Kritik Baqir Sadr terhadap Teori Pengetahuan Platon
Oleh: Fardiana Fikria Qur’any
Teori Pertama yang menjadi kontributor bagi persoalan “apa sumber utama pengetahuan” adalah Teori Platon. Teori ini disandarkan pada penggagasnya yakni Platon.
Platon menjelaskan teori pengetahuannya pada konsep “Dunia Idea”. Teori ini sesungguhnya merupakan soal ontologi. Yakni terkait satu alam yang diyakini keberadaannya oleh Platon. Bagi Platon, jiwa manusia berasal dari alam ini, yang berarti jiwa telah memiliki pengetahuan yang abadi, universal, lantaran ia ada dalam dunia yang universal, Dunia Idea. Namun begitu jiwa turun dan menyatu pada tubuh, pengetahuan tersebut menjadi hilang, karena tubuh sebagai bagian dari dunia material yang terpilah-pilah tak dapat menerima ide-ide universal.
Jadi tegasnya sumber utama pengetahuan bagi Platon adalah alam idea. Alam yang terpisah dari kehidupan kita saat ini. Alam yang sempurna, tak terbatas, alam abadi, dan karena itu semua ia adalah alam ideal.
Alam Idea di sini bukanlah alam ide, yakni pikiran. Tapi alam idea ini dimaksud oleh Platon sebagai alam forma. Suatu ilustrasi barangkali bisa membantu:
Dimisalkan kalau kita pergi ke dapur, barangkali di situ ada cetakan kue, taruhlah cetakan kue lebaran berbentuk segi tiga. Nah semua kue segi tiga yang kelak kita suguhkan pada pada tamu kita tiada lain berasal dari cetakan (alat cetak) tersebut. Dan bisa kita bandingkan, lebih sempurna mana kue cetakan dengan alat pencetaknya? Kue cetakan sering tidak sempurna, kurang tepungnya lah, terdapat sisi-sisinya yang retak, atau terlalu tipis dan lain-lain. Namun yang tak berubah adalah alat cetaknya, dia sempurna sebagi bentuk. Alat Pencetak ialah idea yang akan selalu sempurna sebagai sebuah realitas, dan selainnya hanya tiruan atau hasil cetakan yang pasti tak sesempurna alat atau alam idea tersebut. Sekali lagi perlu diingat bahwa ini adalah “analogi”.
Namun sang jiwa, demikian ungkap Platon, yang telah kehilangan (lupa) banyak pengetahuan akan sang idea di atas pelan-pelan teringat kembali, setelah bersentuhan secara inderawi (sensible) dengan alam barunya yang material tersebut. Maka pengetahuan bagi Platon, adalah Pengingatan-Kembali atas apa yang telah diketahuinya di alam Idea.
Barangkali secara awam bisa kita bertanya. Dari mana Platon tahu bahwa ada alam yang dia sebut sebagai alam idea? Pertanyaan sederhana tersebut adalah pintu utama dari banyak problematisasi yang disodorkan pada teori Filsuf besar ini.
Pengetahuan—dalam perspektif Platon—telah usai, yakni telah berlangsung di dunia Idea. Sementara posisi kehidupan duniawi kita saat ini adalah hanya berfungsi “mengingat” dan “bukan mengetahui”. Jadi tidak ada lagi aktivitas yang kita sebut “mengetahui atau berpikir”, yang ada hanyalah “mengingat”. Perbedaan sederhananya, kalau mengetahui sesuatu, berarti sebelumnya tak mengetahui. Namun kalau mengingat, sebelumnya telah mengetahui hanya lupa, jadi tinggal diingat.
Apa yang membuat kita teringat pada alam idea menurut Platon? Yakni karena kita bersentuhan secara iderawi dengan alam sekitar kita. Kita melihat pohon misalnya, ada banyak pohon yang kita lihat dan berbeda-beda. Begitu banyak perbedaan pohon yang kita lihat, tapi kita tetap saja mengatakan bahwa semua itu adalah pohon. Mungkin Platon bertanya dalam soal ini. Mengapa yang saya lihat berbeda-beda namun yang saya pahami hanya satu, yakni Pohon. Ia berbesit “karena pikiran saya terangkat mengingat pada pohon idea yang pernah dilihatnya pada dunia idea”.
Namun kita dapat bertanya ulang. Bukankah untuk sampai pada ingatan akan “Pohon Sejati”, kita mesti “mengetahui” terlebih dahulu pohon yang kita lihat dengan mata kita yang bentuknya berbeda-beda itu? Namun anehnya, Platon telah menutup pintu pengetahuan di alam sekarang, alam materi/tiruan. Lantas bagaimana Platon menjelaskan apa yang terjadi antara hubungan kita dengan yang sekarang kita cerap secara inderawi? Tentu itu bukan ingatan, karena ingatan mengarah kepada obyek masa lalu.
Bukankah untuk ingat sesuatu, kita mesti mendahuluinya dengan stimulus yakni berupa pengetahuan akan sesuatu agar teringat sesuatu yang telah diketahui dulu.
Kita kembali mengingat bahwa alam idea dan alam materi yang kita hidupi saat ini adalah terpisah/(dualitas) bagi Platon. Lantas bagaimana caranya jiwa dapat kembali atau bahkan bagaimana ceritanya dulu jiwa kita bisa turun?
Toh kalau jiwa telah mendapati kesempurnaannya pada Alam Idea, kenapa lantas harus turun pada derajat yang lebih rendah pada alam materi.
Sedikit banyak memang problem epistemologi Platonian ini akan menyeret kita juga pada problem ontologis.
Kritik Baqir Sadr lebih berfokus pada isu keterpisahan atau hubungan jiwa dan tubuh. Karena itulah dasar konstruksi teori Platon. Bagi Baqir Sadr, jiwa bukanlah sesuatu yang awalnya telah mandiri dari tubuh. Sebab jika jiwa memiliki kemandirian maka pertanyaannya bagaimana bisa menyatu dua hal yang berbeda secara esensial? Bagaimana yang Immateri bersatu dengan yang Materi?
Jiwa disebut sebagai gerak menyempurna dari hubungan-hubungan material, namun tidak berarti jiwa berasal dari materi, artinya jiwa adalah potensi pada materi, yang kelak akan mengaktual dan memperoleh kesempurnaannya sendiri. Itulah kenapa pikiran kita makin bertambah luas dan sempurna bukan justru karena telah sempurna dari awalnya, tapi karena pergulatan hidup kita sehari-hari yang terus menghasilkan wawasan yang makin kokoh. Sehingga semakin intens kita bergelut dengan kehidupan ini semakin kuat pula tensi kejiwaan kita memahami hakikat hidup ini.
Baqir Sadr justru tampak lebih bersepakat pada Aristoteles yang menekankan bahwa gagasan kesejatian adalah abstraksi pada pikiran yang mampu melakukan pemilahan-pemilahan secara rasional sehingga dapat menghasilkan konsep universal. Itu adalah daya pikiran manusia yang sangat canggih yang menegaskan bahwa terdapat kamampuan abstraktif untuk menyatukan hakikat keberbedaan di realitas dalam satu konsep.
Setidaknya inilah juga yang mungkin menjadi kegelisahan Platon, bahwa ia tidak menemukan sumber realitas pada konsep universal tersebut. Karena bagaimanapun kita tak pernah melihat pohon yang universal sejati, sehingga maklum jika dia bertanya dari mana gagasan universal-sejati tersebut? Setidaknya jawaban Dunia Idea adalah jawaban sementara yang bisa dia ajukan untuk menenangkan pikirannya yang gelisah.