Kun Fil Fitnati…: Menyikapi Fitnah Menurut Imam Ali a.s. (Bag. Kedua)
Faktor-faktor Fitnah
Faktor terpenting untuk sampai pada tujuan adalah sarana. Tentunya para penyebar fitnah juga mengulas beberapa prasyaratnya dengan akurat. Maka penting sekali mengidentifikasi faktor-faktor ini untuk dijadikan landasan pokok bagi kita.
1. Takabur Dan Merasa Besar
Di antara faktor yang menyulut api fitnah adalah takabur (yang disebut sebagai induk keburukan). Dapat dilihat bagaimana sifat takabur orang-orang besar memprovokasi orang-orang awam dan menciptakan berbagai musibah sehingga membuka peluang lebar-lebar bagi para pembuat fitnah.
Imam Ali a.s. berkata:
اَلا فَالحَذَرَ الحَذَرَ مِن طَاعَةِ سَادَاتِکُم وَ کُبَرائِکُم وَ الَذينَ تَکَبَّروا عَن حَسَبِهِم
“Berhati-hatilah! Berhati-hatilah dari mengikuti para panutan, pembesar dan orang-orang yang menyombongkan diri dengan keturunannya.”[1]
Menurut Imam Ali tokoh-tokoh besar yang sombong menjadi landasan fanatik jahiliah, pilar fitnah, dan penjual kebanggaan jahiliah:[2]
فَاِنَّهُم قَواعِدُ اَسَاسِ العَصَبيَّةِ وَ دَعَائِمُ اَرکَانِ الفِتنَةِ وَ سُيُوفُ اعتِزَاءِ الجَاهِليَّةِ
2. Kebodohan
Di antara akhlak tercela adalah kebodohan yang bila berbaur dengan keangkuhan akan menjelma menjadi faktor jatuhnya seseorang. Para penyebar fitnah memanfaatkan kebodohan orang-orang semaksimal mungkin untuk kepentingan pribadi.
Menurut Imam Ali: “Setiap orang yang bodoh akan menerima fitnah.”[3]
Imam Shadiq a.s. juga pernah berkata: “Melalui dua ayat (QS. Al-A’raf [7]: 169[4] dan QS. Yunus [10]: 39[5]), Allah swt. memberikan dua pelajaran penting kepada umat ini, yaitu jangan berkata dan jangan mengingkari apa yang tidak diketahui.”
Dalam teknik menciptakan dan menyebarkan fitnah, sebagaimana yang telah kami sebutkan, para pembuatnya harus mengerahkan berbagai usaha yang matang untuk melancarkan fitnah, karena harus menggunakan cara-cara yang efektif, namun juga halus.
3. Menutup Kebenaran Dengan Baju Kebatilan
Menyulap kebatilan menjadi kebenaran diantara cara paling efektif yang digunakan oleh para pembuat fitnah untuk menipu orang-orang awam. Orang-orang polos yang bahkan menghendaki kebenaran, dengan asumsi menapaki jalan yang lurus, realitanya telah keluar dari rel kebenaran dan berada bersama orang-orang yang menghendaki kebatilan.
Lebih buruk lagi, dengan menyaksikan tokoh-tokoh besar berada di pihak kebatilan, orang lain meyakini kebenaran pihak tersebut sehingga bergabung dengan mereka. Sebagai contoh, keberadaan tokoh-tokoh seperti Talhah, Zubair, dan Aisyah di pihak pasukan oposisi dalam perang Jamal, tidak hanya menyebabkan jatuhnya banyak korban, namun juga banyak yang menjadi ragu dalam kebenaran atau kebatilan mereka, sehingga mereka tidak memihak (pasukan Imam Ali atau Aisyah) dan meninggalkan pasukan Imam Ali a.s.
