Memperdalam Aspek Fiqih: Jihad Defensif sebagai Fardhu ‘Ain
Annisa Eka Nurfitria, M.Sos——– Fatwa Ayatollah Sistani tentang jihad defensif adalah contoh konkret dari implementasi fiqih Islam dalam situasi darurat. Menurut hukum Islam, ketika sebuah negara atau wilayah menghadapi ancaman langsung dari agresor yang dapat merusak keselamatan dan keamanan masyarakat, maka jihad defensif menjadi kewajiban individual (*fardhu ‘ain*) bagi setiap Muslim yang mampu melaksanakannya. Dalam konteks ini, ancaman dari ISIS terhadap Irak pada saat itu dianggap sebagai ancaman eksistensial yang harus ditanggapi dengan serius.
Jihad defensif dalam syariat Islam tidak memerlukan otoritas khusus atau izin formal, melainkan menjadi panggilan moral untuk melindungi tanah air, keluarga, dan agama. Ketika Ayatollah Sistani mengeluarkan fatwa ini, umat di Irak, khususnya mereka yang setia kepada prinsip-prinsip fiqih Islam, melihatnya sebagai seruan untuk mengambil bagian dalam mempertahankan negara dari ancaman yang membahayakan keamanan nasional dan sosial.
Stabilitas Irak dan Peran Fatwa
Serangan ISIS di Irak telah menghancurkan banyak aspek kehidupan sosial dan ekonomi, menciptakan krisis pengungsi, dan merusak infrastruktur penting di berbagai wilayah. Dengan latar belakang ini, fatwa jihad defensif yang dikeluarkan oleh Ayatollah Sistani memberikan dasar moral dan legal bagi rakyat Irak untuk bangkit melawan ancaman tersebut. Fatwa ini tidak hanya bersifat religius, tetapi juga memiliki efek besar pada stabilitas politik dan militer Irak.
Dengan respons yang cepat dan massal, banyak warga Irak yang berpartisipasi dalam upaya mempertahankan wilayah-wilayah yang terancam oleh ISIS. Salah satu hasil utama dari fatwa ini adalah terbentuknya unit-unit militer sukarelawan yang dikenal sebagai *Hashd al-Shaabi* atau Pasukan Mobilisasi Populer. Mereka berperan penting dalam membendung kemajuan ISIS dan merebut kembali wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh kelompok teroris tersebut.
Kehadiran pasukan rakyat ini sangat penting bagi stabilitas Irak, karena pemerintah Irak pada saat itu menghadapi tantangan besar dalam memobilisasi kekuatan militer formal yang cukup untuk menghadapi ISIS. Dengan meningkatnya kekuatan pasukan rakyat yang didukung oleh fatwa ini, stabilitas Irak menjadi lebih terjamin, dan inisiatif lokal untuk mempertahankan wilayah-wilayah yang terancam semakin efektif.
Peran Iran dalam Mendukung Irak
Sebagai negara tetangga yang memiliki hubungan strategis dan kultural yang kuat dengan Irak, Iran juga mengambil langkah-langkah penting dalam mendukung pemerintah Irak dan upaya rakyatnya untuk melawan ISIS. Iran melihat stabilitas Irak sebagai kunci bagi keamanan regional dan kelangsungan hubungan ekonomi serta diplomatik antara kedua negara. Oleh karena itu, setelah keluarnya fatwa dari Ayatollah Sistani, Iran dengan cepat memberikan bantuan logistik, pelatihan, dan dukungan militer bagi pasukan Irak, termasuk pasukan rakyat yang dibentuk sebagai respons terhadap ancaman ISIS.
Komitmen Iran dalam membantu Irak mengusir ISIS dipimpin oleh unit Pasukan Quds, yang merupakan bagian dari Garda Revolusi Islam Iran. Dukungan ini diberikan melalui pelatihan militer, pengiriman senjata, serta koordinasi strategis di lapangan. Sebagai negara yang juga mengalami ancaman dari kelompok teroris yang berbasis di Timur Tengah, Iran memandang stabilitas Irak sebagai prioritas keamanan nasional.
