Asyuro dan Keadilan: Akar Penyimpangan Keadilan Sosial dalam Islam (bag.1)
Oleh: Fardiana Fikria Qur’any
Awal bulan Muharram semarak dengan berbagai acara dan peringatan tahun baru hijiriyah. Umat Islam berbahagia dengan pergantian tahun Islam. Mereka sangat antusias menyambut tahun baru Islam dan semarak pergantian tahun ini disambut penuh suka-cita, dirayakan dengan meriah serta doa-doa yang berkumandang di setiap rumah, tetapi 1 Muharram bagi keluarga Nabi, 1400 tahun yang lalu menjadi tahun duka dan hari ini pun umat Islam pecinta keluarga Nabi Muhammad, pecinta ahlul bayt, pecinta keadilan berduka dan setiap tahunnya memperingati kesyahidan seorang penegak keadilan di Karbala agar mereka bisa meneruskan perjuangan sang martyr di tanah Karbala.
Husein bin Ali, cucu dari nabi kita, Muhammad SAWW dikenal dengan panggilan “Sayyidu Syuhada”, ia mati dibantai di tanah Karbala demi menegakkan keadilan. Demi mempertahankan hak-haknya sebagai masyarakat yang tidak hanya tunduk kepada pemimpin tapi punya kebebasan memilih untuk tidak membai’at pemimpin yang zalim.
Siapapun yang membaca sejarah, apapun agamanya, apapun mazhabnya tidak akan bisa menolak fakta pemerintahan yang dipimpin oleh Yazid bin Mu’awiyah merupakan pemerintahan yang zalim bahkan tidak layak untuk diikuti oleh rakyatnya. Peristiwa 10 Muharram yang kita kenal dengan Asyuro menyingkap kebenaran sekaligus kebatilan di tanah Karbala. Di sinilah kita bisa melihatnya dengan berbagai paradigma keadilan yang berbeda. Oleh karena itu, saya akan memberikan salah satu paradigma keadilan dalam melihat peristiwa Asyuro.
Terdapat berbagai mazhab pemikiran dalam Islam dan masing-masing dari mazhab tersebut memiliki pandangan tersendiri tentang keadilan dengan kata lain, setiap mazhab memiliki penafsiran sendiri tentang prinsip keadilan di dalam Islam. Hal ini penting untuk diketahui karena merupakan sebab bagaimana penyimpangan atas keadilan bisa terjadi atau dengan kata lain, bagaimana keadilan menjadi sulit ditegakkan. Karena keadilan merupakan prinsip yang bagus, pada tahap pertama ia harus ditafsirkan dengan baik dan kemudian pada tahap kedua keadilan harus dilaksanakan dengan baik pula.
Sebelum jauh kita membahas keadilan sosial yang dituntut dalam masyarakat dan pemimpin negara, maka tentu yang berkaitan dengan mazhab pemikiran ialah, keadilan ilahi. keadilan sosial memiliki akar pada keadilan ilahi. Pertanyaannya adalah Apakah Allah itu adil atau tidak? Dalam menjawab pertanyaan ini, para mutakallimin terbagi menjadi dua kelompok yaitu, kelompok yang mendukung adanya keadilan ilahi yang disebut dengan kelompok adliyyah dan kelompok yang mengingkari adanya keadilan ilahi yang disebut dengan kelompok non-adliyyah.
Terkait dengan keadilan ilahi terdapat dua pembahasan yaitu, pembahasan tentang penciptaan alam semesta dan pembahasan tentang penetapan hukum tasyri’ (perintah-perintah agama). Pertanyaan untuk pembahasan pertama ialah, apakah penciptaan langit dan bumi, benda-benda, tumbuhan serta hewan, hingga penciptaan dunia-akhirat didasarkan kepada neraca keadilan atau tidak? Pertanyaan untuk pembahasan kedua ialah, bagaimanakah penetapan hukum mengikuti ukuran keadilan atau tidak? Apakah setiap hukum telah ditetapkan secara adil dan mengikuti satu hakikat, maslahat dan mafsadat yang nyata atau justru tidak?
