Ibnu Shayyad: dari Pengalaman Psikis Sampai Keadilan Universal (1)
Seorang anak dari wanita Yahudi yang menarik perhatian khusus hingga jadi objek observasi Nabi SAW dan para Sahabat. Ibnu Shayyad atau Ibnu Sha’id demikian dicatat dalam hadis-hadis dari para imam hadis, mulai dari Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Dawud, Ibn Hibban, Ibnu Katsir, Haytsami, sampai pakar hadis kontemporer Al-Albani. Nama panggilannya Shaf dan Abu Abdillah. Secara umum, hadis-hadis terkait sosok ini diakui sebagai shahih. Ada redaksi yang panjang, ada juga yang pendek. Hadis ini lebih banyak diriwayatkan dari Ibn Umar, dan hanya beberapa dari Jabir bin Abdillah. Dalam klasifikasi sahabat, Jabir termasuk sahabat senior yang dikaruniai usia panjang.
Ada berbedaan kurang-lebih redaksi dan kandungan makna yang semuanya dapat saling melengkapi. Berikut ini salah satu redaksi hadis terkait yang diriwayatkan dalam Shahih Bukhari:
Ibnu Umar ra. mengabarkan bahwa Umar dan Nabi SAW berangkat bersama rambongan untuk mememui Ibnu Shayyad hingga akhirnya mereka mendapatinya sedang bermain bersama anak-anak yang lain di bangunan tinggi milik Bani Magholah. Ibnu Shayyad sudah mendekati baligh dan dia tidak menyadari (kedatangan Nabi SAW) hingga Nabi SAW menepuknya dengan tangan beliau kemudian berkata kepada Ibnu Shayyad, “Apakah kamu bersaksi bahwa aku ini utusan Allah?” Maka Ibnu Shayyad memandang beliau lalu berkata, “Aku bersaksi bahwa kamu utusan kaum ummiyyin (orang-orang yang buta huruf).” Kemudian Ibnu Shayyad berkata kepada Nabi SAW, “Apakah kamu akan bersaksi bahwa aku ini utusan Allah?” Maka beliau menolaknya dan berkata, “Aku beriman kepada Allah dan kepada rasul-rasul-Nya.”. Kemudian beliau berkata, “Apa menurutmu (sehingga mengaku sebagai Rasul)?” Ibnu Shayyad menjawab, “Karena telah datang kepadaku orang yang jujur dan pendusta.” Maka Nabi SAW bersabda, “Kamu kacau melihat masalah.” Kemudian Nabi SAW berkata kepadanya, “Sesungguhnya aku menyembunyikan (sesuatu dalam hatiku), coba kamu tebak?” Ibnu Shayyad berkata, “Itu asap.” Beliau berkata, “Hinalah kamu! Kamu tidak akan melebihi kemampuanmu sebagai dukun.” Lalu Umar bin Al Khaththab ra. berkata, “Wahai Rasulullah, biarkanlah aku memenggal leher orang ini!” Maka beliau berkata, “Jika dia benar, kamu tidak akan berkuasa atasnya, dan bila dia benar maka tidak ada kebaikan buatmu dengan membunuhnya.”
Salim berkata, “Aku mendengar Ibnu Umar ra., “Setelah itu Nabi SAW dan Ubay bin Ka’ab pergi menuju satu pohon kurma tempat Ibnu Shayyad sebelumnya berada di situ dengan harapan beliau dapat mendengar sesuatu dari Ibnu Shayyad sebelum dia melihat beliau. Maka Nabi SAW melihat Ibnu Shayyad sedang tertidur di balik baju tebalnya dengan mendengkur ringan. Dalam keadaan itu, ibu dari Ibnu Shayyad melihat Rasulullah SAW sedang duduk di bawah pohon kurma, maka ibunya berkata kepada Ibnu Shayyad, “Wahai Shaf (nama lain dari Ibnu Shayyad), ini ada Muhammad”. Maka Ibnu Shayyad kembali pada keadaannya semula (berbaring). Kemudian Nabi SAW berkata, “Seandainya ibunya biarkan, pasti jelaslah persoalannya (Dajjal atau bukan)”.
Termasuk redaksi hadis yang paling lengkap dan detail adalah hadis dari Jabir yang dicatat Imam Haytsami dalam dalam Majma al-Zawa’id. Di dalamnya disebutkan bahwa Ibnu Shayyad lahir dari wanita Yahudi dalam keadaan cacat mata dan bernasib malang. Ada pula keterangan Jabir bahwa Nabi SAW kuatir tentang keberadaan Ibnu Shayyad sebagai Dajjal. Benarkah keterangan Jabir ini?