Imam Ali a.s. berkata: فَلَو اَنَّ الباطِلَ خَلَصَ مِن مِزاجِ الحَقِّ لَم يَخفَ عَلَی المرتادين
“Sekiranya kebatilan terpisahkan dari perbauran dengan kebenaran, niscaya kebenaran tidak akan tersembunyi dari para pencarinya.”[6]
4. Menyebarkan Syubhat
Orang-orang yang memproduksi fitnah akan selalu menyebarkan syubhat untuk menyuntikkan racun mematikan dan melumpuhkan aktifitas masyarakat. Karena dalam kondisi seperti ini, mayoritas tidak lagi memiliki kekuatan untuk mengambil keputusan dan tindakan yang benar.
Dengan maraknya syubhat, kebenaran akan menjadi sangat samar bagi orang-orang yang berakal lemah. Meskipun kebenaran berada tidak jauh, mereka masih kehilangan jalan untuk menemukannya.
Perang Shiffin misalnya, dengan menancapkan Alquran di ujung tombak mereka memanfaatkan kebenaran untuk melawan kebenaran sehingga banyak orang yang lemah akalnya tidak lagi memperhatikan berbagai peringatan Imam Ali (sebagai Alquran natiq/hidup) dan termakan muslihat para pembuat fitnah seperti Muawiyah dan Amr Ash.
Dalam salah satu khutbah, Imam Ali a.s. berkata: وَاِنّما سُمِّيَتُ الشُبهَةُ شُبهَةً لأَنَّها تُشبِهُ الحَقّ
“Sesungguhnya syubhat disebut syubhat karena ia menyerupai kebenaran.”[7] Hal itu dapat memperdaya orang-orang yang lemah akalnya.
Solusi Saat Terjadi Fitnah
Cara menghadapi fitnah berbeda-beda menurut tempat dan waktu timbulnya fitnah. Berikut ini sebagian solusi yang bermanfaat pada setiap saat (terjadinya fitnah):
- Diam dan menghindar
Setiap kali terjadi fitnah dan pertikaian antara dua kelompok yang batil, tugas kaum muslimin adalah menghindar dari kobaran api fitnah sehingga tidak binasa sia-sia.
Imam Ali a.s. dalam hal ini berkata: اَلعُزلَةُ اَفضَلُ شِيَمِ الاَکياسِ
“Menyingkir merupakan karakter terpuji orang-orang yang cerdas dan pandai.”[8]
- Menghindarkan diri untuk tidak dimanfaatkan orang lain
Terkadang sebagian orang meskipun secara langsung tidak menjadi pihak yang berkonflik, akan tetapi tanpa dikehendaki dimanfaatkan oleh dua pihak yang berselisih sehingga dalam kondisi demikian, ia akan menjadi mitra kejahatan para pembuat fitnah.
Sebagai contoh: Pada perang dunia kedua, meskipun Iran bukan termasuk negara-negara yang berkonflik, namun tanpa dikehendaki sebagian negara memanfaatkan Iran. Kereta api di seluruh Iran berubah menjadi sarana untuk memindahkan bantuan ke pihak Soviet. Lalu pasukan Inggris menyerang Iran dari darat dan udara. Amerika dengan alasan membantu Soviet melawan Jerman juga memasuki wilayah Iran.
Setelah peristiwa itu, harta benda, jiwa, kehormatan, keyakinan dan keamanan rakyat Iran pun dirampas. Pada akhirnya, Iran yang di permulaan perang mengumumkan ketidakberpihakannya, menyatakan perang melawan Jerman pada tanggal 17 Shahrivar 1322 (24 Agustus 1943) dan masuk ke api fitnah.
- Bertindak tepat dan perhitungan dalam membela pihak kebenaran
Saat fitnah berbentuk perang (baik keras atau lunak) terjadi antara kebenaran dan kebatilan, berdiam diri dan menghindar dapat disebut berdosa. Taklif syar’i setiap insan adalah jihad (militer, politik, pemikiran, kebudayaan dan…) sesuai dengan persyaratan yang ada dan membantu pihak yang benar sebatas kemampuan. Prinsip ini disebutkan dalam Alquran secara eksplisit, seperti QS. Al-Baqarah [2]: 193[9] dan QS. Al-Hujurat [49]: 9.[10]
Ada baiknya juga kita ketahui bahwa keberpihakan ini harus di bawah pengawasan seorang pemimpin yang mengerti dan kompeten dan dilakukan dalam waktu yang tepat sehingga dapat meraih hasil yang maksimal dengan minim kerugian atau korban.
