Kun Fil Fitnati…: Menyikapi Fitnah Menurut Imam Ali a.s. (Bag. Pertama)
Fitnah senantiasa mengancam masyarakat. Supaya selamat dari keburukannya harus merujuk kepada sirah Nabi saw. dan para imam maksum a.s.
Amirul Mukminin Ali a.s. dalam hikmah sosial politiknya menjelaskan bahaya fitnah dan jalan keluar darinya:
كُنْ فِي الْفِتْنَةِ كَابْنِ اللَّبُونِ، لَا ظَهْرٌ فَيُرْكَبَ وَ لَا ضَرْعٌ فَيُحْلَب
“Jadilah dalam fitnah seperti anak unta dua tahun yang belum punya punggung (yang kuat) untuk ditunggangi dan belum punya susu untuk diperah.”[1]
Arti Fitnah
Fitnah berasal dari “فتن”. Menurut Qurasyi artinya meletakkan emas di api untuk menunjukkan kadar murni atau tidaknya.[2] Menurut sebagian ahli bahasa berfungsi untuk menguji dan memilah unsur murni atau tidaknya sesuatu. Kata ini banyak diulang dalam Nahjul Balaghah. Maksud Imam Ali bukan makna verbal dan leksikal atau dimensi individual dan etisnya, namun maksudnya adalah fenomena-fenomena sosial politik yang menimpa masyarakat Islam dan pada saat yang sama mengesampingkan kebenaran dan menipu.[3]
Dalam Alquran, kata fitnah dan derivatifnya disebutkan puluhan kali dengan berbagai makna yang berbeda-beda, di antaranya:
1. Ujian
أَحَسِبَ النَّاسُ أَنْ يُتْرَكُوا أَنْ يَقُولُوا آمَنَّا وَ هُمْ لا يُفْتَنُون
“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”[4]
2. Tipuan
يَا بَنِي آدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ
“Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan…”[5]
3. Siksaan
يَوْمَ هُمْ عَلَى النَّارِ يُفْتَنُونَ * ذُوقُوا فِتْنَتَكُمْ
“(Hari pembalasan itu) ialah pada hari ketika mereka diazab di atas api neraka. * (Dikatakan kepada mereka): “Rasakanlah azab kalian itu…””[6]
Fitnah Lebih Kejam Dari Pembunuhan
Perbuatan terburuk dan paling dibenci dalam kamus Islam adalah membunuh manusia tidak berdosa. Alquran menyebutkan:
أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا
“Bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya.”[7]
Dalam ayat ini disebutkan bahwa membunuh seorang manusia tanpa dosa di muka bumi sama dengan membunuh seluruh manusia. Allah swt. juga menyebutkan balasan membunuh orang mukmin yang tidak berdosa dengan siksa kekal neraka Jahannam:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”[8]
Di sisi lain, Alquran menyebut dosa menciptakan/menyebarkan fitnah lebih buruk dan lebih kejam dari membunuh manusia tidak berdosa:
وَالْفِتْنَةُ أَشَدُّ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan fitnah itu lebih dahsyat dari pembunuhan.”[9]
وَالْفِتْنَةُ أَكْبَرُ مِنَ الْقَتْلِ
“Dan berbuat fitnah itu lebih besar (dosanya) daripada membunuh.”[10]
Alasannya karena pembunuhan adalah sebuah tindak kejahatan terhadap fisik/badan manusia, sedangkan fitnah adalah tindak kejahatan terhadap jiwa, ruh, dan imannya. Dalam fitnah, orang akan kehilangan keimanan dan kebahagiaannya, akan menyimpang dari jalan kebenaran. Selain itu, keamanan masyarakat yang menjadi keniscayaan kehidupan damai akan lenyap. Kehidupan dalam sebuah masyarakat seperti itu setiap detiknya akan dihantui oleh kematian.[11]
Alasan Penyerupaan dengan Anak Unta
Ketika terdapat dua simpul fitnah (yang keduanya bukan dalam kebenaran) dan terjadi pertikaian sebagai hasil dari permusuhan satu dengan yang lainnya, manusia (baik ia lemah atau kuat) tidak harus menjadi bahan mainan orang lain. Ia harus mengidentifikasi fitnah dengan kesadarannya, bersikap sedemikian rupa sehingga para penyulut fitnah tidak dapat menungganginya (لَا ظَهْرٌ فَيُرْكَبَ) dan juga tidak dapat diperah manfaatnya (لَا ضَرْعٌ فَيُحْلَب).
