Kekhususan Hadis Syiah (1 Dari 3)
Kekhususan-kekhususan hadis Syiah dapat dijelaskan lebih baik bila melihatnya secara dalam dan teliti. Dengan mentelaahnya keelokan yang ada dalam hadis Syiah sejak masa shudur hingga periode kontemporer akan tampak jelas. Disamping itu, juga akan terbuka kemungkinan untuk memaparkan poin-poin penting dan menjelaskan kecacatan yang dimungkinkan.
Dalam pembahasan ini kita ingin memaparkan kekhususan dan karakter hadis Syiah yang terbentuk dalam kumpulan yang terkombinasi, koheren dan seragam.
Kita akan membahasnya dalam 3 bagian, yaitu shudur, reportasi dan penulisan. Kekhususan yang tidak tercakup di dalamnya, akan kita sebutkan di akhir pembahasan.
a) Shudur
- Rentang waktu yang panjang
Riwayat-riwayat Syiah muncul dalam sebuah interval waktu yang sangat panjang. Dari riwayat-riwayat pertama masa Nabi saw pada tahun pertama bi’tsah (13 tahun sebelum hijrah)[1] hingga tauqi’ terakhir Imam Mahdi as kepada Ali bin Muhammad Samari (wafat 329 H)[2] adalah periode panjang dengan total jarak waktu 342 tahun.
Meskipun teks-teks ini tidak memiliki warna yang sama, terpengaruh berbagai kondisi shudur dan diucapkan dalam berbagai topik untuk berbagai mukhatab, akan tetapi semuanya diterima sebagai hadis Syiah dan mengisahkan sunnah Nabi saw dan para imam as.
Rentang waktu yang panjang telah menyebabkan munculnya kekhususan lain, seperti kejelian, kedalaman, komprehensifitas, keluwesan dan… Perbandingan periode ini (342 tahun) dengan periode shudur hadis menurut Ahlu Sunnah (23 tahun) –atau dengan menghitung periode sahabat sekitar 90 tahun- menandai perbedaan dua jenis ajaran agama dan kemunculan kekhususan-kekhususan lain di dalamnya.
- Uraian, penjelasan dan penyebaran baru Sunnah Nabi saw
Pada hakekatnya, riwayat Ahlul Bait as adalah uraian sunnah Nabi saw. Para imam tidak mengatakan sesuatu dengan kehendak dan ijtihad mereka sendiri, sebagaimana Nabi saw sebagai penyampai ajaran-ajaran wahyu, juga tidak mengatakan sesuatupun dari keinginannya sendiri.
Para imam sesungguhnya penjelas sunnah Muhammad saw. Sunnah tersebut telah ditetapkan oleh Allah swt dalam genggaman Nabi lalu berpindah kepada Ahlul Bait as.
Dalam menggambarkan bentuk pengetahuan para imam Syiah, Imam Ridha as menjelaskan:
“Sesungguhnya kami menukil ucapan dari Allah dan Rasul-Nya, kami tidak menyebutkan si Fulan dan si Fulan yang mengatakan sehingga ucapan kami akan saling bertentangan. Sesungguhnya ucapan orang terakhir kami (para imam) sama seperti ucapan orang pertama kami, dan ucapan orang pertama kami menjadi pembenar ucapan orang terakhir kami.”[3]
Imam Baqir as juga menyampaikan:
“Sekiranya kami berbicara dengan pandangan kami sendiri, maka niscaya kami akan tersesat sebagaimana orang-orang sebelum kami, akan tetapi kami berbicara dengan bukti/dalil dari Tuhan kami yang dijelaskan kepada Nabi-Nya dan selanjutnya Nabi saw menjelaskan kepada kami.”[4]
Imam Shadiq as juga menegaskan:
“Hadis (ucapan) kami adalah hadis ayahku, hadis ayahku adalah hadis kakekku, hadis kakekku adalah hadis Al-Husein, hadis Al-Husein adalah hadis Al-Hasan, hadis Al-Hasan adalah hadis Amirul Mukminin, hadis Amirul Mukminin adalah hadis Rasulullah saw dan hadis Rasulullah saw adalah firman Allah swt.”[5]
- Keserasian hadis-hadis para imam as
Menurut Syiah, Nabi saw, Fatimah dan 12 imam as semuanya adalah satu cahaya dan maksum. Dengan demikian, riwayat-riwayat mereka dan kadar pengaruhnya kita pandang sama. Dengan kata lain, saat kita menerima ucapan dan amal Nabi sw sebagai hujjah Ilahi dan teladan baik bagi kita, maka ucapan dan amal para imam maksum juga kita terima sebagai hujjah yang harus diikuti.
