Keadilan Ekonomi; Hukum bagi si penimbun
Annisa Eka Nurfitria, M.Sos——- Pendahuluan
Isu penimbunan barang, terutama dalam konteks barang kebutuhan pokok dan mata uang, menjadi perhatian serius di berbagai negara, termasuk Indonesia dan Iran. Di Indonesia, penimbunan sering terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi, inflasi, dan fluktuasi harga barang. Dalam konteks ini, kita dapat melihat bagaimana Iran mengelola isu serupa melalui pendekatan hukum dan ekonomi, serta bagaimana hal ini dapat dibandingkan dengan praktik di Indonesia.
Definisi Penimbunan
Secara umum, penimbunan didefinisikan sebagai tindakan menyimpan barang-barang yang dibutuhkan masyarakat dengan tujuan untuk menjualnya dengan harga yang lebih tinggi ketika pasokan berkurang. Dalam hukum Islam, tindakan ini dianggap merugikan masyarakat dan bertentangan dengan prinsip keadilan sosial. Ahmad Alamolhoda, Imam Jumat Mashhad, pada 4 Ordebesht 1402 (30 April 2023), menegaskan bahwa “penyimpanan mata uang dan koin adalah dosa yang setara dengan penimbunan,” serta menyerukan agar pemerintah menyita aset-aset tersebut. Dalam konteks ini, kita perlu mempertimbangkan apa yang dimaksud dengan penimbunan menurut fikih dan bagaimana hal ini diatur dalam hukum negara.
Penimbunan dalam Fiqh
Dalam pandangan fikih, penimbunan adalah praktik yang diharamkan, terutama ketika barang yang ditimbun adalah kebutuhan pokok masyarakat. Menurut sebagian ulama, penimbunan hanya berlaku untuk barang-barang tertentu seperti gandum, jelai, kurma, dan kismis, yang dianggap esensial bagi kehidupan masyarakat. Imam Khomeini, dalam buku *Tahrir al-Wasilah*, menyatakan bahwa penimbunan adalah haram, yakni menyimpan dan mengumpulkan makanan dengan tujuan menaikkan harga saat umat Muslim membutuhkan. Penimbunan dianggap sebagai tindakan egois yang merugikan masyarakat dan melanggar prinsip keadilan.
Imam Ja’far al-Sadiq juga memberikan pandangan yang tegas tentang penimbunan. Dalam sebuah riwayat, beliau mengatakan, “مَنِ ادَّخَرَ طَعَامًا يُعَامِرُ النَّاسَ لِيُغَلِّبَهُمْ فَقَدْ خَانَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ”
“Barangsiapa yang menimbun makanan untuk menyakiti orang-orang, maka dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.” (Kitab Al-Kafi, Bagian Muamalat, Hadits nomor 1957)
Pernyataan ini menegaskan bahwa penimbunan tidak hanya merugikan ekonomi masyarakat, tetapi juga berdampak pada moral dan spiritual individu yang melakukannya. Dalam konteks ini, tindakan penimbunan dipandang sebagai pelanggaran terhadap hak-hak orang lain dan bertentangan dengan nilai-nilai moral yang diajarkan dalam Islam.
Contoh Kasus di Indonesia
Di Indonesia, penimbunan sering terjadi di sektor pangan, dengan isu penimbunan beras dan minyak goreng sebagai contoh. Ketika harga beras melonjak, beberapa pihak berusaha menimbun untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Tindakan ini menyebabkan pemerintah harus turun tangan dengan melakukan operasi pasar untuk menstabilkan harga. Dalam situasi seperti ini, pemerintah sering kali memberlakukan sanksi bagi pelanggar yang terbukti melakukan penimbunan.
Begitu pula dengan minyak goreng. Ketika terjadi kelangkaan, sejumlah pedagang menimbun minyak goreng untuk dijual dengan harga tinggi. Pemerintah Indonesia pun menegakkan sanksi berdasarkan Undang-Undang Pangan No. 18 Tahun 2012, yang melarang penimbunan pangan dan menetapkan sanksi pidana bagi pelanggar, termasuk denda dan hukuman penjara.
Hukum dan Sanksi di Indonesia dan Iran
Baik di Indonesia maupun Iran, hukum mengatur penimbunan dengan sanksi yang berbeda. Di Indonesia, Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengatur larangan penimbunan pangan, dengan sanksi pidana bagi pelanggar. Sanksi ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang merugikan, terutama dalam kondisi darurat atau saat terjadi kelangkaan.
