Syaikh Thusi: Guru Agung Mazhab
Bernama lengkap Abu Ja‘far Nashiruddin Muhammad bin Muhammad bin Hasan Thusi, atau yang biasa dikenal dengan Nashiruddin Thusi, lahir pada hari Sabtu, 11 Jumadil Ula 597 H (18 Februari 1201 M), di sebuah daerah bernama Thus. Kota ini sebelumnya bernama Senapad. Berdasarkan pandangan sebagian sejarawan, keluarga Thusi berasal dari sebuah daerah bernama Jahrud. Ayahnya, Muhammad bin Hasan, adalah seorang faqih, ulama, dan ahli hadis (muhaddits) tersohor di kota Thus. Dia berdomisili di sana sampai tahun 408 H, dan selama itu dia mempelajari ilmu-ilmu dasar yang populer pada zamannya (Ali Dawani, Hizarehye Syaikh Thusi, hlm. 4).
Menuju Baghdad
Syaikh Thusi pada usianya yang kedua puluh tiga merasakan kota Thus terlalu kecil bagi perkembangan dan perjalanan spiritual dia, sehingga menurutnya harus berhijrah ke kota Baghdad untuk dapat menimba ilmu dan pengalaman yang lebih berlimpah dari para guru terkemuka pada zamannya seperti Syaikh Mufid dan Sayyid Murtadha. Itulah sebabnya ia memutuskan berhijrah ke Baghdad pada 408 H (Muhsin Amin Amili, A’yan Al-Syi’ah, jld. 9, hlm. 159).
Pada zaman itu, Baghdad merupakan kota ilmu yang disegani. Kuliah Syaikh Mufid telah mengundang kehadiran para ulama dari berbagai penjuru dunia. Syaikh Thusi sama sekali tidak merasa asing di lingkungan ilmu tersebut. Ia senantiasa gemilang duduk di bangku kuliah tokoh jenius, Syaikh Mufid, selama lima tahun. Kehadiran pelajar muda yang baru berusia dua puluh tiga tahun di kuliah tokoh spiritual umat Syiah dan di sisi pelajar-pelajar senior seperti Sayyid Murtadha dan saudaranya, Sayid Radhi, begitu pula Najasyi, Abul Fath Karajki, dan Muhammad bin Hasan Hamzah. Mereka semua merupakan tokoh ulama Syiah, menunjukkan betapa istimewanya kedudukan intelektual dan spiritual Syaikh Thusi.
Syaikh Thusi telah mencapai tingkat ijtihad pada usia mudanya, dia menulis buku Tahdzib al-Ahkam, yang populer dan senantiasa menjadi perhatian masyarakat Syiah, pada periode ini dan atas usulan guru besarnya, Syaikh Mufid (Agha Buzurg Tehrani, Al-Dzari’ah, jld. 4, hlm. 504; Mirza Muhammad Baqir Khansari, Rawdhat Al-Jannat, jld. 6, hlm. 23)
Buku ini menjadi bukti nyata atas tingkat ijtihad Syaikh Thusi dan kemampuannya yang luar biasa di berbagai bidang ilmu seperti fikih, ushul fikih, dan rijal, padahal ketika itu usia dia tidak lebih dari tiga puluh tahun.
Matahari Arsy
Pasca wafatnya Sayyid Murtadha, Syaikh Thusi mengemban tugas kepemimpinan mazhab Syiah selama dua belas tahun di Baghdad. Jangkauan pandangnya yang sangat jauh ke depan telah membuka lembaran-lembaran emas sejarah Islam dan khususnya Syiah dan menampilkannya secara luar biasa.
Betapa banyak, pada periode itu, peneliti dan fakih yang mendatangi kuliah Syaikh Thusi dari berbagai penjuru dunia Islam untuk menimba ilmu dan menemukan jawaban atas problem intelektual mereka sesuai dengan kapasitas mereka masing-masing. Sejarah mencatat ada sekitar tiga ratus pelajar mujtahid, yakni pelajar yang sampai tingkat tinggi ijtihad, yang secara rutin duduk di bangku kuliahnya, bahkan tidak terhitung jumlah ulama Ahli Sunnah yang turut hadir dalam kelasnya (Agha Buzurg Tehrani,Muqddimah Al-Tibyan, jld. 1).
Ishaq bin Babuwaih Qumi, Abu Shalah Halabi, Abu Ali Thusi putra Syaikh, Sa’duddin bin Barraj, Syahrasyub Sarawi Mazandarani, Abdul Jabbar bin Abdullah Muqri Razi, Muhammad bin Hasan Fattal, Karajki, Husain bin Fatah Jurjani, Ja’far bin Ali Husaini, Abusshalbat Muhammad bin Abdulqadir, Nasir bin Ridha Alawi, Ghazi bin Ahmad Samani dan puluhan ulama lainnya adalah murid-murid Syaikh Thusi yang menonjol (ibid.).