Imam Hasan as yang melakukan perdamaian (dengan Muawiyah) dan Imam Husein as yang bangkit (melawan Yazid) memiliki kandungan yang sama dari sisi keabsahannya. Masing-masing merefleksikan sunnah-sunnah Ilahi yang ada dalam sistem penciptaan. Imam Musa Kadhim yang dipenjara sama dengan Imam Ridha yang menerima pencalonan putra mahkota. Hal-hal tersebut harus dijadikan sebagai teladan perilaku kita dalam menghadapi kondisi-kondisi sosial-politik yang berbeda-beda.
- Banyaknya jumlah riwayat
Interval waktu yang panjang dalam masa shudur menyebabkan jumlah riwayat Syiah lebih banyak dari Ahlu Sunnah. Terbukanya ruang keilmuan yang tepat pada paruh pertama abad ke-2 H setelah perintah (penulisan hadis) oleh Umar bin Abdul Aziz memotifasi kaum Syiah berkumpul mengelilingi Imam Baqir dan Imam Shadiq as (Shadiqain) dan menanyakan hal-hal yang tidak mereka ketahui dari keduanya.
Kondisi itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Bahkan antusiasme menuntut ajaran-ajaran Islam pada masa Nabi saw berbeda dengan periode Shadiqain. Muhammad bin Muslim (wafat 150 H), perawi besar Syiah dan tokoh ternama Kufah, pada masa itu datang dari kota Kufah menuju Madinah untuk mempelajari ajaran-ajaran Ilahi dari dua imam ini.
Muhammad bin Muslim berkata: “Tidak ada sesuatu yang tersisa dalam benakku kecuali aku tanyakan kepada Abu Ja’far (Imam Baqir as) hingga aku mendengar 30 ribu hadis darinya dan 16 ribu hadis dari Imam Shadiq as.”[6]
Dengan metode seperti itu, Abban bin Taghlib mendengar 30 ribu hadis dari Imam Shadiq as,[7] Jabir bin Yazid Ja’fi mendengar 50 ribu hadis dari Imam Baqir as.[8]
- Besarnya jumlah perawi pertama
Konsekwensi panjangnya cakupan waktu shudur hadis menyebabkan banyaknya jumlah sahabat para imam yang mendengar hadis dari mereka atau bertanya kepada mereka. Jumlah sahabat Imam Shadiq as disebutkan sekitar 4 ribu orang[9] yang mana lebih dari 3200 nama berada di tangan kita.[10] Jumlah sahabat Amirul Mukminin, Imam Baqir, Imam Kadhim dan Imam Ridha as juga sangat banyak.[11]
Banyaknya jumlah perawi pertama membawa banyak manfaat. Berbagai macam orang dengan kebutuhan yang berbeda-beda dan pandangan yang berlainan membuka pintu pertanyaan dalam berbagai bidang dan menambah kekayaan pertanyaan.
Namun jumlah yang besar ini terkadang juga menimbulkan permasalahan. Karena banyak dari perawi yang kepribadiannya tidak dikenal di kalangan ahli hadis, menukil hanya beberapa hadis dan terkadang hanya satu hadis dari imam. Belum adanya kaedah ilmu rijal pada abad ke-1 dan 2 H juga menyebabkan para perawi tersebut tetap tidak dikenal. Perawi-perawi ini dikenal dalam kitab-kitab rijal dengan sebutan majhul atau muhmal.
- Keluwesan dan kedalaman
Panjangnya periode masa shudur membawa sahabat-sahabat para imam abad ke-2 dan 3 menanyakan pertanyaan-pertanyaan detail kepada mereka untuk memperoleh jawaban yang sahih.