Namun tetap dengan catatan bahwa menarik diri dari fitnah dapat dibenarkan pada fitnah yang kedua simpulnya berisi kebatilan dan kerusakan. Ucapan Imam Ali ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menarik diri dari fitnah yang salah satu simpulnya adalah kebenaran. Dalam peristiwa fitnah seperti perang Jamal dan Shiffin, diwajibkan membela pihak yang benar dan bernahi mungkar meskipun nyawa menjadi taruhannya.[12]
Untuk menemukan solusi yang tepat di saat fitnah, perlu mengenal fitnah dan motifasi para pembuat fitnah.
Sumber Fitnah
Setelah perang Shiffin, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. pernah berkhutbah, di antara isinya:
إِنَّمَا بَدْءُ وُقُوعِ الْفِتَنِ أَهْوَاءٌ تُتَّبَعُ، وَأَحْكَامٌ تُبْتَدَعُ، يُخَالَفُ فِيهَا كِتَابُ اللَّهِ
“Sesungguhnya permulaan terjadinya berbagai fitnah (yang menjadi ujian bagi umat manusia) adalah hawa nafsu yang dituruti, hukum yang dibuat-buat (bid’ah) yang bertentangan dengan Kitabullah.”[13]
Kalau melihat sejarah, akan diketahui bahwa sumber fitnah tiada lain adalah dua faktor yang disampaikan oleh Imam Ali di atas.
1. Hawa Nafsu
Jika manusia mengikuti hawa nafsunya (menjadi budak harta dan kekayaan, bersenang-senang, memburu kedudukan, terperdaya dunia dan…), ia akan berperilaku seperti kuda liar, nilai-nilai kemanusiaan tidak berarti lagi baginya dan sanggup melakukan perbuatan apapun demi memenuhi keinginan hawa nafsunya.
Imam Ali a.s. berkata: الشَّهْوَة ُتغری
“Hawa nafsu akan menimbulkan fitnah.”[14]
2. Menciptakan Bid’ah (Dalam Hukum)
Bid’ah juga menjadi sumber penting terjadinya fitnah yang biasanya berasal dari ulama, agamawan, dan cendikiawan. Dengan menciptakan hukum-hukum tanpa dasar atas nama agama, orang-orang awam akan terseret dalam kesesatan. Demikian pula salah satu faktor munculnya paham-paham seperti sekularisme[15] dan liberalisme[16] di Barat adalah penyelewengan dalam berfikir dan menafsirkan kitab suci kaum Kristiani.
Ciri-ciri Fitnah
Fitnah muncul dari tempat yang tersembunyi dan berbentuk mirip dengan kebenaran. Pada mulanya, ucapan-ucapan yang terlontar tampak logis, tidak memihak, dan indah sehingga dapat membuat ragu orang-orang besar dan mampu menghimpun banyak pendukung dalam waktu yang sangat singkat. Mayoritas mereka adalah manusia-manusia lugu (dungu) yang dengan mudah dihembuskan angin ke arah mana saja.
Imam Ali a.s. dalam hal ini menyatakan: اِنَّ الفِتَنَ إِذا اَقبَلَت شبّهت و اذا ادبرت فبّهت
“Sesungguhnya apabila fitnah telah datang akan menyerupai kebenaran dan jika berlalu tampaklah kebenaran (yang sesungguhnya).”[17]
=========================
[1] Nahjul Balaghah, Hikmah ke-1.
[2] Mofradat Nahjol Balagheh, Qurasyi, jilid 2, halaman 802.
[3] Mengutip dari kitab Elmi Dar Ayine-ye Nahjol Balagheh, Husein Namazi.
[4] QS. Al-‘Ankabut [29]: 2.
[5] QS. Al-A’raf [7]: 27.
[6] QS. Adz-Dzariyat [51]: 13 – 14.
[7] QS. Al-Maidah [5]: 32.
[8] QS. An-Nisa’ [4]: 93.
[9] QS. Al-Baqarah [2]: 191.
[10] QS. Al-Baqarah [2]: 217.
[11] Tafsir-e Nemoneh (Tafsir Al-Amtsal), jilid 2, halaman 112, ayat 217; Tarjome-ye Tafsir Al-Mizan, jilid 2, halaman 89, ayat 191.
[12] Tarjomeh va Syarh-e Nahjol Balagheh, Faidh Al-Islam, jilid 6, halaman 1.088; Tarjomeh va Syarh-e Nahjol Balagheh, Ibnu Maitsam Bahrani, jilid 5, halaman 404.
[13] Nahjul Balaghah, Khutbah ke-50.
[14] Ghurar Al-Hikam, hadis ke-6.763.
[15] Sekularisme: Sebuah pemikiran yang para penganutnya berusaha mengatur kehidupan dunia manusia dengan tanpa pertolongan agama. Hakikatnya, mereka menginginkan pemisahan agama dari politik.
[16] Liberalisme: Berasal dari kata liberal (penuntut kebebasan) dan penganutnya ingin menuntut kebebasan (dengan mengikuti hawa nafsu).
[17] Khutbah ke-93.