Nasib Perempuan Gaza: Standar Ganda Feminisme di Hari Perempuan Sedunia
Feydh Mohammad Banyak organisasi sipil feminis bungkam dan beralih dari yang biasanya tampil terdepan menyuarakan hak-hak perempuan, emansipasi dan kesetaraan gender selama beberapa dekade, kini seolah-olah pembantaian, pengungsi, kelaparan, dan pelanggaran terhadap martabat sesama mereka, yaitu perempuan Palestina yang menjadi korban kekerasan dan pembantaian oleh Zionis, tidak berhak untuk mengajukan keluhan atau bahkan protes.”
Di Hari Perempuan Sedunia yang jatuh dua pekan lalu, genosida Israel telah memasuki hari ke-152 dan memakan korban nyaris menyentuh angka 30000 korban jiwa, 12.000 anak-anak dan 7000 perempuan. Angka ini nyaris sama dengan jumlah korban perang 4 tahun terakhir di seluruh dunia. Ini tidak termasuk perempuan korban luka-luka dari jumlah total 70.000 dan korban hilang, dalam reruntuhan.
Fakta ini mengungkapkan betapa perempuan Palestina menanggung beban yang berat, dan sangat rasional bila dunia menanti serius respon serta sikap kalangan yang selama ini mengais-ais dan menuntut hak-hak asasi perempuan di hari peringatan perempuan sedunia. Siapa lagi kalau bukan gerakan-gerakan feminisme.
Sudah jelas bahwa perempuan telah menjadi korban berbagai bentuk penindasan dan diskriminasi dalam sejarah karena berbagai alasan. Realitas ini tidak dapat disangkal, dan itulah sebabnya gerakan kebebasan dan emansipasi wanita telah berkembang sejak awal abad ke-20.
Masalahnya ada semacam campur aduk yang kompleks antara hak dan ketidakadilan hingga menimbulkan aneka ketidakjelasan dan kebingungan. Gejala ini sesungguhnya elah ada sejak awal gerakan feminisme mengemuka di Barat. Dalam gelombang awal tuntutan perempuan di akhir abad XIX, tujuan kaum feminis adalah memperoleh beberapa hak dasar dan umum seperti pendidikan, pekerjaan, partisipasi politik, dan manajemen keuangan yang biasanya didominasi oleh laki-laki. Namun, karena beberapa keterbatasan alamiah dan karakteristik khas perempuan, tuntutan mereka itu kerap dipertanyakan dan direspon skeptis.
Gelombang kedua ditandai dengan penyalahgunaan kondisi sosial, tatkala tuntutan didesakkan kaum feminis untuk akses dan keterlibatan perempuan ke pasar kerja. Dapat terlihat jelas bahwa tujuan sebenarnya dari klaim “pemberdayaan perempuan” bukanlah untuk menyelesaikan masalah ekonomi, tetapi lebih kepada pemilik modal yang mencari pasokan tenaga kerja murah bagi pabrik-pabrik yang kekurangan pekerja akibat keterlibatan mereka di medan perang selama Perang Dunia Pertama.
Maka, banyak slogan dan jargon yang tidak selaras dengan tujuan, justru merupakan untuk menjaga kepentingan kekuatan ekonomi. Dalam situasi ini, tentu saja, perempuan dianggap sebagai tenaga kerja murah sehingga terpaksa bahkan dipaksa untuk bekerja dalam kondisi yang keras dan jam kerja yang panjang.
Memang benar bahwa gelombang ini berasal dari gerakan tuntutan di Amerika Serikat, di saat slogan-slogan dirancang sebagai motif kuat untuk menentang diskriminasi rasial dan protes masyarakat terhadap Perang Vietnam. Seiring dengan itu, kesadaran akan norma hukum dan nilai kemanusiaan menyebabkan perempuan terlindungi dari komodifikasi dan penindasan sistem neoliberal di mana individu (baik perempuan maupun laki-laki) dianggap sebagai barang dagangan.
Pada tahap ini, gerakan kebebasan dan kesetaraan perempuan tidak lagi hanya tentang gagasan-gagasan sosial dan politik, tetapi telah melampaui itu dan mencapai titik munculnya garis pemikiran feminis yang berusaha menyajikan pandangan komprehensif dan mempengaruhi produksi budaya di berbagai aspek. Proses ini menyebabkan munculnya gerakan feminis yang mengkritik peradaban Barat, terutama pasca era kolonialisme.
Meskipun gerakan feminisme ini tidak berhasil menciptakan perubahan signifikan, kaum perempuan dalam kurun modernitas dan setelahnya dihadapkan dengan apa yang disebut sebagai “kekerasan simbolis,” sebuah situasi yang diterapkan oleh mekanisme sosial dari kelas atas masyarakat yang mengabaikan semua slogan dan cita-cita tentang kebebasan serta kesetaraan perempuan.