Pada tahun empat ratus empat puluh tujuh hijriah, Thagar Biek Saljuki dan pasukan bersenjatanya menyerang kota Baghdad dan memorakporandakan tempat-tempat pemukiman masyarakat Syiah di sana, di samping menumpahkan darah orang-orang tak berdosa dan tak berdaya juga membakar perpustakaan Abu Nashr Syapur bin Ardasyir yang sangat besar. Bahkan mereka membakar puluhan al-Qur’an yang sangat berharga di perpustakaan itu (Ibnu Atsir, Al-Kamil fi Al-Tarikh, jld. 6, hlm. 21). Di tengah pendudukan dan penjajahan yang berlanjut sampai tahun 451 H ini, perpustakaan pribadi Syaikh Thusi dan karya tulisnya hangus terbakar. Tepatnya pada bulan Safar 449 H, mereka menyerang rumah Syaikh Thusi dan mengusung seluruh barang dan peralatan rumahnya sampai ke alun-alun kota lalu membakarnya (Khairuddin Zarkali, Al-A’lam, jld. 6, hlm. 84).
Kejadian pahit ini mendorong dia untuk berhijrah lagi ke tempat lain agar dapat menjaga peninggalan kultural dan juga menyelamatkan ulama Syiah. Akhirnya dia berhijrah ke Najaf. Pada tahun-tahun pertengahan abad ke-5 ini terjadi berbagai tragedi berdarah yang sangat menyedihkan. Kejadian-kejadian itu secara terperinci telah dicatat baik oleh buku-buku sejarah Syiah maupun Ahli Sunnah (sebagai contoh, lih. Ibnu Atsir, al-Kamil fi Al-Tarikh; Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa Al-Nihayah).
Hijrah ke Muara Rindu
Najaf telah mengalami banyak perubahan pada masa Kesultanan Dailami seperti Muizud Daulah, Adhudud Daulah dan kementerian beberapa tokoh Syiah dari kalangan mereka. Mereka mewakafkan barang-barang berharga untuk pemakaman Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Para sultan itu sendiri sering datang untuk berziarah ke makam suci beliau. Jenazah mereka pun dikubur di salah satu ruangan di sana sesuai wasiat yang mereka tinggalkan. Namun demikian, pada saat kedatangan Syaikh Thusi ke Najaf (448 H), daerah ini tidak lagi gemerlap seperti pada masa Alu Buwaih. Tidak lagi ramai pendatang seperti dulu, melainkan fanatisme yang bodoh dan mematikan telah memadati semua daerah dan rasa ketakutan mencekam seluruh penjuru Irak (Hizareh Syaikh Thusi, jld. 1, hlm. 19 dan 20).
Namun dari satu sisi, ada orang-orang Arab Syiah dan pemberani yang hidup di daerah-daerah pinggiran yang senantiasa berperan laksana benteng baja yang melindungi makam suci Imam Ali a.s. (Yadnameh Syaikh Thusi, jld. 3, hlm. 38). Itulah sebabnya bagi orang-orang Syiah, Najaf merupakan kawasan yang aman, dan tempat pilihan Syaikh Thusi untuk berhijrah menjadi bukti keamanan relatif kawasan itu dibandingkan dengan kawasan lain di Irak. Kedatangan Syaikh Thusi ke Najaf membuat kawasan itu lebih hidup dan semarak lagi. Tak lama setelah itu, kota ini menjadi kiblat harapan ilmu dan spiritualitas.
Najaf pada waktu itu masih belum terhitung sebagai kota, bahkan masih belum terhitung sebagai desa, tapi di saat yang sama banyak pengunjung yang datang karena keberadaan makam Imam Ali a.s. Syaikh Thusi membangun pusat pendidikan baru di sana. Dialah orang pertama yang merintis dan meletakkan pondasi pusat pendidikan yang luar biasa besar sehingga setelah seribu tahun berlalu, pusat pendidikan itu masih tetap menjaga autentisitas intelektualnya dan memenuhi kebutuhan intelektual dan kultural pusat pendidikan lainnya (Agha Buzurg Tehrani, Muqaddimah Al-Tibyan, jld. 1).
Pusaka Berharga
Jumlah karya tulis Syaikh Thusi mencapai lima puluh satu jilid. Terkadang satu dari lima puluh satu jilid itu sendiri bisa mencapai puluhan jilid yang tebal. Tema-tema karya tulis beliau bermacam-macam, seperti ilmu tafsir, hadis, fikih, ushul fikih, kalam (teologi dan mazhab), rijal dan fihrist (bibliografi), sejarah dan kronologi kematian atau kesyahidan, jawaban atas pertanyaan-pertanyaan, dan doa.
Karya Syaikh Thusi di bidang tafsir di antaranya adalah Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur’an (10jilid), Al-Masa’il Al-Demisyqiyah fi Tafsir al-Qur’an, dan Al-Masa’il Al-Rajiyyah fi Tafsir Ayatmin Al-Qur’an. Al-Tahdzib dan Al-Istibshar adalah di antara karya Syaikh Thusi di bidang ilmu hadis, dua kitab itu merupakan dua dari empat kitab induk hadis Syiah. Dua kitab lain adalah Al-Kafi karya Syaikh Kulaini dan Man la Yahdhuruhu al-Faqih karya Syaikh Shaduq.
