Hak dan Kewajiban Suami-Istri, antara Fikih dan Akhlak (Bagian Ketiga)
Rasulullah saww bersabda,“Barangsiapa yang menyia-nyiakan hak-hak keluarganya maka terlaknatlah ia.” [Wasa’il asy-Syi’ah, jilid 7, hal 151]
Kewajiban-Kewajiban Suami
Di mana ada hak, di situ ada kewajiban. Berikut ini adalah kewajiban-kewajiban suami yang merupakan hak-hak istri untuk di dapatkan dari suaminya yang telah dijelaskan oleh Imam Khomaeni dalam kitab Tahrir Wasilah.
- Memberi nafkah
Suami wajib memberikan nafkah kepada istrinya. Berkaitan dengan nafkah, dan apa saja yang dimaksud dengan nafkah, Imam Khomaeni telah menjelaskannya secara detail yang mencakup;
- Pangan (makan).
Kaitannya dengan kewajiban suami untuk memberi makan kepada istri, Imam Khomaeni dalam hal ini menjelaskan, “Ukuran makan, adalah dapat mengenyangkan. Adapun jenisnya adalah merujuk pada pandangan umum (urf) masyarakat untuk orang sepertinya.”
Imam Khomaeni juga menjelaskan, “Jika seorang istri terbiasa memakan jenis makanan tertentu dan meninggalkan jenis makanan tersebut akan membahayakannya, maka wajib atas suami untuk menyediakan jenis makanan tersebut.”
“Wajib atas suami untuk menyediakan sesuatu selain makanan yang sudah biasa dikonsumsi istri, seperti teh, kopi, dan lainnya, di mana jika istri meninggalkan kebiasaan tersebut akan membahayakannya.”
“Istri tidak berhak memaksa suami untuk memberi uang sebagai ganti makanan. Tapi, jika hal tersebut berdasarkan kesepakatan bersama, maka istri dapat meminta uang kepada suami sebagai ganti makanan, dan uang tersebut pun menjadi miliknya, dan suami telah terlepas dari kewajibannya.”
- Sandang (pakaian).
Nafkah berikutnya yang menjadi kewajiban suami untuk memenuhinya ialah sandang atau pakaian. Berkaitan dengan hal ini, Imam Khomaeni menjelaskan,
“Wajib atas suami menyediakan pakaian untuk istrinya, sedang tolok ukur dan jenisnya harus sesuai dengan status sosialnya (Sya’niat). Begitu pula, wajib atas suami menyediakan pakaian untuk berbagai musim. Bahkan jika istrinya merupakan orang yang suka berganti penampilan (tajammul), maka wajib atas suami untuk menyediakan pakaian yang sesuai dengan pandangan masyarakat (urf) untuk orang sepertinya.” Dalam catatannya Imam Khomaeni menjelaskan bahwa suami harus menyediakan pakaian yang sesuai dengan status istrinya dalam pandangan (urf) masyarakat, dengan syarat hal tersebut tidak menyebabkan perbuatan haram, misalnya pakaian untuk diperlihatkan kepada laki-laki yang bukan mahram. Atau, menyebabkan berlebih-lebihan dan pemborosan (mubadzir), misal setiap ada undangan harus memakai baju baru, maka dalam ini suami tidak wajib untuk menyediakannya.”
- Papan (tempat tinggal).
Bagaimana dengan tempat nafkah papan atau tempat tinggal? Lebih detailnya Imam Khomaeni menjelaskan, “Wajib atas suami menyediakan rumah yang layak untuk istri. Baik rumah milik sendiri, menyewa, atau dengan cara lainnya. Begitupula istri dapat memohon kepada suami agar tidak ada yang tinggal di rumahnya, kecuali ia dan suaminya”.
”Menyediakan perkakas rumah yang diperlukan istri adalah kewajiban suami…”
”Menyediakan obat-obatan untuk istri yang sesuai dengan kebutuhan yang wajar…”
“Menyediakan pelayan, jika istrinya orang yang terhormat dan sebelumnya terbiasa memiliki pelayan…”
“Diwajibkan atas suami untuk memberikan nafkah kepada kepada istrinya, baik istrinya membutuhkan maupun tidak. Walaupun istrinya merupakan orang yang terkaya.”