Perdamaian Imam Hasan a.s. dengan Muawiyah[11] merupakan suatu contoh nyata ketidaktaatan para tentara yang lemah iman terhadap seorang pemimpin dalam membantu front kebenaran melawan kebatilan dan masih banyak lagi contoh lain dalam sejarah.
- Amar Makruf dan Nahi Mungkar
Dari QS. Al-Anfal [8]: 25[12] dapat dipetik bahwa dengan meninggalkan amar makruf dan nahi mungkar (cuek terhadap kemungkaran) akan muncul berbagai musibah besar dan menghanguskan segalanya. Oleh karena itu, sebelum berbahaya sebaiknya kita mengambil langkah, karena amar makruf bagi orang-orang yang tidak mengetahui dan nahi mungkar untuk pelaku-pelaku fitnah berpengaruh dalam mencegah dan menghadapi fitnah.
Imam Ali a.s. dalam salah satu khutbahnya mengatakan:
لا تَترُکوا الأَمرَ بِالمعروفِ و النَّهی عَن المُنکرِ فَيُوَلّی عَلَيکُم أَشرارُکُم ثُمَّ تَدعونَ فَلا يُستَجابَ لَکُم
“Jangan kalian tinggalkan amar makruf dan nahi mungkar, karena (bila kalian tinggalkan) kalian akan dikuasai oleh orang-orang yang jahat maka doa kalian (untuk membasmi mereka) tidak akan terkabul.”[13]
- Meningkatkan wawasan dan kesadaran
Penentangan dan permusuhan terhadap kebenaran terkadang muncul dari ketidaktahuan sebagian orang. Betapa banyak orang-orang yang sebelumnya kehilangan arah, melihat pancaran makrifat dan terbebas dari lembah kesesatan setelah menyaksikan cahaya hakekat.
Dengan demikian, ketika terjadi peristiwa yang menyesatkan seperti fitnah, mencari bashirah dan kesadaran (terutama dari pihak ulama hakiki) merupakan tugas terpenting dan cara untuk menghadapi fitnah.
Cara memperoleh bashirah sangat banyak, berikut ini beberapa contoh di antaranya:
1. Mengidentifikasi aktor-aktor utama dan faktor-faktor penting fitnah, sebagaimana Imam Ali a.s. sejak pertama telah mengetahui tindakan dan niatan jahat orang-orang seperti Talhah, Zubair, dan Aisyah untuk melancarkan fitnah Jamal.
2. Menjelaskan dan menyingkap hakekat sebagaimana dilakukan oleh Imam Ali a.s. terkait Khawarij sehingga 2/3 tentara berjumlah 12 ribu orang yang terperdaya oleh Khawarij menyesal dan kembali ke barisan Imam Ali.
3. Mengidentifikasi sumber fitnah. Imam Ali a.s. dalam sebuah khutbah setelah perang Nahrawan menyatakan: “Wahai manusia! Aku telah menikam mata fitnah dan kerusakan (aku berperang dengan Talhah, Zubair dan para pengikutnya pada perang Jamal, dengan Muawiyah bersama pasukannya pada perang Shiffin, dan dengan Khawarij di Nahrawan. Tidak aku biarkan kerusakan mereka merebak ke berbagai penjuru.)[14]
4. Berpegang teguh kepada Kitabullah. Alquran adalah mukjizat abadi Nabi saw. yang cahayanya hingga kini tidak berkurang setelah berlalunya lebih dari 14 abad dan senantiasa menjadi petunjuk manusia dalam segala hal.