Dampak Mobilisasi Pasukan Rakyat
Salah satu dampak utama dari fatwa Ayatollah Sistani adalah kebangkitan gerakan rakyat yang dipersenjatai untuk mempertahankan tanah air mereka. Pasukan Mobilisasi Populer (*Hashd al-Shaabi*) menjadi kekuatan penting dalam membela Irak dari ancaman ISIS. Banyak dari mereka yang bergabung dengan pasukan ini adalah warga sipil biasa, termasuk petani, pekerja, dan pemuda, yang tergerak oleh fatwa Sistani dan panggilan moral untuk melindungi negara.
Pasukan rakyat ini berperan vital dalam mengubah jalannya pertempuran melawan ISIS. Dengan semangat yang kuat dan keberanian di garis depan, mereka membantu pasukan militer formal Irak dalam merebut kembali kota-kota dan desa-desa yang dikuasai ISIS. Gerakan ini menunjukkan bagaimana partisipasi rakyat dapat menjadi faktor penentu dalam menghadapi ancaman eksternal.
Selain itu, mobilisasi pasukan rakyat ini juga menandai awal dari era baru di mana partisipasi aktif masyarakat menjadi bagian integral dari keamanan nasional. Mereka tidak hanya membantu dalam konteks pertempuran fisik, tetapi juga berperan dalam menjaga stabilitas sosial dan memulihkan rasa percaya diri di kalangan rakyat Irak yang sempat terguncang oleh serangan-serangan ISIS.
Tantangan dalam Pemulihan Pasca-Konflik
Meskipun fatwa Ayatollah Sistani dan mobilisasi pasukan rakyat berhasil membendung dan mengalahkan ISIS di banyak wilayah Irak, tantangan besar tetap ada dalam proses pemulihan pasca-konflik. Infrastruktur yang hancur, pengungsi yang terlantar, serta trauma psikologis yang dialami masyarakat Irak membutuhkan perhatian dan usaha berkelanjutan.
Proses pemulihan ini membutuhkan sinergi antara pemerintah Irak, komunitas internasional, serta organisasi non-pemerintah yang dapat membantu dalam rehabilitasi fisik dan mental warga Irak. Tantangan ekonomi, terutama dalam menyediakan lapangan kerja dan membangun kembali fasilitas umum seperti sekolah, rumah sakit, dan transportasi, menjadi prioritas penting dalam era pasca-ISIS.
Selain itu, ada tantangan dalam hal integrasi pasukan rakyat ke dalam struktur militer formal. Banyak dari mereka yang sebelumnya tidak memiliki pengalaman militer, tetapi telah berpartisipasi aktif dalam pertempuran melawan ISIS. Oleh karena itu, pemerintah Irak menghadapi tugas untuk memfasilitasi proses transisi ini agar tidak menimbulkan masalah baru dalam hal keamanan domestik dan stabilitas politik.
Fatwa sebagai Simbol Perlawanan
Fatwa jihad defensif yang dikeluarkan oleh Ayatollah Sistani telah menjadi simbol kuat dari perlawanan terhadap kekerasan ekstremisme dan terorisme. Fatwa ini tidak hanya memotivasi warga Irak untuk bangkit melawan ISIS, tetapi juga menjadi contoh tentang bagaimana otoritas agama dapat memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas dan kedaulatan negara di tengah ancaman besar.
Lebih dari sekadar panggilan militer, fatwa ini mencerminkan nilai-nilai moral yang dalam dalam tradisi Islam, di mana melindungi nyawa, harta, dan tanah air dari ancaman yang tidak adil merupakan kewajiban yang diemban oleh setiap Muslim. Fatwa ini juga menegaskan pentingnya persatuan dan solidaritas dalam menghadapi musuh bersama, tanpa memandang latar belakang etnis atau suku.
Melalui fatwa ini, Ayatollah Sistani tidak hanya memperkuat peran otoritas agama dalam kehidupan publik Irak, tetapi juga mengingatkan dunia bahwa perlawanan terhadap ekstremisme membutuhkan pendekatan yang mencakup dimensi moral, sosial, dan spiritual. Fatwa ini, meskipun dikeluarkan dalam konteks lokal Irak, memiliki dampak global dalam memperkuat narasi tentang pentingnya mempertahankan perdamaian dan keadilan di tengah kekacauan yang disebabkan oleh terorisme.