Di Iran, hukum yang mengatur penimbunan diatur dalam undang-undang perdagangan yang lebih ketat. Misalnya, Pasal 575 dari Kitab Undang-Undang Pidana Iran mengatur sanksi bagi mereka yang terbukti melakukan penimbunan barang kebutuhan pokok, termasuk hukuman penjara hingga 5 tahun dan denda yang signifikan. Iran menerapkan sanksi yang lebih ketat, termasuk hukuman penjara dan denda yang signifikan bagi mereka yang terbukti melakukan penimbunan barang kebutuhan pokok. Pendekatan hukum Iran lebih terstruktur dalam menangani masalah penimbunan, sementara Indonesia lebih mengandalkan upaya preventif dan edukasi kepada masyarakat.
Faktor Penyebab Penimbunan
Baik di Indonesia maupun Iran, penimbunan seringkali dipicu oleh ketidakpastian ekonomi, inflasi, dan kebijakan pemerintah yang tidak konsisten. Di Indonesia, kondisi ini diperburuk oleh distribusi yang tidak merata dan infrastruktur yang belum memadai. Sementara itu, di Iran, sanksi internasional dan ketidakstabilan politik dapat menyebabkan ketidakpastian yang sama, mendorong individu untuk menimbun barang.
Ketidakpastian pasar juga mempengaruhi keputusan individu untuk melakukan penimbunan. Saat harga barang kebutuhan pokok naik, banyak orang merasa terpaksa untuk membeli dan menyimpan barang-barang tersebut agar tidak terpengaruh oleh harga yang semakin melambung. Ini seringkali berujung pada pengurangan pasokan barang di pasar, yang pada gilirannya memperburuk keadaan.
Unsur Spiritual dan Material Penimbunan
Mengenai unsur spiritual dari penimbunan, dalam analisis unsur kejahatan penimbunan, niat pelaku tidak cukup. Kejahatan penimbunan memerlukan niat jahat khusus; tindakan ini harus dilakukan dengan tujuan menciptakan monopoli dan kelangkaan dalam pasokan barang. Unsur ini tidak dapat diterapkan pada pembelian dan penyimpanan koin dan mata uang, karena sebagian besar tindakan ini dilakukan oleh masyarakat dengan tujuan melindungi nilai aset mereka dari inflasi dan penurunan nilai mata uang.
Imam Ja’far al-Sadiq mengingatkan kita untuk menjaga etika dalam transaksi ekonomi. Beliau berkata, “Jika seorang pedagang mempermainkan harga, maka dia bukanlah seorang Muslim yang baik.” (Hadis mengenai pedagang yang mempermainkan harga terdapat dalam kitab Al-Kafi, Volume 5, halaman 164, Hadis No. 5). Pernyataan ini menggambarkan pentingnya integritas dan kejujuran dalam perdagangan, yang seharusnya mencegah praktik penimbunan. Penimbunan barang langka, yang ditujukan untuk memperoleh keuntungan dengan merugikan orang lain, adalah tindakan yang sangat diharamkan dalam Islam.
Isu penimbunan barang, baik di Indonesia maupun Iran, mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam menjaga kesejahteraan di tengah ketidakpastian ekonomi. Dengan pendekatan yang berbeda dalam penanganannya, kedua negara berupaya untuk melindungi konsumen dan memastikan akses yang adil terhadap kebutuhan pokok. Namun, langkah yang diambil oleh masing-masing negara menunjukkan bahwa penting untuk memahami konteks sosial dan ekonomi yang lebih besar dalam mengatasi masalah ini.
Kedua negara perlu terus melakukan evaluasi dan penyesuaian kebijakan untuk mencegah penimbunan dan memastikan bahwa rakyat mendapatkan hak mereka atas barang dan layanan yang mereka butuhkan. Melalui kebijakan yang lebih inklusif dan responsif, diharapkan masalah penimbunan dapat diminimalkan, memberikan dampak positif bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Dengan mengikuti ajaran para ulama, termasuk Imam Ja’far al-Sadiq dan Imam Khomeini, kita diingatkan akan tanggung jawab moral dan etika kita dalam berbisnis dan berinteraksi dalam masyarakat. Keadilan dalam ekonomi adalah fondasi untuk membangun masyarakat yang sejahtera dan beradab. Di era ketidakpastian ini, penting bagi kita untuk saling mendukung dan memastikan bahwa tindakan kita tidak merugikan orang lain, tetapi sebaliknya, mendatangkan manfaat bagi semua.