Rasulullah saw bersabda:
فإذا التَبسَت عَلَيکُم الفِتَن کَقِطَع اللَّيلِ المُظلِم فَعَلَيکُم بِالقُرآن
“Ketika kalian diliputi fitnah seperti malam yang gelap gulita, maka berpegang teguhlah kepada Alquran.”[15]
Imam Ali a.s. dalam sebuah khutbah juga menyatakan:
لا تُکشِفُ الظُّلُماتُ إلّا بِه
“Kegelapan-kegelapan (kebodohan, ketidaktahuan, dan syubhat) tidak akan terhapus kecuali dengannya (Alquran).”[16]
5. Mengikuti sirah para nabi dan maksumin
Para nabi dan imam adalah hujjah Allah di muka bumi sehingga melalui cahaya wujud mereka, kegelapan menjauh dari penduduk bumi.
Imam Ali a.s. berkata: هُم مَصابيحُ الظُّلمِ و يَنابيعُ الحِکَمِ و معادِنُ العِلمِ ومَواطِنُ الحِلمِ
“Mereka adalah lentera kegelapan, mata air hikmah, tambang ilmu, dan tempat kesabaran.”[17]
Barangsiapa yang ketika terjadinya fitnah dan masalah-masalah yang serupa mengamalkan sirah mereka, niscaya mencapai kebahagiaan hakiki, karena dalam sebuah hadis disebutkan: هُم عيشُ الحِلمِ و موت الجَهل
“Mereka (ahlul bait) menghidupkan ketabahan dan menghilangkan kejahilan.”[18]
6. Mengambil ibrah dan pelajaran dari sejarah orang-orang terdahulu
Ketika peristiwa seperti fitnah terjadi, mengambil ibrah dan pelajaran dari orang-orang terdahulu akan menjadi tameng pelindung yang baik. Sejarah tidak boleh disamakan dengan kisah; sejarah adalah riwayat hidup orang-orang seperti kita di lain tempat dan waktu. Allah swt dalam Alquran juga mewasiatkan kepada umat manusia untuk mengambil pelajaran.
Imam Ali a.s. berkata: مَنْ لَمْ يَتَّعِظْ بِالنَّاسِ وَعَظَ اَللَّهُ اَلنَّاسَ بِهِ
“Barangsiapa yang tidak mengambil pelajaran dari orang lain, Allah akan menjadikannya pelajaran bagi orang lain.”[19]
Banyak sekali kisah-kisah orang terdahulu yang dapat dijadikan pelajaran, namun peristiwa terbesar yang belum pernah disaksikan dan didengar oleh sejarah umat manusia dalam agama-agama terdahulu adalah peristiwa Asyura yang sangat mengguncang jiwa. Terlepas dari kajian dan pemikiran seputar sebab tragedi itu di hadapan mata kaum muslimin yang mengenal kebenaran dan hanya diam, kita memiliki kewajiban untuk berfikir, bila kita berada pada masa itu atau peristiwa itu terjadi pada masa kita, akan berada di pihak manakah kita? Jika saat ini kita lalai, mungkin masyarakat muslim akan sampai pada satu kondisi yang sama dengan kondisi pada masa Imam Husain a.s. Kekejian pada masa itu sampai pada sebuah kondisi Ahlul Bait Nabi saw disebut sebagai khawarij (yang menentang imam yang adil). Yang menjadi pertanyaan, siapakah imam yang adil saat itu? Yazid bin Muawiyah!
Mari kita ingat, terlepas dari orang-orang awam, bila orang-orang alim juga mengorbankan agama untuk kepentingan dunia dan saling berselisih, maka di saat itulah kebenaran akan dibawa ke tempat penyembelihan dan pembantaian Karbala. Di sanalah orang-orang seperti Yazid akan berkuasa. Andai saja orang-orang pada zaman Imam Husain a.s. tidak melalaikan pelajaran masa lalu, mengambil keputusan dan bertindak dengan benar serta tidak meninggalkan taklif syar’i, niscaya peristiwa Asyura tidak akan pernah terjadi dan sejarah pasti akan berbeda.[20]
===============================================
[1] Syarh Nahj Al-Balaghah, Ibnu Abil Hadid, jilid 1, halaman 146.
[2] Ibid.
[3] Ghurar Al-Hikam, hadis ke-6.763.