Para mutakallimin berbeda pendapat sesuai dengan kelompok yang telah dibagi di atas. Para mutakallimin yang masuk pada kelompok ‘adliyyah berpendapat bahwa apa yang dilakukan oleh Tuhan berdasarkan prinsip keadilan, sementara non-‘adliyyah berpendapat bahwa tindakan Tuhan tidak berdasarkan prinsip keadilan bahkan tidak ada satu prinsip pun yang berkuasa atas perbuatan Allah SWT.
Pertanyaan yang lebih jelasnya seperti ini, apakah mungkin Allah memasukkan orang taat ke dalam neraka? Kelompok ‘adliyyah akan menjawab, bahwa tidak mungkin Allah bertindak seperti itu karena bertentangan dengan keadilanNya. Sementara kelompok non-‘adliyyah akan menjawab bahwa Allah akan melakukan apapun dan jika Allah memasukkan orang taat ke dalam neraka maka itu adalah keadilan. Ini adalah contoh konkrit pada pembahasan pertama tentang keadilan ilahi.
Adapun pembahasn kedua berkaitan dengan hukum Islam. Di dalam hukum Islam, setidaknya ada lima hukum yang mengatur perbuatan mukallaf yaitu, haram, halal, makruh, mubah dan sunnah. Contoh, syariat Islam memerintahkan manusia untuk berkata benar dan bersikap amanah serta melarang mereka untuk melaukan dusta, khianat dan perbuatan lalim lainnya. Dengan demikian kita bisa melihat ada dua sisi dalam hukum yaitu, ada perintah dan ada larangan. Apa yang diperintah adalah baik dan apa yang dilarang adalah yang buruk.
Pertanyaannya ialah, apakah Islam memerintah sesuatu itu karena sesuatu itu pada hakikatnya memang baik dan melarang sesuatu itu karena pada hakikatnya memang sesuatu itu buruk? Atau karena Islam memerintahkannya, maka sesuatu itu menjadi baik dan sesuatu itu menjadi buruk? Contoh konkritnya ialah, apakah jika Allah menyuruh untuk berbuat dusta, khianat dan lalim kemudian perbuatan ini menjadi baik? Dengan kata lain, apakah karena Islam yang mengatakan bersikap amanah itu baik, maka ia menjadi baik atau karena memang pada hakikatnya bersikap amanah itu memang baik?
Terkait dengan penentuan baik-buruk ini, berkenaan dengan keadilan dan kezaliman pun terkait dengan hak-hak dan aturan masyarakat dan topik sosial lainnya muncul pembahasan seperti ini. Menurut pandangan kelompok ‘adliyyah, hak dan orang yang berhak adalah sesuatu yang benar-benar ada pada kenyatananya. Sedangkan menurut pandangan kelompok non-‘adliyyah masalah hak dan orang yang berhak, sebagaimana juga masalah keadilan dan kezaliman tidak memliki hakikat. Semuanya ini hanya mengikukti bagaimana syariat Islam yang berkata dan menetapkan.
Oleh karena itu, dua pandangan keadilan ilahi tersebut memiliki konsekuensi dalam penerapan akan keadilan pada ranah sosial-masyarakat. Bagi kelompok pertama, karena sebelum Islam datang dengan hukumnya, sudah lebih dulu masyarakat hadir dengan segala problematikanya, maka Islam hadir menyusun aturan dan hukum sedemikian rupa sehingga setiap orang mendapatkan haknya. Islam menyusun aturan dan hukumnya sedemikian rupa sesuai dengan kebenaran dan keadilan. Berbeda dari kelompok pertama, kelompok kedua menyatakan bahwa apapun yang ditetapkan oleh hukum Islam, maka itu adalah kebenaran dan keadilan.
Perbedaan pandangan atau tafsiran atas keadilan dalam Islam ini bukan saja memiliki konsekuensi personal tapi juga konsekuensi sosial. Salah satunya ialah, menerima pemimpin yang zalim karena itu salah satu bentuk dari keadilan dalam Islam. hal inilah yang ditentang oleh al-Husein as. Lantas apa yang diperjuangkan oleh al-Husein di tanah karbala? Keadilan seperti apa yang dikehendaki dan diperjuangkan al-Husein melalui kebangkitannya? Pertanyaan ini akan dijawab pada artikel selanjutnya.
(Bersambung)