Kebutuhan Manusia Terhadap Adab (Bagian III)
Peradaban Adab Manusia
Sebagian orang menganggap masalah adab sebagai persoalan pribadi dalam kehidupannya. Ada pula yang menganggap adab sebagai hal sakral dan tidak mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial, tentu anggapan itu tidak benar. Justru masalah adab sangat mempunyai pengaruh dalam kehidupan sosial. Tak sedikit kita melihat orang tampak beradab namun ia tidak memperdulikan masyarakat sosial disekitarnya. Tampil dengan kekhusyukannya, beribadah selalu di mesjid walau kadang tidak pernah menyapa satu sama lain. Penampilan yang agamis, dengan jidat yang hitam kadang kita sungkan untuk menyapanya karena terlihat mempunyai tempat sendiri di alamnya.
Dalam tulisan sebelumnya pernah saya jelaskan bahwa kepribadian manusia mudah terpengaruh karena rapuhnya iman dan taqwa. Kadang juga karena tekanan atasan, kekuasaan yang tidak stabil dan ambisi popularitasnya yang membentuk adab mereka menjadi miring. Banyak penguasa menjadi sebab akibat dari melemahnya moral rakyatnya. Karena rakyatnya diletakkan pada kondisi yang menyedihkan. Tak sedikit pula aparat yang korupsi dengan otoritasnya membuat rakyat menanggung penderitaan yang pedih. Maka dengan adab penguasa yang demikian dapat mempengaruhi adab rakyatnya sehingga memaksa mereka untuk menjarah, merampok, mencuri dan saling tipu menipu satu sama lain.
Memang benar bahwa dalam kehidupan manusia tanpa adab kesejahteraan, kemakmuran dan keindahan tidak berarti. Memang benar pula bahwa sebuah keluarga, kelompok dan lembaga tanpa adab tidak akan terorganisir dengan baik. Namun, yang paling penting dari itu semua adalah kehidupan sosial yang tinggi dengan menghapuskan sedikit penderitaan nasib seseorang. Mungkin saja kesejahteraan, kemakmuran dan evolusi masyarakat akan terwujud dengan menjalankan aturan yang ada. Namun menjalankan aturan tanpa dimodali adab tidak mungkin, karena adablah yang memicu keinginan jiwa manusia untuk menjalankan aturan tersebut dengan baik. Karena usaha yang tidak didukung dengan kondisi jiwa dan rohani yang bersih hal itu tidak akan pernah terwujud.
Dengan demikian, yang menciptakan kedamaian, kemakmuran dan kesejahteraan dalam peradaban adab manusia adalah manusia yang mempunyai adab terintegritas. Allah SWT dalam hal ini berfirman, “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” [QS. 7:96].
Sejarah Keilmuan Adab
Setelah kita ketahui mengenai adab pada bagian sebelumnya, selanjutnya kita akan membahas mengenai siapakah orang pertama yang telah menyusun ilmu adab. Pembahasan demi pembahasan sudah kita lewati dalam beberapa bagian terakhir. Pembahasan adab sendiri sudah ada sejak manusia ditempatkan di bumi. Oleh karena itu kita semua meyakini bahwa Nabi Adam as manusia pertama di bumi. Dalam hal ini Allah SWT bukan mengenalkan moralitas kemanusiaan kepada anak-anak Adam as saat di bumi saja, akan tetapi adab sudah dikenalkan sejak Adam as diciptakan. Artinya, sejak Nabi Adam as berada di surga ia telah diajarkan mengenai perintah dan larangan terhadap moralitas kemanusiaan kepadanya.
Nabi yang lain pun begitu, mempunyai tugas yang sama dari zaman ke zaman mengajarkan pengikutnya menyucikan jiwa dan mengajak untuk menyempurnakan adabnya. Adab dijadikan adonan rohani dan jasmani dalam membahagiakan dan mensejahterakan pengikutnya yang setia. Hingga risalah kenabian sampai pada Nabi Isa as, ia pun memerintahkan kepada pengikut setianya untuk menyebarluaskan adab dan cinta kasih kepada masyarakat yang pada zaman itu dirundung kemusyrikan kepada Allah SWT. Sehingga semua pengikut dan orang-orang yang cinta kepadanya memandang Nabi Isa as sebagai guru besar dalam ilmu adab.
Dalam ajaran Islam Nabi Muhammad SAW sebagai guru besar adab diantara nabi yang lain, beliau bersabda : “Sesungguhnya aku dikirim untuk menyempurnakan akhlak”, kemudian Allah SWT mengenai hal tersebut berfirman ” Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” [QS. 68:4]. Beliau adalah sumber dari segala adab yang ada yang tak pernah sirna bagaikan lautan Samudera. Para keluarganya yang suci dan sahabatnya yang mulia menjadi saksi tradisi moralnya. Setelah Nabi Muhammad wafat, keluarga dan para sahabatnya menyebarkan tradisi adab nabi dan mereka juga dikenal sebagai guru besar adab pada zamannya. Kehidupan keluarga nabi yang disucikan (read: QS. 33:33) dan para sahabat mulianya menjadi contoh bagi kita bagaimana mereka mengemban status moral dan kebajikan dalam kehidupan sosial.
Penyusunan kaidah ilmu adab pun disusun untuk menjaga tradisi tersebut. Lalu siapa dan kapan tradisi ajaran adab nabi menjadi sebuah kaidah ilmiah dalam agama Islam. Ada tiga nama yang saya rangkum, yang pertama adalah Amirul Mukminin Ali ibn Abi Tholib KW, banyak dalam riwayat Sunni maupun Syiah mengatakan ia adalah orang pertama yang menyusun dan menulis kaidah ilmu adab. Setelah kembali dari perang Siffin rumusan dan asas-asas permasalahan adab dikumpulkan dan mulai disusunnya. Dari perbuatan kebajikan hingga perilaku buruk dengan cara yang paling mengagumkan tak luput dari analisisnya. Kedua adalah Salman Al-Farisi salah satu sahabat dekat nabi, dalam riwayat Imam Ali kw berkata mengenai Salman “Salman Farisi seperti Luqman Hakim, ia mempunyai pengetahuan yang paling pertama dan terakhir, ia bagaikan samudera abadi dan ia bagian dari keluarga kami”. Dan yang ketiga adalah Ismail ibn Muhran Abu Nasir Sakuni yang hidup pada abad kedua setelah nubuat, buku yang ditulisnya berjudul sifatul mukmin wal faajr.
Tidak diragukan bahwa sifat buruk adalah sumber dari segala perbuatan dosa. Dosa pun yang menyebabkan orang menjadi terhina dalam masyarakat, menjadi benalu dalam kebinekaan, menghancurkan hubungan persahabatan dan persaudaraan. Dosa pula yang menjadi penghambat kemajuan bangsa dan membuatnya tidak produktif, penghambat pembangunan ekonomi sehingga mencegah kesejahteraan materil, mengganggu kesehatan karena akan mengurangi nilai spritualitas. Oleh karena itu, manusia sangat membutuhkan adab, agar perilakunya dapat diterima di dalam masyarakat, keluarga, guru, teman, sahabat dan kepada sang Khalik. Sehingga cita mendapatkan kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan di dunia maupun di akhirat dapat tercapai.
“Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” [QS.16:97].
Oleh: H. A. Shahab