Kajian Singkat Sunan Nasai (Bag. Pertama)
Pengantar
I. Arti Sunan
Sunan[1] adalah kitab-kitab yang disusun berdasarkan urutan bab-bab fikih dan tidak mengandung hadis mauquf.[2] Artinya, sunan membatasi hadis-hadis hanya dari qaul dan fi’il Nabi saw. dan tidak mencakup hadis dari qaul dan fi’il sahabat.
Singkatnya, sunan adalah kitab yang mencakup sunnah-sunnah Nabi saw., karena qaul atau fi’il dari sahabat tidak disebut sunnah.
II. Perbedaan Sunan dan Mushannaf
Sunan telah didefinisikan di atas. Adapun Mushannaf mencakup hadis-hadis marfu’,[3] mauquf,[4] dan maqthu’. Karena dalam Mushannaf terdapat mauquf dan maqthu’, maka hal itu tidak dapat disebut sebagai sunan.
III. Orang pertama yang mengumpulkan sunan
Orang pertama yang mengumpulkan sunan adalah Ubaidullah bin Rafi’, sahabat Nabi saw. dan pengikut setia Imam Ali bin Abi Thalib a.s.[5] Judul kitabnya “Kitab As-Sunan Fi Al-Ahkam Wa Al-Qadha’”.
Namun Ahlu Sunnah meyakini Malik bin Anas sebagai pencipta teknik ini. Kitab Muwaththa’ Malik sebagai sunan tidak mampu memuluskan jalannya, karena mengandung hadis-hadis maqthu’ dan mauquf, sedangkan persyaratan sunan hanya membatasi hadis marfu’ saja. Oleh karena itu, kitab ini otomatis tersingkir dan yang diuntungkan adalah kitab Abi Daud dan Ibnu Majah.
IV. Manfaat Penulisan Sunan
Manfaat penulisan sunan adalah mengetahui dalil-dalil berbagai hukum dari sunnah Nabi saw.
V. Jumlah dan sunan terpenting
Ahlu Sunnah memiliki lebih dari 30 kitab dengan judul “Sunan”, antara lain: Dar Quthni, Darimi, Said bin Mansur, Razin Abdari dan… Dari jumlah tersebut hanya 4 yang lebih diutamakan: Nasai, Tirmidzi, Abi Daud, dan Ibnu Majah.
Alasan pokok mengutamakan kitab-kitab tersebut karena banyak mengandung hadis shahih dibanding hadis dhaif. Artinya, semakin banyak persentase hadis shahih dibanding hadis dhaif, kitab tersebut akan memiliki kedudukan yang lebih tinggi.
Selanjutnya, di sini akan dilakukan kajian singkat mengenai 4 sunan tersebut yang dimulai dengan Sunan Nasai:
* Sekilas Tentang Sunan Nasai
Nama kitab: Sunan Nasai
Penulis: Abu Abdurrahman Ahmad bin Syuaib (215 – 303 H)
Tingkat dan kedudukan keilmuannya:
Dzahabi berkata, “An-Nasai… lautan ilmu sekaligus pemahaman, kokoh pendapatnya, ahli kritik rijal, baik karyanya… tidak memiliki tandingan dalam hal ini.”[6]
“Nasai berpenampilan ideal dan rapih, punya 4 isteri… banyak makan daging ayam dan terkadang minum anggur.”[7]
3 sikap penting Nasai:
1- Tidak suka terhadap Muawiyah
2- Mengutamakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s.
3- Punya pendapat tentang permasalahan fikih (berhubungan di dubur).
Nasai memiliki kedudukan khusus di kalangan Ahlu Sunnah, namun mereka menjaga jarak dengannya karena orientasi Nasai terhadap Ahlul Bait dan Ali bin Abi Thalib a.s. Tingkat keilmuannya sangat tinggi, namun akidahnya justeru mengganggunya hingga sebagian Ahlu Sunnah menyatakan bahwa Nasai adalah Syiah.[8]
(Bersambung)
============
[1] Kata ‘Sunan’ [arab: السُنَن] adalah bentuk jamak dari kata sunnah [arab: السُنّة], yang secara bahasa berarti jalan dan kebiasaan.
[2] Qaul dan fi’il yang diriwayatkan dari sahabat, misalnya Ibnu Abbas berkata atau Ibnu Abbas shalatnya demikian. Adapun ungkapan ‘Ibnu Abbas berkata, “Nabi saw. melakukan hal demikian.”’ bukan mauquf.
[3] Istilah marfu’ menurut Syiah dan Ahlu Sunnah berbeda maknanya. Ahlu Sunnah menyebut riwayat-riwayat dari Nabi saw. sebagai marfu’. Oleh karena itu, hadis marfu’ adalah shahih.
Adapun menurut Syiah, hadis marfu’ adalah hadis yang mengandung irsal (rawinya dilepaskan) di akhir sanad riwayat dan disebutkan dengan sebutan “رَفَعَهُ”. Oleh karena itu, termasuk dalam kategori hadis dhaif.
[4] Mauquf adalah ucapan yang diriwayatkan dari sahabat dan hadis disebut maqthu’ apabila diriwayatkan olah seorang tabiin.
[5] Ubaidullah menjadi katib Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. selama 5 tahun masa kekhalifahan beliau. Surat-surat yang dikirim ke berbagai wilayah, ditulis olehnya.
[6] Siyar A’lam An-Nubala’, jilid 41, halaman 125.
[7] Ibid.
[8] Perlu diperhatikan di sini bahwa Ahlu Sunnah menggunakan dua istilah Syiah dan Rafidhi. Syiah menurut mereka adalah orang-orang yang tidak menyukai Muawiyah dan lebih mengutamakan Ali bin Abi Thalib dari Usman, namun pada saat yang sama mengakui Abu Bakar dan Umar sebagai khalifah pertama dan kedua.
Istilah lainnya adalah Rafidhi yang telah mereka coret. Dengan demikian, Nasai adalah Syiah, bukan Rafidhi.
Alasan Dzahabi, apabila kita membuang hadis-hadis yang diriwayatkan oleh orang-orang Syiah (dengan makna di atas), akan sirna sebagian besar riwayat Nabi saw., karena Syiah dengan istilah ini mencakup banyak tabiin.
Lihat: At-Tahdzib, 1/94; Siyar A’lam An-Nubala, 5/43.