Kajian Singkat Al-Muwaththa’ Imam Malik (Bag. Kedua)
* Motivasi penulisan Al-Muwaththa’
Berdasarkan kesepakatan dengan Mansur Dawaniqi,[1] Malik menulis sebuah kitab tentang fatwa dan hukum, namun dengan syarat tidak menukil walaupun satu hadis dari Ali bin Abi Thalib a.s.[2] Malik menerima syarat tersebut dan berpegang dengannya hingga Mansur meninggal dunia. Setelah kematian Mansur, Malik menambahkan beberapa hadis dari Imam Ali a.s.
Realita ini harus diterima bahwa bila Bani Abbas berusaha mengutamakan orang lain daripada Imam Ali, mereka sebenarnya menjalankan dan melanjutkan politik Bani Umayyah. Hal ini dapat lihat dalam kitab Bukhari yang ditulis di bawah kontrol dan dukungan Mutawakkil Abbasi. Oleh karena itulah, tidak tampak nama hadis Ghadir atau hadis Thair di dalam kitab tersebut.
Muhammad Kamil Husain dalam mukadimah Al-Muwththa’ membawakan sebuah surat dari Mansur yang ditujukan kepada Muhammad Nafs Zakiyyah. Dalam surat tersebut disebutkan bahwa Mansur berusaha mengingkari seluruh keutamaan Imam Ali a.s. Ia menulis surat ditujukan kepada Bani Al-Hasan: “Kenapa kalian semua membanggakan kakek kalian Ali bin Abi Thalib dan masa lalunya? Sedangkan saat Nabi saw. sakit, beliau memerintahkan orang lain untuk (menjadi imam) shalat. Kemudian para sahabat menjadikan seorang demi seorang (sebagai khalifah), bukan Ali. Ia ditetapkan dalam enam orang (untuk ditunjuk sebagai khalifah ketiga), namun semua orang meninggalkannya dan tidak melihat ia berhak atas khilafah.”[3]
– Salah satu hal yang menarik dari kepribadian Malik, ia tidak membawakan bahkan satu hadis pun tentang keutamaan Imam Ali a.s. Ibnu Hibban berkata, “Aku tidak ingat ada satu pun hadis tentang manaqib Ali yang diriwayatkan oleh Malik atau Zuhri.”[4]
Menarik untuk dicermati tentang jumlah riwayat Malik dari sahabat:
- Abu Hurairah 185 hadis
- Aisyah 230 hadis
- Ibnu Umar 400 hadis lebih
- Umar bin Khattab 200 hadis lebih
- Muawiyah 10 hadis (dan 7 hadis berkenaan dengan Muawiyah)
- Ali bin Abi Thalib hanya 10 hadis.[5]
b) Keilmuan dan pandangan-pandangan Imam Malik
Malik termasuk orang yang sering melontarkan maslahah mursalah[6] dan menjadikannya sebagai dalil fikihnya. Bahkan Malik mengembangkan asas ini hingga berkata, “Diperbolehkan bagi seorang imam untuk membinasakan 1/3 umat demi kemaslahatan 2/3 sisanya.”[7]
Ashma’i menulis, “Suatu saat aku datang menemui Malik. Di hatiku, tidak ada orang yang lebih terhormat dan berwibawa daripadanya hingga ia mulai berbicara. Ia mengucapkan kata-kata yang jelas-jelas salah (مطرنا البارحة مطراً و ايُّ مطراً). Maka ia langsung jatuh dari mataku. Aku katakan kepadanya, “Anda telah mencapai ilmu seperti ini, andai kiranya Anda memperbaiki bahasa Anda!”Malik menjawab, “Bagaimana bila engkau melihat Rabi’ah bin Abdurrahman? Setiap kami tanya “كيف اصبحتَ؟”, ia menjawab, “اصبحتُ بخيراً بخيراً”.” (Lihat: Qamus Ar-Rijal Tustari, 8/637 (menukil dari Adab Al-Katib, 123)
– Laits bin Sa’d berkata, “Malik telah memberikan 70 fatwa yang semuanya bertentangan dengan sunnah Rasul dan Malik sendiri mengakui hal itu.”[8]
– Yahya bin Mu’in berkata, “Malik bukan ahli hadis, namun ahli rakyu (apa yang dikatakan adalah pandangan pribadinya sendiri).”[9]
==============================
[1] Dalam kitab Ali bin Hamzah Thusi “Ats-Tsaqib Fi Al-Manaqib” disebutkan kisah kehidupan Mansur Dawaniqi sebagai berikut: Ia mengemis dari satu desa ke desa lain. Ia masuk ke sebuah pedesaan; ia menukil keutamaan-keutamaan Imam Ali a.s. demi mendapatkan sepotong roti untuk dimakan. Masyarakat pun memberikan makan dan menghormatinya.
