Imam Khomaeni, Perempuan dan Revolusi Islam Iran
Euis Daryati,MA
“Revolusi dan kebangkitan kami berhutang kepada engkau para perempuan.”
(Imam Khomaeni, 11-Februari-1979)
Kelahiran Imam Khomaeni bertepatan dengan kelahiran Sayidah Fathimah as, sehingga jika kita melihat gerakan Imam Khomaeni dalam revolusi, juga pandangan terkait perempuan akan kita dapati banyak terinspirasi dari gerakan Sayidah Fathimah as. Kondisi perempuan Iran mengalami perubahan signifikan pasca revolusi dalam perannya di berbagai bidang. Bahkan terkait pandangan Imam Khomaeni tentang perempuan juga dapat kita lihat dalam memperlakukan istrinya, putri-putrinya maupun menantu perempuannya, seperti Fathimah Taba’tabai yang mencapai tingkatan tinggi dalam bidang filsafat, Irfan dan lainnya. Pandangan Imam Khomaeni terkait pendidikan perempuan berbeda dengan pandangan masyarakat kala itu, seperti informasi yang didapatkan dari wawancara dengan putri Imam Khomaeni, Doktor Zahra Mustafawi pada tahun 2007,
“Kondisi zaman saya -pra revolusi- anak perempuan tidak diizinkan belajar. Saya sendiri menyelesaikan SMA pada usia dua puluh sembilan tahun dan sudah memiliki dua orang anak laki-laki. Saya belajar pada malam hari karena masyarakat menganggap ‘aib’ anak perempuan mengenyam pendidikan.”
Dalam pandangan Imam Khomaeni perempuan memiliki peran penting dalam keluarga dan masyarakat dengan tetap menjaga hijabnya.
“Berusahalah kalian dengan sungguh-sungguh untuk menjadi ibu yang baik bagi anak-anak kalian dan menjadi penasehat baik bagi masyarakat serta bantulah orang yang memerlukan pertolongan dari kalangan mustadh’afin…..”. (Makanah al-Mar’ah fi fikr al-Iam al-Khomeini, edisi terjemahan hal. 160)
“Sekarang perempuan harus melaksanakan tugas-tugas sosial dan agamanya, menjaga kesucian masyarakat, dan berlandaskan hal itu mereka dapat menjalankan tugas sosial dan politik.” (Shahife Nur, jil.13, hal.192)
Pandangan Imam Khomaeni terkait perempuan tersebut yang berbeda dengan sebelum-sebelumnya, termasuk salah satu faktor kemenangan Revolusi Islam Iran. Karena itu beliau selalu mengatakan, “Revolusi ini berhutang kepada perempuan.”
“Dalam sejarah mana kalian melihat hal ini? Hari ini para wanita berhati singa memeluk anak-anak mereka pergi mengarah ke senapan dan tank-tank? Dalam sejarah mana kalian menyaksikan keberanian dan pengorbanan para wanita seperti ini? Kedatanganmu wahai para wanita ke jalan-jalan, medan-medan juang memperkuat semangat perjuangan para lelaki. “Revolusi dan kebangkitan kami berhutang kepada engkau para wanita.” (11, Februari 1979)
Menurut Imam Khomaeni, sejak awal perjuangan, perempuan senantiasa berdampingan dengan laki-laki. “Laki-laki mengikuti perempuan turun ke jalan, menyemangati mereka, perempuan berada di garis terdepan…”
Berbeda dengan era sebelumnya, dalam Revolusi Islam Iran, Imam Khomaeni memberikan hak kepada perempuan untuk berpartisipasi dalam sosial dan politik.
“Kalian perempuan harus memilih, kalian sama dengan yang lainnya, bahkan kalian lebih utama dari laki-laki.”
“Kalian perempuan harus berpartisipasi dalam negara. Perempuan sebagaimana laki-laki berhak berpartisipasi dalam semua urusan”.
Kemenangan revolusi tidak lepas dari peran-peran sosial dan politik perempuan yang telah dibekali seperangkat idealisme, konsepsi, formulasi jati diri, baik di ranah privat maupun publik. Hal ini ditambah dengan pandangan-pandangan tentang perempuan yang disampaikan Imam Khomaeni tentang peran perempuan yang diteladani dari Sayidah Fathimah as.
