Kekhususan Hadis Fariqain (2)
Kekhususan Hadis Ahlu Sunnah (Bagian Kedua)
b) Reportasi
- Reportasi verbal
Meskipun penukilan dan pembukuan hadis tidak begitu marak pada abad pertama Hijriah, akan tetapi penukilan hadis dalam bentuk “dari dada ke dada” tetap dapat mempertahankan posisinya di kalangan kaum muslimin. Dari sini, sima’[1] dan qiraah[2] memiliki kedudukan khusus di kalangan Ahlu Sunnah dan berubah menjadi sebuah sirah yang populer. Signifikansi sima’ sedemikian rupa sehingga di kalangan seluruh ahli hadis Ahlu Sunnah tetap digunakan pasca periode pembukuan hadis.
Signifikansi reportasi verbal menurut ahli hadis Ahlu Sunnah melebihi reportasi tertulis. Atas dasar ini, dalam pembahasan jalur tahammul[3] hadis di kalangan Ahlu Sunnah, penulisan berada pada tahap yang lebih rendah dari sima’. Metode ini berbeda dengan metode yang populer dalam budaya hadis Syiah secara tertulis.
- Cakupan geografis yang luas
Cakupan geografis wilayah-wilayah berpenduduk muslim pada dua abad pertama Hijriah semakin luas. Pada paruh kedua abad ke-2 H, yaitu periode maraknya hadis-hadis Ahlu Sunnah, banyak sekali wilayah yang masuk dalam cakupan wilayah berpenduduk muslim, seperti wilayah Timur Tengah, utara Afrika dan bahkan selatan Eropa dan… Pada periode ini, bermacam zona hadis terbentuk di berbagai kota. Dari sini, nama-nama seperti Ibnu Hazm Andalusi atau Ibnu Abdi Rabbih tidak asing lagi di telinga.
Sebagian wilayah, seperti Madinah, Bashrah, Kufah, Baghdad, Khurasan, Suriah, Mesir dan Afrika memiliki berbagai zona hadis yang berbeda-beda. Diantaranya, di Baghdad terdapat berbagai kelompok peneliti dan penulis hadis Ahlu Sunnah yang membentuk beberapa spektrum yang berbeda-beda.
- Perjalanan (memburu) hadis
Usaha dan perhatian ahli hadis untuk menuntut hadis dan mengajarkannya kepada orang lain memiliki sejarah panjang. Berbagai metode tahammul hadis juga berpengaruh dalam perkembangan budaya hadis di tengah masyarakat Islam. Untuk mendengarkan hadis, para ahli hadis Ahlu Sunnah terkadang harus melakukan perjalanan panjang. Hasil usaha seperti ini adalah munculnya rihlah hadits (perjalanan [memburu] hadis).
Pengembaraan para ahli hadis ke berbagai wilayah untuk mendengar dan mengatakan hadis ikut menyebarkan budaya hadis di daerah-daerah tersebut. Para pembesar ahli hadis Ahlu Sunnah menjelajahi wilayah-wilayah yang jauh, seperti Khurasan, Baghdad, Mesir, Suriah, Bashrah dan… Buah dari perjalanan-perjalanan ini adalah generasi ketiga dan keempat ahli hadis besar Ahlu Sunnah berasal dari wilayah-wilayah yang terpencil dan jauh atau baru memeluk Islam, seperti Bukhara dan Neisyabur.
- Dukungan para penguasa dan mayoritas masyarakat
Dengan mengabaikan abad ke-1 H, dapat diklaim bahwa hadis dan para ahli hadis pada banyak periode, mendapatkan dukungan pihak penguasa. Karena dukungan ini, para ahli hadis menemukan kebebasan bertindak dan menyebarluaskan hasil riset hadis mereka.
Dukungan mayoritas masyarakat yang memandang hadis sebagai sesuatu yang suci semakin memperluas aktifitas mereka. Dalam banyak era, mereka mendapatkan sambutan dari para penguasa dan dukungan dari masyarakat.
- Toleransi di awalnya dan keketatan di masa berikutnya
Pandangan husnudzan (berbaik sangka) kepada sahabat[4] pada periode pertama hadis berubah menjadi sebuah pandangan yang mempersulit saat menghadapi para perawi hadis di abad ke-2 dan ke-3. Orang-orang yang menganggap seluruh sahabat adil dengan argumentasi pentingnya survival sunnah Nabi saw, memperketat para perawi abad ke-2 dan menganggap lemah riwayat mereka dengan sedikit tuduhan. Para perawi golongan-golongan non-Sunni mengalami kondisi lebih dahsyat lagi. Banyak perawi dianggap dha’if hanya karena memiliki orientasi kepada kaum Syiah 12 imam dengan tuduhan “rafidhi” atau “meyakini raj’ah”.