Dalam hadis Jabir, Nabi SAW justru terkesan datang tidak sepenuhnya secara diam-diam. Sebagai teladan agung akhlak, sepertinya kedatangan Nabi diketahui sang ibu, namun Nabi tidak ingin Ibnu Shayyad (anaknya) tahu. Pertama-tama, dua kali cara diam-diam (kaitannya dengan Ibnu Shayyad pribadi, bukan diam-diam dengan ibunya) ini gagal, karena ibunya memberitahu kedatangan Nabi dan memintanya agar menyambutnya, “dan keluarlah kamu menujunya!” Nabi justru tidak ingin Ibnu Shayyad tahu kedatangannya agar menjadi jelas. Apa maksud Nabi menghampiri Ibnu Shayyad diam-diam dan apa sesuatu yang diharapkan agar menjadi jelas itu? Sejauh keterangan Jabir, beliau ingin mendengar sesuatu dari pembicaraan Ibnu Shayyad untuk memastikan apakah Ibnu Shayyad itu Dajjal atau bukan. Namun, apakah benar keterangan Jabir ini?
Alhasil, Nabi SAW gagal menemui Ibnu Shayyad tanpa sepengetahuannya dan, karena itu, pada kali kedua atau ketiga atau keempat, Nabi lalu melakukan cara terbuka dengan membuka dialog dengan Ibnu Shayyad. Maka, terjadilah dialog yang menarik yang menampilkan akhlak Nabi dan perangai Ibnu Shayyad. Di hadapan sahabat-sahabat Nabi, Ibnu Shayyad menjawab dan bertanya dengan cara berani dan terkesan lancang hingga membuat Umar bin Khaththab geram dan meminta izin Nabi untuk membunuhnya.
Nabi merespon sabar Ibnu Shayyad seperti saat Ibnu Shayyad mengulang pertanyaannya, “Apakah kamu akan bersaksi aku utusan Allah” kepada Nabi sebagai jawaban balik atas pertanyaan yang sama diulang Nabi kepadanya setiap kali menemuinya. Jawaban di pertemuan pertama dan diulang-ulang sama di pertemuan berikutnya itu (bahwa Nabi adalah utusan orang-orang buta huruf, atau penilaiannya bahwa Nabi adalah orang jujur juga pendusta) dapat dimengerti sebagai kewajaran karena dia dari keluarga Yahudi yang tidak percaya Islam.
Muhammad Iqbal dalam Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam (hal. 18 & 156), menjadikan hadis ini sebagai salah satu referensi dalam membangun fondasi pemikiran Islam sebagai pengalaman mistis. Dalam catatannya, Imam Bukhari dan para perawi hadis lain telah memberikan keterangan jelas tentang observasi Nabi SAW atas masalah psikis dan pengalaman mistis Ibnu Shayyad.
Dalam banyak riwayat juga disebutkan perkataan Ibnu Shayyad, “Aku melihat sebuah singgasana di atas air”. Apakah perkataan ini bisa dikategorikan sebagai ungkapan dari pengalaman mistis? apakah Nabi menganggap penglihatan Ibnu Shayyad itu sama dengan pengakuan Haritsah di hadapan Nabi bahwa dirinya melihat singgasana Allah bangkit dan melihat penghuni surga saling berkunjung? Melihat singgasana Allah bangkit tidak dapat disamakan dengan melihat suatu singgasana di atas air. Kasus pertama terkait dengan kualitas tinggi hakikat iman yang dicapai seorang mukmin saleh. Dapat dipastikan pengakuan Haritsah sebagai pernyataan dari pengalaman mistisnya. Pengakuan itu terjadi sepanjang dialog dengan Nabi yang tampaknya juga tidak terlihat ada maksud mengobservasi Haritsah.
Namun, agaknya berlebihan bila pengakuan Ibnu Shayyad dinilai sebagai pengalaman religius, apalagi pengalaman mistis, apalagi dalam keadaan ekstatis. Masih ada kemungkinan itu pengalaman indrawi. Seorang, dengan kekuatan supranaturalnya, bisa berjalan di atas air, tetapi pengalaman ini tidak masuk dalam pengalaman religius, mistis, batin. Karena itu, pengakuan Ibnu Shayyad direspon Nabi dengan jawaban, “Kamu kacau melihat masalah.” Bahkan kemampuan Ibnu Shayyad melihat sesuatu yang disembunyikan Nabi dinilai oleh beliau sendiri dengan perkataan ini, “Hinalah kamu, kemampuanmu tidak akan melebihi sebagai dukun”. Sepertinya, pengalaman Ibnu Shayyad tidak melebihi pengalaman seorang dukun yang bisa melihat, memperlihatkan dan memperagakan kekuatan supranaturalnya pada dirinya dan orang lain.
Cara diam-diam dan terbuka, masing-masing, dilakukan maksimal antara satu atau dua kali, yakni 2 s/d 4 kali. Ini menunjukkan adanya penyelidikan berulang atau observasi Nabi atas Ibnu Shayyad. Karena pengalaman Ibnu Shayyad mirip pengalaman magis, observasi Nabi juga bukan observasi psikologis seperti diklaim Iqbal. Ia sendiri dalam buku rekonstruksi itu tidak menyinggung-nyinggung pengalaman supranatural dalam arti kedukunan dalam mengurai pengalaman psikis, religius juga mistis. Bersambung