[2] Dalam Mukadimah Al-Muwaththa’ disebutkan bahwa Mansur bertemu dengan Malik di satu musim haji dan meminta maaf atas perlakuan anak buahnya yang mengambil haknya. Kemudian memintanya untuk menyusun sebuah kitab tentang hadis yang dapat dipercaya dalam fatwa dan hukum. Namun ia memberikan syarat kepada Malik supaya tidak meriwayatkan hadis dari Ali dalam kitabnya sama sekali. Maka Malik menyetujui dan melakukannya. Ketika ditanyakan kenapa tidak menukil hadis dari Ali, Malik menjawab, “Karena dahulu tidak berada di Madinah.” (Tidak jelas apakah ia sendiri yang dimaksud atau Ali bin Abi Thalib yang dahulu tidak berada di Madinah dan keduanya tidak berdasar).
[3] Referensi terkuno yang dapat ditemukan adalah kitab “Bayan Al-‘Ilm Wa Fadlih” Ibnu Abdil Barr, 2/148. Ungkapan di atas disebutkan dalam teks kitab Adlwa’ Ala As-Sunnah Al-Muhammadiyyah: “Ali tidak memiliki suatu kebanggaan apapun untuk disombongkan. Ketika Nabi saw. sakit di penghujung usia, beliau memerintahkan orang lain untuk (menjadi imam) shalat jamaah, bukan Ali (Abu Bakar maksudnya).
Pembahasan Abu Bakar menjadi imam jamaah pada zaman Nabi saw. berujung kepada Aisyah; yang menyuruh Abu Bakar mengimami shalat adalah Aisyah, bukan Nabi saw. Ketika mengetahui hal itu, beliau saw. marah dan dengan kondisi tersebut pergi ke masjid sehingga Abu Bakar mundur. (Allamah Baqir Majlisi dalam Bihar Al-Anwar, 28/110 menukil kejadian ini dan keengganan Abu Bakar mengikuti pasukan Usamah).
Namun Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya bersikeras meyakini hal itu dan mengatakan bahwa kita menetapkan orang yang telah ditentukan untuk menjadi imam kecil (imam shalat jamaah) sebagai imam besar (imam umat). Peristiwa ini dijadikan dalil atas kekhalifahan Abu Bakar; namun hadis Ghadir tidak diterima sebagai dalil.
Pembahasan lain, terkait Imam Hasan a.s. yang dituduh memiliki 70 atau 400 isteri berakar dari Mansur Dawaniqi. Orang pertama yang menyatakan hal itu adalah Mansur; karena keturunan Imam Hasan bangkit pada masa pemerintahannya. Untuk mengatasi mereka, ia melontarkan tuduhan tersebut. Hal itu terbukti muncul pada masa Mansur karena ketika terjadi perdebatan antara Imam Hasan dan orang-orang munafik yang melontarkan kata-kata pedas dan sangat buruk kepada Imam Hasan, mereka tidak mengatakan bahwa Imam Hasan memiliki banyak isteri.
[4] Al-Majruhin Ibnu Hibban.
[5] Malik juga menukil 5 riwayat dari Imam Ali di celah-celah perawi lain.
[6] Kemaslahatan atau kebaikan yang tidak disinggung-singgung syara’ secara jelas untuk dikerjakan atau ditinggalkan.
[7] Syarah Ibn Abi Al-Hadid, 10/246.
[8] Adlwa’ ‘Ala As-Sunnah Al-Muhammadiyyah.
[9] Ibid, 299.