Kedudukan Ali bin Abi Thalib Dalam Hadis-Hadis Fariqain (Bag. Terakhir)
Setelah Fath Makkah dan berakhirnya perang Hawazan dan Tsaqif pada tahun ke 10 H, para sejarawan fariqain mencatat peristiwa mubahalah Nabi saw. dengan para ruhaniawan Kristen Najran berkenaan dengan Nabi Isa a.s. yang disebutkan dalam QS. Ali ‘Imran [3]: 61. Nabi saw. membawa Ali, Fatimah, Hasan, dan Husain a.s. Melihat keagungan dan kesucian mereka, ulama Masihi membatalkan mubahalah dan bersedia membayar jizyah.[1]
Mayoritas mufassirin Syiah dan Sunni menafsirkan “أَبْنَاءَنَا” dengan Hasan dan Husain, “نِسَاءَنَا” dengan Fatimah, dan “أَنْفُسَنَا” dengan Ali a.s.[2]
Tulisan mufassirin di atas menunjukkan kehadiran aktif dan efektif Ali bin Abi Thalib di sisi Nabi saw. dan pengaruh mubahalah beliau terhadap para musuh serta terungkapnya kebenaran. Selain itu, hal di atas juga termasuk keutamaan lain yang dimiliki Ali dalam sejarah Islam.
Di antara peristiwa penting yang terjadi pada tahun-tahun terakhir Nabi saw. adalah peristiwa yang dikenal dengan Haji Wada’ pada tahun ke-10 H. Dalam perjalanan kembali ke Madinah, Nabi saw. diseru oleh Jibril di sebuah tempat bernama Ghadir:
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ
“Hai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya…”[3]
Maliki dalam kitab Fushul Al-Muhimmah berkata, “Ayat di atas turun pada hari Ghadir Khum tentang Ali.”[4] Demikian pula banyak riwayat dalam berbagai kitab tafsir, hadis, dan sejarah Ahlu Sunnah yang menegaskan bahwa Al-Maidah ayat 67 tersebut turun berkenaan dengan Ali a.s.[5]
Setelah turunnya wahyu Ilahi, seluruh jamaah haji berkumpul dengan perintah Nabi saw. Lalu Nabi saw. naik ke atas mimbar yang terbuat dari pelana unta, memuji Tuhan, memberikan nasehat dan mengabarkan dekatnya ajal beliau. Kemudian beliau melontarkan pembahasan khilafah dan suksesi, sambil mengangkat lengan Ali dan berkata, “Barangsiapa yang aku adalah pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.
Hadis tersebut dikenal dengan hadis Ghadir. Selain dalam kitab-kitab Syiah, juga disebutkan dalam sebagian kitab muktabar Ahlu Sunnah.[6]
Setelah selesai peristiwa suksesi, ayat ini turun kepada Nabi saw.:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِينًا
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untuk kalian agama kalian dan telah Aku cukupkan kepada kalian nikmat-Ku dan telah Aku ridhai Islam itu sebagai agama bagi kalian.”[7]
Nabi saw. bersabda, “Segala puji bagi Allah atas agama dan nikmat yang disempurnakan, keridhaan Allah terhadap risalahku dan wilayah Ali setelahku.”[8]
Masih banyak ayat Alquran yang turun berkenaan dengan Ali a.s., di antaranya sebagai berikut:
إِنَّ الَّذِينَ أَجْرَمُوا كَانُواْ مِنَ الَّذِينَ آمَنُوا يَضْحَكُونَ * وَإِذَا مَرُّواْ بِهِمْ يَتَغَامَزُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang berdosa dahulu (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. * Dan apabila orang-orang yang beriman berlalu di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan matanya ( untuk menghina dan mengejek).”[9]
Berkenaan dengan penafsiran ayat di atas, sebagian mufassir Ahlu Sunnah menulis: Suatu hari Ali dan beberapa orang mukmin lewat di sisi sekelompok orang kafir Makkah. Mereka menertawakan dan mengejek beliau dan orang-orang mukmin yang bersamanya. Maka turunlah ayat ini untuk membela Ali beserta kaum mukminin dan mengabarkan nasib orang-orang kafir yang mengejek itu pada hari kiamat kelak.[10]
Berkenaan dengan ayat:
لِنَجْعَلَهَا لَكُمْ تَذْكِرَةً وَتَعِيَهَا أُذُنٌ وَاعِيَةٌ
“Agar Kami jadikan peristiwa itu peringatan bagi kalian dan agar diperhatikan oleh telinga yang mau mendengar.”[11]
Sebagian mufassir Syiah menukil 30 hadis dari fariqain yang menyatakan turunnya ayat ini berkenaan dengan Imam Ali a.s. Hal ini menunjukkan keagungan kedudukan beliau dalam menerima rahasia-rahasia dan mewarisi seluruh ilmu dari Rasul saw.