Di antara karya-karya penting dia di bidang ilmu fikih adalah Al-Nihayah, al-Mabsuth, Al-Khilaf, Al-Ja’lu wa Al-Uqud fi Al-Ibadat, Al-Ijaz fi Al-Fara’idh, Manasik Al-Hajj fi Mujarrad Al-Amal, Al-Masa’il Al-Halabiyyah fi Al-Fiqh, Al-Masa’il Al-Junbala’iyah fi Al-Fiqh, Al-Masa’il Al-Ha’iriyah fi Al-Fiqh, Musa’alat fi WujubAl-Jizyah ‘ala Al-Yahud, Musa’ala fi Tahrim Al-Fuqqa’, Musa’alat fi Mawaqiti Al-Shalah. Uddat Al-Ushul, Musa’alat fi Al-Amal bi Khabar Al-Wahid, Bayan Hujjiyyat Al-Akhbar adalah sebagian dari karya dia di bidang ilmu ushul fikih.
Adapun karya-karyanya di bidang ilmu kalam adalah Talkhish Al-Syafi, Tamhid Al-Ushul, Al-Iqthishad atau Al-Hadi ila Thariq Al-Rasyad, Al-Mufasshah fi Al-Imamah, Muqaddimatun fi Al-Madkhal ila Ilm Al-Kalam, Riyadhat Al-Uqul, Ma Yu’allau wa ma la Yu’alla, Ma la Yasma’ Al-Mukallafu …, Syarh Al-Syarh fi Al-Ushul, UshulAl-Aqa’id Al-Ghaibah, Al-Firaq baina Al-Nabi wa Al-Imam, Musa’alat fi Al-Hiwal, Al-Masa’il Al-Raziyyah, Al-Naqdh ‘ala Ibni Syadzan fi Musa’alatAl-Ghar, Masa’il Ushul Al-Din, dan Al-Kafi.
Di bidang ilmu rijal dan fihrist, Syaikh Thusi telah meninggalkan beberapa karya penting seperti: Kitab al-Abwab (lebih sering dikenal dengan sebutan Rijal Syaikh Thusi), Ikhtiyar Ma’rifat Al-Rijal (lebih dikenal dengan sebutan Rijal Kasyi, karena di dalam kitab ini dia mengoreksi karya tulis Kasyi dan menyusunnya dengan lebih baik), Al-Fihrist (memperkenalkan para penulis terkenal Syiah sekaligus karya-karya mereka). Ia juga menulis dua karya di bidang sejarah, yaitu Maqtal Al-Husain dan Mukhtashar Akhbar Mukhtar bin Abi Ubaidah Al-Tsaqafi.
Adapun bukunya berupa jawaban atas pertanyaan di antaranya adalah Masa’ilAl-Ilyasiyyah, Al-Masa’il Al-Faimah, Masa’il Ibnu Barraj, dan Ta’liqma la Yasa’. Lalu di bidang doa, karya-karya Syaikh Thusi adalah MisbahAl-Mutahajjid wa Silah Al-Muta’abbid, Mukhtashar Al-Mishbah, Mutkhtasharfi ‘Amali Yaumin wa Lailah, UnsAl-Wahid, HidayatAl-Mustarsyid, dan Bashirat Al-Muta’abbid (lih. Al-Dzari’ah, jld. 5, hlm. 220; jld. 20, hlm. 348; Syaikh Thusi, Al-Fihrist, hlm. 86, Rijal Al-Najjasyi, hlm. 403, Hizarehye Syaikh Thusi, jld. 1, hlm. 220).
Murid-Murid
Bukan hanya menulis karya ilmiah, Syaikh Thusi juga berhasil mendidik ulama-ulama besar. Menurut pernyataan sebagian dari ulama Syiah, murid-murid Syaikh Thusi lebih dari tiga ratus ulama yang mencapai tingkat tinggi intelektual ijtihad (Dawwani, Hizareh Syaikh Thusi, hlm. 23). Sebagaimana dicatat oleh berbagai referensi tidak semua murid-muridnya bermazhab Syiah melainkan banyak juga dari kalangan ulama Ahli Sunnah yang belajar padanya.
Wafat
Syeikh Thusi wafat pada malam Senin, 22 Muharram 460 H, dan dimakamkan di rumah tempat ia bermukim saat di Najaf. Lalu, sesuai dengan wasiatnya sendiri, rumah itu diubah menjadi masjid, tepatnya di sebelah Utara ruang pemakaman suci Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. Kini, masjid itu dikenal dengan nama Masjid Thusi (Agha Buzurg Tehrani, Muqaddimah Tafsir al-Tibyan). (AFH)