[4] Al-A’raf: 169:
“فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هذَا الْأَدنى وَ يَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنا وَ إِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ أَ لَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ ميثاقُ الْكِتابِ أَنْ لا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلّاَ الْحَقَّ وَ دَرَسُوا ما فيهِ وَ الدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذينَ يَتَّقُونَ أَ فَلا تَعْقِلُونَ”
“Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: “Kami akan diampuni”. Dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya? Dan kampung akhirat itu lebih baik bagi mereka yang bertakwa. Maka apakah kalian tidak mengerti?”
[5] Yunus: 39:
“بَلْ كَذَّبُوا بِما لَمْ يُحيطُوا بِعِلْمِهِ وَ لَمَّا يَأْتِهِمْ تَأْويلُهُ كَذلِكَ كَذَّبَ الَّذينَ مِنْ قَبْلِهِمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كانَ عاقِبَةُ الظَّالِمين”
“Bahkan mereka mendustakan apa yang mereka belum mengetahuinya dengan sempurna, padahal belum datang kepada mereka penjelasannya. Demikianlah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (rasul). Maka perhatikanlah bagaimana akibat orang-orang yang zalim itu.”
[6] Syarh Wa Tafsir-e Nahjol Balagheh, Allamah Ja’fari, sebagian Khutbah ke-50, jilid 10, halaman 108.
[7] Tarjomeh Nahjol Balagheh, Muhammad Ali Ansari, Khutbah ke-38.
[8] Hidayah Al-Ilm Fi Tandhim Ghurar Al-Hikam.
[9] Al-Baqarah: 193
وَ قاتِلُوهُمْ حَتَّى لا تَكُونَ فِتْنَةٌ وَ يَكُونَ الدِّينُ لِلَّهِ فَإِنِ انْتَهَوْا فَلا عُدْوانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمين
“Dan perangilah mereka itu, sehingga tidak ada fitnah lagi dan (sehingga) ketaatan itu hanya semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari memusuhi kalian), maka tidak ada permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim.”
[10] Al-Hujurat: 9:
وَ إِنْ طائِفَتانِ مِنَ الْمُؤْمِنينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما فَإِنْ بَغَتْ إِحْداهُما عَلَى الْأُخْرى فَقاتِلُوا الَّتي تَبْغي حَتَّى تَفيءَ إِلى أَمْرِ اللَّهِ فَإِنْ فاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُما بِالْعَدْلِ وَ أَقْسِطُوا إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطينَ
“Dan kalau ada dua golongan dari kaum mukminin berperang hendaklah kalian damaikan antara keduanya. Tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kalian perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau mereka telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kalian berlaku adil. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.”
[11] Karena Muawiyah memaksa berperang, Imam Hasan a.s. terpaksa memeranginya. Sebagaimana yang pernah dilakukan di perang Shiffin, Muawiyah mulai melancarkan tipu muslihatnya. Muslihat Muawiyah pada akhirnya membuat Imam Hasan terjebak di sebuah gurun dan Muawiyah tidak segan-segan mengusulkan perdamaian. Atas desakan tentara dan dengan pertimbangan menghindari fitnah dan pertumpahan darah yang lebih besar lagi, Imam Hasan a.s. menerima untuk berdamai dengan Muawiyah.
[12] QS. Al-Anfal [8]: 25
وَ اتَّقُوا فِتْنَةً لا تُصيبَنَّ الَّذينَ ظَلَمُوا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَ اعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ شَديدُ الْعِقابِ
“Dan peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
[13] Nahjul Balaghah, Faidh Al-Islam, sebagian surat ke-47.
[14] Ibid, sebagian Khutbah ke-92.
[15] Bihar Al-Anwar, jilid 92, halaman 17.
[16] Nahjul Balaghah, Faidh Al-Islam, Khutbah ke-18.
[17] Ghurar Al-Hikam, Hadis ke-10.770.
[18] Ibid, Hadis ke-10.771.
[19] Ibid, Hadis ke-9.599.
[20] Dinukil dari “Ebrat-ha-ye Asyora dar Kalam-e Rahbari” (Pelajaran-pelajaran Asyura dalam Ucapan Imam Ali Khamenei).