Diriwayatkan bahwa saat ayat tersebut diturunkan, Nabi saw. bersabda, “Aku memohon kepada Allah swt supaya menjadikan telinga Ali termasuk “udzun wa’iyah”.” Berkenaan dengan sabda tersebut, Ali a.s. berkata, “Setelah permohonan Nabi itu, aku tidak mendengar suatu ucapan yang kemudian aku lupakan, bahkan aku senantiasa mengingatnya.”[12]
Di antara keutamaan dan manakib khusus yang dimiliki Imam Ali a.s., beliau selalu memiliki waktu berbincang dan berdua bersama Nabi saw. Percakapan keduanya tidak diketahui oleh seorang pun. Ali selalu bertanya tentang makna Alquran dan ucapan Nabi saw. Apabila beliau tidak bertanya, Nabi saw. sendiri memberikan pelajaran kepadanya.[13]
Sepeninggal Nabi saw. pada tahun ke-11 H, Ali a.s. menjadi tempat rujukan semua orang, bahkan para khalifah dalam berbagai urusan pengetahuan dan keputusan pengadilan. Sebagai contoh, disebutkan bahwa khalifah kedua selalu mengakui keilmuan dan keutamaan Ali yang tidak terbatas hingga mengatakan, “Jika tidak ada Ali, niscaya Umar binasa.”[14]
[1] Tarikh Al-Ya’qubi, jilid 2, halaman 82 – 83.
[2] Lihat: Shahih Muslim, jilid 7, halaman 120; Musnad Ahmad bin Hanbal, jilid 1, halaman 185.
[3] QS. Al-Maidah [5]: 67.
[4] Lihat: Musawi Hamedani, jilid 6, halaman 21 dan 84.
[5] Lihat: Nasir Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jilid 5, halaman 5.
[6] Fadl bin Hasan Thabarsi, I’lam Al-Wara Bi A’lam Al-Huda, jilid 1, halaman 60; Ya’qub bin Ishaq Kulaini, Ushul Kafi, jilid 2, halaman 43.
[7] QS. Al-Maidah [5]: 3.
[8] Lihat: I’lam Al-Wara Bi A’lam Al-Huda, halaman 137 – 140; Al-Irsyad, jilid 1, halaman 177; Ushul Kafi, jilid 1, halaman 284; Musawi Hamedani, jilid 5, halaman 311 – 312.
[9] QS. Al-Muthaffifin [83]: 29 – 30.
[10] Tafsir Nemuneh, jilid, 26, halaman 283 – 284.
[11] QS. Al-Haaqqah [69]: 12.
[12] Muhammad bin Ahmad Qurthubi, Al-Jami’ Li Ahkam Al-Quran, jilid 10, hadis ke-6743; Sayid Mahmud Alusi Baghdadi, Ruh Al-Ma’ani; Tafsir Al-Mizan; Abul Futuh Abdul Maqsud Razi, dalam penafsiran Surat Al-Haaqqah [69]: 12.
[13] Syarh Nahjul Balaghah, jilid 5, halaman 147.
[14] Lihat: Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Demesyq, 1404 H, jilid 2, halaman 325; Syarh Nahjul Balaghah, jilid 1, halaman 13.