- Banyaknya sanad dan jalur
Diaspora geografis dan penukilan riwayat oleh para perawi di berbagai belahan wilayah mengakibatkan luasnya sanad. Berdasarkan definisi Ahlu Sunnah, perubahan seseorang yang terjadi dalam rantai sanad menyebabkan munculnya sebuah rantai baru bagi teks hadis dan membedakannya dari teks-teks lain. Mereka menerima teks yang sama dengan rantai baru sebagai hadis baru dan menambahkannya ke dalam hitungan hadis-hadis sebelumnya. Terkadang dalam ucapan-ucapan para perawi dan ahli hadis disebutkan banyaknya jumlah hadis, misalnya 600 ribu atau 1 juta hadis.
Sebagian peneliti berasumsi bahwa yang dimaksud 600 ribu atau 1 juta hadis dalam ucapan para muhaddis Ahlu Sunnah adalah jumlah teks riwayat. Mereka menganggap jumlah hadis itu sebagai pemalsuan. Dengan memperhatikan budaya Ahlu Sunnah terkait hadis akan memperjelas asumsi dan analisa yang salah ini.[5]
- Pembahasan rijal yang ada sejak lama
Pembahasan rijal dan tautsiq atau tadh’if perawi memiliki sejarah panajng dalam wilayah hadis Ahlu Sunnah. Berbagai faktor memunculkan kebutuhan para perawi Ahlu Sunnah kepada pembahasan rijal. Jauhnya jarak dari masa Nabi saw, luasnya cakupan geografis, banyaknya perawi dan panjangnya sebagian silsilah sanad, penetrasi para pendongeng, tidak kenalnya orang-orang yang baru memeluk Islam di wilayah-wilayah baru terhadap budaya keagamaan, usaha berbagai kelompok untuk menyuntikkan pemikiran mereka ke tubuh masyarakat Ahlu Sunnah, tidak populernya budaya kritik konten hadis dan… merupakan sebagian dari faktor tersebut.
Studi dan penulisan rijal pertama muncul pada abad ke-2 H. Dalam hal ini, beberapa metode, pondasi, pendekatan dan tulisan rijal juga sedikit demi sedikit mulai berkembang.
Menarik untuk dikatakan bahwa sejarah pembahasan rijal di kalangan Ahlu Sunnah lebih dahulu dari Syiah. Alasannya karena mayoritas riwayat Syiah merupakan reportasi dari Imam Baqir dan Imam Shadiq as, sedangkan periode shudur riwayat mereka terjadi setelah periode pertama ilmu rijal di kalangan Ahlu Sunnah. (Bersambung)
Ringkasan Vizhegiha-ye Hadis-e Ahl-e Sunnat (S.M.K. Taba’tabai)
[1] Seoang guru membaca hadis, baik dari hafalannya atau dari kitabnya sedang hadirin mendengarnya, baik majlis untuk imla’ atau yang lainnya.
[2] Membacakan dihadapan guru atau menyodorkan bacaan, baik dari hafalan atau dari kitab yang diteliti, sedangkan guru menyimaknya dari hafalan atau kitab asal untuk mengeceknya, kadangkala bukan guru yang mengecek tapi orang yang telah diberi kepercayaan.
[3] Mengambil atau menerima hadits dari seorang syeikh atau guru dengan salah satu cara tertentu. (Umar Hasyim, Qowaid Usul al-Hadits).
[4] Sebagai contoh, lihat: Aqidah Ahl Sunnah Wa Al-Jama’ah Fi Ash-Shahabah Al-Kiram, tulisan Nasir bin Ali ‘Aidh dalam memberikan justifikasi perbuatan dan ucapan Muawiyah, Amr bin Ash, Khalid bin Walid dan…; juga rujuk: Mausu’ah Ad-Difa’ ‘An Shahabah Rasulillah (saw), tulisan Dr. Abdul Qadir bin Muhammad, Jilid 3, berkenaan dengan pembenaran perbuatan dan ucapan Abu Hurairah, Samurah bin Jundub dan Mighirah bin Syu’bah.
Pendekatan ini menunjukkan efek khususnya dalam sebagian kasus. Sebagai contoh, reportasi palsu peminangan puteri Abu Jahal oleh Amirul Mukminin (as), penentangan dahsyat Rasulullah (saw) dan Fatimah (as) dinukil dari Miswar bin Makhramah dalam kebanyakan kitab hadis Ahlu Sunnah. Sosok ini lahir pada tahun ke-2 H di Makkah. Maka saat Nabi saw wafat maksimal berusia 8 tahun. Ia berorientasi anti Alawi dan termasuk penasehat Usman, Muawiyah dan Abullah bin Zubair. Dengan demikian, hanya karena ia berjumpa dengan Nabi saw pada masa kanak-kanak, orientasi sekteriannya tidak lagi dibahas.
[5] Ucapan ini bukan berarti menafikan hadis-hadis maj’ul (palsu); dengan berbagai macam dalil, jumlah riwayat maj’ul dalam budaya hadis Ahlu Sunnah dan bahkan kitab-kitab yang dikenal sebagai shahih, sangat banyak sekali.