Menurut Imam Khomani, kemenangan Revolusi Islam Iran adalah kemenangan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya yang tidak didapatkan pada masa Reza Pahlevi.
Pada 17 Januari 1936, Reza Khan telah mengesahkan UU pelarangan penggunakan hijab bagi gadis dan perempuan dewasa di sekolah, universitas, dan pusat administrasi serta pemerintahan. Hal ini terinspirasi dari langkah yang diambil Kemal Attatruk Turki yang melarang penggunaan hijab di Turki, saat ia melakukan kunjungan Luar Negeri ke Turki 2 Juni 1934. Reza Khan mengganggap hijab sebagai penyebab kemunduran perempuan, dan penghalang modernisasi perempuan Iran yang sudah dirintisnya.
Pada saat itu, Rezim Pahlavi merumahkan ‘perempuan berhijab’ dan pemaksaan memakai busana Eropa dengan alasan modernitas dan westerninasi. Dengan alasan itu pula perempuan dipaksa untuk berpenampilan ala Barat, jika aparat menemukan perempuan berhijab di luar, maka akan ditarik hijabnya secara paksa. Ia menganggap busana muslimah sebagai kejumudan dan keterbelakangan. dan hal ini menimbulkan pemikiran kritis perempuan untuk mengembalikan nilai-nilai Islam yang juga bertentangan dengan budaya tradisional Iran sendiri.
Karena itu, salah satu cara perlawanan perempuan, demontrasi dengan menggunakan busana yang dilarang Rezim Pahlavi (Cadur) sebagai bentuk perlawanan.
Pada era revolusi, perempuan memiliki peranan disignifkan, dan semakin kentara peran mereka saat terdapat tahanan dan martir dari mereka. Mereka mendistribusikan informasi, memberikan pelayanan sosial dan perlindungan kepada para aktivis, aksi demonstrasi dan turun ke jalan, membantu membuat jebakan dan rintang di setiap jalan, terlibat dalam aktivitas-aktivitas politik tersembunyi, dan bergabung dalam pertemuan politik.
Pasca revolusi, keikutsertaan perempuan di politik dalam menentukan sistem pemerintahan dan hak pilih, pengiriman duta perempuan ke Moskow untuk menyampaikan kepada Mikhail Gorbachev. Marziye Hadidci (Dabbag), perempuan utusan Imam Khomaeni pasca revolusi yang menyampaikan pesan kepada Mikhail Gorbachev bersama Ayatullah Jawadi Amuli dan Dr. Larijani. Pada era ini, perempuan dengan menjaga hijabnya, mencapai kemajuan dalam berbagai bidang ilmu, politik (hak suara), ekonomi, sosial dan lainnya.
Dapat dikatakan bahwa faktor-faktor partisipasi perempuan di kancah nasional dan internasional karena adanya transformasi budaya intelektual dan spiritual, perempuan sebagai subjek, bukan objek seksual dan sensual, adanya dukungan pemerintahan, perubahan sosial, perubahan politik, dan lainnya. Sebagai contoh terdapat UU tentang pekerja perempuan, bahwa tiap instansi harus menyediakan penitipan anak yang ramah ibu dan anak, masa cuti melahirkan, dan menyusui.
Jika terjadi pertentangan pandangan tradisional dan modern terkait peran perempuan dalam ranah domestik dan publik, maka masing-masing diseimbangkan dengan pandangan korektif. Karena Iran sebagai negara yang memproklamirkan negara Islam, maka memandang perempuan pada kecerdasan intelektual, spiritual, bukan sebagai objek seksual atau sensual, dengan mampu menyeimbangkan antara peran domestik dan publik untuk kemajuan negara. Iran mendukung perempuan untuk maju dan modern pada berbagai ranah, karena antara religiusitas dan modernitas tidak bertentangan.
Bahkan menurut Imam Khomeini, perempuan dapat memilih pekerjaan yang layak baginya baik di dalam maupun di luar rumah.
“Mengapa kita menentang pendidikan bagi perempuan? Mengapa kita tidak sepakat dengan perempuan yang bekerja? Mengapa perempuan tidak diperbolehkan melakukan pekerjaan di lingkup pemerintahan? Mengapa kita menolak perempuan untuk bepergian? Perempuan sebagaimana laki-laki memiliki hak memilih, tidak ada bedanya dengan laki-laki.” (Sahife Nur, jil. 4, hal.103-104)