Munculnya pertanyaan-pertanyaan yang detail dan dalam di benak bukan sebuah hal yang kebetulan. Sebagian faktor kejelian pertanyaan pada masa Shadiqain dapat disebutkan sebagai berikut:
- Maraknya budaya menuntut ilmu pada abad ke-2 H;
- Mengenal budaya-budaya non-Islami;
- Munculnya pertanyaan-pertanyaan baru dalam menghadapi berbagai keraguan dan permasalahan kekinian;
- Diskusi dan perdebatan pemikiran di dalam dan di luar madzhab;
- Perkembangan pengetahuan dan tingkat pemahaman serta terbukanya kemungkinan menjelaskan rincial pengetahuan, fikih dan…
Jawaban para maksum dari pertanyaan-pertanyaan tersebut juga didasarkan kepada kapasitas intelektual atau rasional penanya dan kebutuhannya.
Nabi saw bersabda: “Kami para nabi diperintahkan untuk berbicara kepada umat manusia dengan kadar akal (pemahaman) mereka.”[12]
Dengan demikian, jelas bahwa riwayat-riwayat Syiah memiliki kapasitas dan kedalaman lebih dibandingkan dengan riwayat-riwayat Ahlu Sunnah. Riwayat-riwayat Syiah menerangkan kekhususan obyek dan hukum lebih baik dan mendetail. Hal ini bukan berarti mengabaikan usaha Nabi saw dan para sahabat beliau, namun konklusi ini diperoleh dari urgensitas ruang shudur.
- Para perawi berpendidikan
Para perawi hadis tingkat pertama[13] yang berhubungan secara langsung dengan imam maksum dan bertanya kepadanya, memiliki peran yang tidak dapat diingkari dalam keabsahan hadis. Ruang shudur, qarinah kontekstual, kedalaman hukum dan obyek pertanyaan dan… adalah termasuk qarinah-qarinah yang bila terungkap akan banyak membantu komprehensifitas, kejelian dan transparansi riwayat.
Keberlanjutan imamah hingga paruh kedua abad ke-2 H menyebabkan generasi berpendidikan yang muncul pada tahun-tahun terakhir abad ke-1, lebih teliti dan terukur dalam bertanya. Mereka orang-orang berpengetahuan yang dengan bantuan kecerdasan dan potensi yang dimiliki, memburu pengetahuan. Zurarah, Muhammad bin Muslim, Hisyam bin Hakam, Hisyam bin Salim, Yunus bin Abdurrahman dan… diantara contoh orang-orang tersebut.
Kebersamaan dan hubungan dengan para imam serta keinginan memperoleh cakrawala baru yang belum pernah terlihat dan terdengar melalui pertanyaan dapat dirasakan dengan jelas dalam riwayat-riwayat mereka.
Kekhususan-kekhususan ini tidak terdapat di kalangan sahabat Nabi saw dan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as. Sahabat-sahabat Nabi saw lebih banyak menjadi pendengar yang baik, dari pada menjadi penanya yang mahir. Hal ini menambah kekayaan hadis Syiah dan menjadikannya lebih kredibel, berargumen dan kokoh.
- Hadis-hadis taqiyah
Kondisi kehidupan para maksum dan kaum Syiah tidak sama. Terkadang tidak ada kenyamanan melakukan aktifitas secara bebas. Seringkali mereka menjadi sasaran serangan sosial-politik para penguasa dan faksi dominan. Dalam kondisi-kondisi seperti itu, untuk menjaga eksistensi Syiah atau unsur pentingnya, imam terkadang harus menutupi ucapan atau keyakinan yang menyebabkan berkobarnya emosi anti Syiah. Metode ini dikenal dengan “taqiyah”. Di kalangan para imam dan ulama Syiah, metode ini diterima dan rasional.
Konsekwensi metode ini adalah munculnya riwayat-riwayat taqiyah. Teks-teks riwayat ini memaparkan sebuah keyakinan yang berbeda dengan keyakinan umum Syiah untuk segolongan khusus dan dalam ruang tertentu. Identifikasi kumpulan riwayat yang diucapkan untuk masa tertentu dan mukhatab khusus ini merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh para spesialis dengan standar-standar ilmiah.
Dua Catatan Penting:
- Hadis-hadis taqiyah lebih banyak dalam topik-topik sosial dan direaksi oleh sekelompok masyarakat, seperti shalat jama’ah, waktu shalat, bimbingan dan…
- Riwayat-riwayat taqiyah tidak terdapat dalam kumpulan hadis Ahlu Sunnah, karena pemerintahan dan mayoritas perhatian mereka memiliki pandangan dan fatwa yang sesuai.