Dalam lanjutannya Imam Khomaeni menjelaskan bahwa sebaiknya yang menjadi tolok ukur dalam penentuan semua nafkah yang telah disebutkan adalah merujuk kepada kebiasaan dan pandangan masyarakat umum (urf) tempat tingga l(
kota) istri yang ia tinggali sekarang…”
- Memaafkan Kesalahan Istri
Suami wajib memaafkan kesalahan istri jika istri melakukan kesalahan tersebut karena ketidaktahuan. Dalam hal ini Imam Khomaeni menyatakan, “Memaafkan kesalahan Istri, jika kesalahan tersebut dilakukan karena ketidaktahuan (jahl)”.
Adapun kesalahan yang dilakukan atas dasar kesengajaan dalam hal ini merupakan kebaikan suami jika memaafkannya, bukan kewajiban.
- Berlaku Baik terhadap Istri
“Diwajibkan atas suami untuk berlaku baik terhadap istrinya, dan bertutur sapa dengan baik sebagaimana yang telah dijelaskan dalam hadis…”
- Tidak Memaksa Istri untuk Melakukan Pekerjaan Rumah
Dalam budaya kita tugas istri itu ada di wilayah sumur, dapur, dan kasur sehingga ada mitos seperti itu. Namun dalam hukum fikih ternyata wilayah sumur dan dapur bukan merupakan kewajiban dan tugas istri untuk melakukannya. Bahkan, dalam kitab Tahrir Wasilah Imam Khomaeni menyatakan dengan tegas bahwa seorang suami tidak berhak memaksa istrinya untuk melakukan pekerjaan rumah. Dalam Kitab Resoleye Tauzihul Masail Imam Khomaeni menjelaskan,
“Suami tidak berhak memaksa istrinya, untuk melakukan pekerjaan rumah”. [Resoleye Taudzih al-Masail, masalah ke-2411]
- Memberikan Nafkah Batin (Kebutuhan Seksual)
Kebutuhan seksual termasuk hal yang diperhatikan dalam ajaran Islam. Kebutuhan ini harus dilakukan dalam sebuah hubungan yang sehat dan halal. Karena begitu pentingnya masalah ini, Islam memberikan perhatian yang khusus agar tidak terjadi penyimpangan. Dalam fikih praktis pemenuhan kebutuhan seksual merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh seorang suami. Berkaitan dengan hal ini, dalam kitab Tahrir Wasilah Imam Khomaeni menjelaskan,
“Seorang suami tidak boleh meninggalkan hubungan biologis dengan istrinya lebih dari empat bulan, bahkan untuk nikah mut’ah sekalipun. Kecuali istrinya merelakannya, atau karena terdapat halangan (udzur) yang dapat membahayakan suami atau istri. Salah satu halangannya (udzur) adalah suami tidak dapat berhubungan karena terdapat gangguan dalam alat kelamin. Jika meninggalkan hubungan biologis karena tidak ada halangan (uzur) seperti hal-hal yang disebutkan di atas, maka bagi seseorang yang tidak bepergian (musafir) wajib untuk melaksanakannya. Adapun bagi orang yang musafir, selama kepergian adalah untuk keperluan darurat menurut pandangan umum (urf), seperti untuk berdagang, berziarah, belajar dan sebagainya, maka ia dapat meninggalkan kewajibannya tersebut. Tetapi, jika kepergiannya bukan karena urusan darurat, seperti untuk berrekreasi dan bersenang-senang, maka ia harus melakukan kewajiban tersebut.”
“Seorang suami tidak dapat membiarkan istrinya seperti seorang perempuan yang tidak bersuami, juga tidak dapat dikatakan istri yang bersuami. Namun, meski demikian, tidak harus tinggal bersama istrinya sekali dalam empat malam.”
“Jika istrinya seorang gadis, maka pada tujuh hari pertama pernikahannya, suami harus tidur bersama istrinya. Namun, jika istrinya seorang janda, maka hanya pada tiga hari pertama saja, kecuali istrinya merelakannya hak-haknya.”
[Euis Daryati MA, sumber; Jurnal-Bayan]