Manusia dan Nilai Ontologis Ekonomi
Fardiana Fikria Qurany
Manusia adalah makhluk organis. Dalam kehidupannya aspek-aspek material adalah hal-hal yang tak terelakkan. Untuk itu guna memberlangsungkan kehidupannya, maka secara niscaya manusia membutuhkan asupan makanan, mata pencaharian yang memadai. Tegasnya, kehidupan praktis material adalah satu kesatuan dalam hidup manusia.
Namun, sebagai makhluk yang berkesadaran, kehidupan material manusia memiliki nilai yang berbeda dengan kehidupan makhluk lainnya seperti hewan, binatang atau tumbuhan.
Memang, manusia yang memiliki insting untuk bertahan hidup (survivalitas) sama dengan hewan pada umumnya yang juga memiliki insting yang sama. Dalam praktiknya, manusia dan hewan sama mengkonsumsi makanan untuk kebutuhan tubuh biologisnya. Namun apa yang berbeda adalah konstruksi nilai (etis-sosial) bahkan spiritual dalam kehidupannya.
Struktur rasionalitas yang berkaitan dengan struktur berpikir (ilmiah-logis-filosofis), Konstruksi etika yang terkait dengan pemahaman nilai-nilai suatu tindakan, serta kehidupan sosial yang dimengerti dalam kerangka ideologis-sistemik adalah lanscap manusia menjalankan aktivitas kesehariannya.
Ekonomi Sebagai Sistem Sosial
Studi ekonomi merupakan suatu pemikiran rasional tentang cara manusia memenuhi kebutuhan material hidupnya. Pertanyaannya, bukankah hewan juga melakukan aktivitas untuk memenuhi kebutuhan biologis-materialnya? Namun kita nyaris tak menemukan suatu teori pun yang menyatakan adanya aktivitas “ekonomi” pada hewan. Sehingga apa yang disebut sebagai aktivitas ekonomi selalu ditujukan kepada kehidupan manusia. Sehingga dengan begitu, aktivitas ekonomi adalah khas pada manusia.
Hal demikian karena berpulang kepada basis konsepsi mengenai apa itu ‘ekonomi’. Kita dapat mengambil suatu gambaran yang sederhana, jika ada seorang manusia hidup di tengah-tengah hutan, lalu ia bertahan hidup dengan memakan bahan-bahan di sekitarnya, apakah hal demikian dapat disebut sebagai aktivitas ekonomi? Jawabannya tidak. Karena di dalam contoh ini tidak ada nilai etis-sosial apapun yang membentuk suatu sistem kehidupan sosial manusia.
Maka, ekonomi mengandaikan terdapatnya suatu sistem nilai-moral yang terekspresikan dalam konteks kehidupan sosial manusia. Maka, dalam ekonomi, manusia pertama-tama diletakkan sebagai makhluk sosial dimana nilai-nilai ekonomi terkait dengan nilai-nilai sosialnya. Misal, saat kita hendak melakukan aktivitas konsumsi, kita memiliki pemahaman nilai mengenai status kepemilikan akan suatu barang/properti yang hendak dikonsumsi. Apakah suatu barang berhak kita manfaatkan dalam konsumsi?
Pertanyaan tersebut mengandung pengertian bahwa manusia mesti memiliki konsepsi mengenai status kepemilikan suatu properti di luar aspek kemanfaat yang inheren dalam properti tersebut. Dan hal ini akan membawanya pada bangunan sosial mengenai siapa yang berhak atas suatu barang dan dengan cara yang bagaimana hak-hak tersebut didapatkan.
Pada gilirannya, manusia mengembangkan suatu sistem sosial yang bersifat ideologis sebagai landasan pengabsahan suatu status kepemilikan. Konstruksi ideologis kemudian dilembagakan dalam struktur-struktur institusional seperti hukum dan kekuasaan politik negara.
Maka, ekonomi tak semata soal konsumsi individual per se, tapi soal nilai-nilai ideologis yang mengabsahkan seluruh tatanan aktivitas pemenuhan kebutuhan material manusia sebagai makhluk sosial. Maka secara pasti seluruh aktivitas ekonomi manusia bersifat sosial.
Aspek Keabsahan Ideologis Tindakan Ekonomi
Kita dapati misalnya dalam diskursus ekonomi klasik. Bahwa subyek kajian ekonomi adalah ‘nilai’. Yakni suatu barang memiliki nilai sejauh ia dapat memenuhi kebutuhan diri manusia, maka nilai dimengerti dalam konteks adanya kebutuhan akan suatu barang. Persoalannya, apakah semua barang secara serta merta dapat secara langsung kita konsumsi sebagai sesuatu yang kita butuhkan. Ada nilai lain yang konstitutif secara sosial, yakni kepemilikan. Artinya suatu barang dapat kita konsumsi bukan semata soal adanya kebutuhan melainkan adanya keabsahan.
Begitu pula saat kita hendak mempertukarkan suatu barang, kembali kita dapati suatu struktur nilai yang meliputi aktivitas tersebut. Suatu pertukaran akan absah jika telah dikonsepsi sejak awal adanya keabsahan akan status kepemilikan barang tersebut. Lalu dalam segi prosesnya, apa kriteria keabsahan suatu proses pertukaran. Misal, Aristoteles pernah berteori, tiada pertukaran tanpa kesetaraan dan tiada kesetaraan tanpa keseukuran.
Kesetaraan dan keseukuran tidak mungkin hanya dilihat dari segi wujudnya suatu barang yang sejak awal telah bersifat khas dan unik. Misal, apel dan donat tidak akan mungkin dicari kesetaraan dan keseukurannya lantaran keduanya telah berbeda nilai instrinsiknya. Sehingga terlihat misalnya dalam diskursus teori nilai, bahwa apa yang membuat setara suatu barang dengan barang yang lain selalu diukur dengan konteks lain dari barang tersebut, misalnya teori nilai kerja yang melihat kesetaraan-keseukuran dari aspek curahan kerja atas suatu barang, dan berbeda dengan teori nilai utilitas yang lebih mengutamakan nilai permintaanya di hadapan pasar.
Maka, ekonomi sejak awal mengandung syarat-syarat yang bernilai ideologis. Ia tak semata berjalan apa adanya hanya dengan insting bertahan hidup ala hewan pada umumnya.
Ekonomi juga tidak sekedar bekerja dalam level mikro sebagaimana teori klasik dari Aristoteles. Tapi berkembang dalam kehidupan makro dimana terdapat struktur politik negara, dan kaitannya dengan sejumlah persoalan-persoalan di tengah-tengah masyarakat seperti kemiskinan, pengangguran, ketersediaan sumber-sumber ekonomi hingga konflik-konflik sosial yang diakibatkan oleh ketimpangan ekonomi.
Hal itu menegaskan bahwa soal ekonomi memiliki sejumlah kaitan dengan soal-soal kehidupan sosial manusia seperti kepastian kerja, keadilan, keamanan, demi terciptanya ruang yang kondusif bagi peningkatan nilai ‘human development’. Dimana kesemua ini akan bermuara pada visi politik negara untuk menghadirkan keadilan dan kesejahteraan.
Konstitusi negara Indonesia merumuskan prinsip ekonomi nasional dengan cukup humanis dengan meletakkannya dalam sumbu nilai kehidupan sosial ‘timur’ yang bersendikan nilai-nilai kebudayaan kekeluargaan.