Situasi di atas ini galibnya atau secara khusus berkembang di negara-negara Barat. Namun, dalam konteks negara-negara Arab, Barat menggunakan isu-isu perempuan sebagai salah satu alat hegemoni budaya dan ideologinya, serta sebagai bagian dari cara-cara menjaga koloni-koloninya.
Dengan pemetaan singkat ini, tampak jelas mengapa masyarakat Arab dipenuhi dengan konspirasi, program, agenda, dan simpul-simpul feminis yang sebenarnya adalah produk gerakan masyarakat Barat pasca Perang Dunia II; Barat berusaha mengubahnya menjadi narasi dominan; narasi yang mereka kendalikan namun tidak selalu mencerminkan prioritas atau kebutuhan masyarakat Arab.
Dengan serbuan organisasi-organisasi madani feminis ke berbagai negara, masalah tersebut telah mencapai puncaknya. Organisasi-organisasi ini telah berkembang biak di negara-negara Arab, dan kehadiran mereka di sana telah menjadi sangat aneh. Mungkin saja kita bisa melihat mereka sebagai kekuatan okupasi politik, tentu saja dengan dukungan finansial dari para donatur dan pemodal Barat, dan mengadopsi jargon serta program-program yang sesungguhnya pepesan kosong atau bahkan menyimpan potensi dan orientasi destruktif.
Lebih berbahaya lagi, banyak dari organisasi-organisasi ini mengambil sikap bermusuhan terhadap pusaka Arab dan tradisi Islam. Fakta ini telah menyebabkan banyak orang menjadi khawatir terhadap upaya-upaya Barat dalam mengubah perempuan-perempuan dalam masyarakat Arab menjadi objek-objek rekayasa Barat.
Di satu sisi, mereka khawatir akan proyek-proyek politik, ekonomi, dan budaya Barat. Namun di sisi lain, Barat telah menunjukkan kemampuan besar untuk mempengaruhi dan memanfaatkan berbagai celah peluang di negara-negara Arab dan Islam serta tindakan-tindakan “tak sehat”. Namun, tatkala gerakan Barat melalui organisasi madaninya mulai menyerang struktur keluarga dan masyarakat Arab, kebanyakan tindakan gerakan itu yang dilakukan menjadi tidak masuk akal dan melampaui batas akal sehat.
Pengalaman sejarah kontemporer menunjukkan bahwa suara gerakan feminisme ini sejalan dengan kebisingan dari gerakan lain yang mendominasi panggung publik dan sepenuhnya sesuai dengan agenda dan proyek-proyek hegemoni Barat. Dalam kebisingan itu, genosida Israel di Gaza dan jatuhnya sekian banyak korban perempuan Palestina telah mengungkap banyak slogan kosong dari gerakan feminis pro-Barat.
Sekarang, tirai dari wajah munafik dan tipu-tipu dari gerakan Barat ini telah tersingkap; gerakan ini bungkam seolah buta melihat penderitaan dan kesengsaraan perempuan Palestina yang terjebak di tengah berbagai bentuk ketidakadilan dan kezaliman yang dari awal diklaim oleh gerakan ini akan dilawan dan dilenyapkan.
Mengapa sekarang tidak ada dukungan nyata dari organisasi dan gerakan yang berbicara tentang hak-hak perempuan dan kebutuhan untuk memberdayakan mereka, dan klaim mereka telah kehilangan daya tariknya? Standar Ganda ini telah menunjukkan masabodoh feminisme Barat terhadap perempuan Palestina.
Organisasi-organisasi masyarakat sipil feminis telah mundur jauh dari garis depan cita-cita mulia yang sudah mereka usahakan selama beberapa dekade. Kauam feminis kini terkesan diam, seolah-olah tidak memiliki kapasitas untuk menyuarkan keluhan atau bahkan protes terhadap tindakan kekerasan dan pembantaian terhadap sesama perempuan, yaitu perempuan Palestina yang menjadi korban kekerasan, penghinaan, pengusuran, pengusiran, pemerkosaan, pembunuhan dan genosida oleh rezim Zionis Israel dalam enam bulan belakangan ini.
Sudah semestinya dan logisnya di Hari Perempuan Sedunia maupun sebeluam atau setelahnya, suara perempuan Palestina didengar dan diresonansikan oleh kaum feminis agar mendapatkan kelayakan sebagai representatif dari kaum perempuan di dunia dan motor penggerak bagi semua perjuangan feminis di seluruh dunia.