9. Mencukupkan diri dengan ucapan para maksum as
Sunnah hanya dapat keluar dari orang-orang yang dianggap layak mengetahui dan menerima anugerah rahasia-rahasia penciptaan dan sistem takwini dan tasyri’i. Mereka berilmu dan maksum sehingga dianggap sebagai hujjah Ilahi. Menurut keyakinan Syiah, hanya kelompok berjumlah 14 orang maksum yang memiliki kekhususan ini.
Orang lain yang berhubungan dengan pribadi-pribadi suci ini juga memperoleh keutamaan yang agung karena kebersamaan dengan mereka, akan tetapi keutamaan ini tidak membuatnya berbeda dari orang lain. Mereka juga tetap sama seperti manusia lain yang pengetahuannya terbatas dan diperoleh dari para guru atau melalui perenungan dan ijtihad sesuai dengan standar-standar pandangan teoritis atau praktis.
Saat mereka mereportasikan riwayat dari maksum, maka reportasi mereka akan ditimbang dengan standar umum untuk diterima atau ditolak. Konklusi, kesimpulan dan pandangan mereka juga sama seperti ulama lain diletakkan dalam beranda kritik dan evaluasi.
Golongan ulama dan sahabat ini memiliki perbedaan esensial dengan para maksum dan hujjah Ilahi. Mereka tidak dapat dianggap adil (ta’dil) secara mutlak. Istinbath mereka tidak dapat dianggap sebagai cermin kebenaran selalu dan dalam semua tempat.
Meskipun sahabat-sahabat besar para maksum, seperti Salman Farisi, Abu Dzar, Miqdad, Malik Asytar, Muhammad bin Muslim, Zurarah, Ibnu Abi Umair, Shafwan bin Yahya, Yunus bin Abdurrahman dan ulama lain yang sezaman dengan para imam, adalah pribadi-pribadi agung, akan tetapi kekhususan ini tidak menjadikan kepribadian mereka aman atau lepas dari kajian ilmu rijal. Bila terbukti ketsiqahan mereka maka akan ditetapkan sebagai adil atau tsiqah.
Kekhususan hadis Syiah ini berbeda dengan teori keadilan sahabat menurut Ahlu Sunnah yang menyatakan seluruh sahabat Nabi saw tsiqah tanpa catatan dan syarat. Riwayat-riwayat mereka dapat diterima, bahkan ucapan dan sirah mereka juga dijadikan pegangan dan hujjah. (Bersambung)
Ringkasan Vizhegiha-ye Hadis-e Syieh (M. Kazem Taba’tabai)
[1] Lihat: Nahjul Balaghah, Khutbah ke-192 (Khutbah Qashi’ah); ucapan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as tentang deskripsi wahyu yang turun pertama kepada Nabi saw.
[2] Lihat: Al-Ghaibah, Syeikh Thusi, Halaman 395.
[3] Ikhtiyar Ma’rifah Ar-Rijal, Syeikh Thusi, Jilid 2, Halaman 490.
[4] Bashair Ad-Darajat, Muhammad bin Al-Hasan Ash-Shaffar, Halaman 320, no. 2; Riwayat yang lain juga cukup menarik untuk dibaca dan mirip dengan teks di atas.
[5] Ushul Al-Kafi, Jilid 1, Halaman 53, Hadis ke-14.
[6] Ikhtiyar Ma’rifah Ar-Rijal, Jilid 1, Halaman 386.
[7] Mu’jam Rijal Al-Hadits, Jilid 1, Halaman 22.
[8] Ikhtiyar Ma’rifah Ar-Rijal, Jilid 2, Halaman 441.
[9] Al-Irsyad, Syeikh Mufid, Jilid 2, Halaman 197.
[10] Rijal Ath-Thusi, Halaman 153 – 328.
[11] Menarik untuk disebutkan bahwa perawi-perawi ini ditambah jumlah sahabat-sahabat Nabi saw yang menurut Syiah dan Ahlu Sunnah dikenal dengan sahabat dan perawi tingkat (thabaqah) pertama.
[12] Ushul Al-Kafi, Jilid 1, Halaman 23.
[13] Yang dimaksud di sini adalah para perawi pertama setiap imam yang meriwayatkan sebuah riwayat, bukan hanya mencakup para perawi masa Nabi saw.