَّتِي وَالْغَائِبَ مِنْهُمْ وَمَنْ فِي أَصْلَابِ الرِّجَالِ وَأَرْحَامِ النِّسَاءِ إِلَى يَوْمِ الْقِيَامَةِ: أَنْ يَصِلَ الرَّحِمَ وَإِنْ كَانَتْ مِنْهُ عَلَى مَسِيرَةِ سَنَةٍ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنَ الدِّينِ.”
[5] Ibid, halaman 152:
“صِلَةُ الارحامِ تُحَسِّنُ الخُلُقَ وَ تُسمِحُ الكَفَّ و َتُطيبُ النَّفسَ وَ تَزيدُ فِى الرِّزقِ و َتُنسِئُ فِى الاَجَلِ.“
[6] Bihar, jilid 74, halaman 97.
[7] Ibid, halaman 99:
“ اَعجَلُ الخَيرِ ثَوابا صِلَةُ الرَّحِمِ “
[8] Ibid:
“قد حضر اجلك غير مرة، کل ذلك يؤخرك الله بصلتك رحمك و برك قرابتك.”
[9] Ibid, jilid 74, halaman 311:
“اَلصَّدَقَةُ بِعَشرَةٍ وَ صِلَةُ الاِخوانِ بِعِشرينَ وَصِلَةُ الرَّحِمِ بِاَربَعَةٍ وَعِشرينَ.“
[10] Ushl Kafi, jilid 2, halaman 150:
“تصل من قطعك، و تعطی من حرمك، و تعفوا عمن ظلمك فانك اذا فعلت ذلك کان لك من الله عليهم ظهيرا.”
[11] Ibid, halaman 151:
“ صل رحمك و لو بشربه من ماء، و افضل ما توصل به الرحم کف الاذی عنها.”
[12] Bihar, jilid 74, halaman 111.
“بلوا ارحامکم و لو بالسلام.”
[13] Ibid.