Penulisan dan Pembukuan Hadis Ahlu Sunnah (1 dari 2)
Penulisan dan Pembukuan Hadis Di Zaman Nabi saw
Nabi Muhammad saw memiliki banyak penulis. Dengan perintah beliau saw, sebagian menulis wahyu dan sebagian lain mencatat perjanjian-perjanjian dan surat-surat beliau saw. Dengan demikian, terdapat banyak dokumen yang ditulis sepanjang risalah beliau saw. Disamping referensi-referensi historis, sebagian dokumen terkumpul dalam dua kitab: Makatib Ar-Rasul dan Majmu’ah Al-Watsaiq As-Siyasiyyah. Lebih dari 50 sahabat dengan motifasi pribadi dan sarana yang dimiliki juga mencatat hadis-hadis Nabi saw.
Disamping Ali bin Abi Thalib, terdapat beberapa penulis hadis yang terkenal antara lain: Abdullah bin Amr bin Ash, Jabir bin Abdullah Al-Ansari, Samurah bin Jundub, Sa’d bin Ubadah Al-Ansari, dan Abdullah bin Abbas. Terdapat beberapa karya dari sebagian mereka yang tersisa dan banyak dimanfaatkan pasca mereka. Nabi saw berkali-kali mewasiatkan penulisan hadis.[1]
Menurut sabda Nabi saw, tersisanya satu halaman dari seorang mukmin –yang berisi suatu ilmu (dari perkara-perkara agama)- akan menghalanginya dari api neraka.[2] Saat akan meninggal pun, Nabi saw ingin menuliskan wasiat, namun dihalangi oleh sebagian sahabat.[3] Meskipun terdapat berbagai bukti, namun sebagian ahli hadis bersandar kepada beberapa riwayat dari Abu Said Al-Khudri, Abu Hurairah dan Zaid bin Sabit, dan meyakini bahwa Rasulullah saw pada suatu masa tidak menyetujui penulisan hadis dan bahkan melarang sahabat melakukannya.[4]
Para peneliti Ahlu Sunnah menganggap lemah riwayat Abu Hurairah dan Zaid bin Sabit.[5] Berkenaan dengan riwayat Abu Said Al-Khudri, ulama juga berbeda pendapat tentang mauquf atau marfu’nya.[6] Anggap saja riwayatnya marfu’, namun memiliki problema dari sisi teks dan sanadnya[7] sehingga tidak dapat disimpulkan bahwa Nabi saw tidak menyetujui penulisan hadis. Tentu saja menurut ulama Ahlu Sunnah yang meyakini kesahihan riwayat Abu Said, pertentangan riwayat perintah dan larangan penulisan hadis dapat diselesaikan dengan kaedah naskh (yaitu riwayat larangan dinaskh) atau kekhususan khitab.
Adapun para peneliti Syiah secara prinsip menafikan shudur hadis-hadis pelarangan. Ringkasnya, pembahasan terpenting adalah sikap terakhir Nabi saw yang sepakat dengan penulisan hadis.
Penulisan Hadis Pasca Nabi saw Baca
Sepeninggal Nabi saw, pada masa tiga khalifah pertama dan sebagian sahabat terdapat pelarangan penukilan dan penulisan hadis. Larangan tersebut disampaikan dengan beberapa alasan, seperti mencegah terjadinya perselisihan di kalangan kaum muslimin,[8] kekhawatiran menyandarkan kesalahan kepada Nabi saw,[9] cukupnya Al-Quran sehingga tidak ada kebutuhan terhadap hadis,[10] kekhawatiran tercampurnya Al-Quran dengan hadis dan kekhawatiran tidak ada perhatian terhadap Al-Quran karena sibuk dengan yang lain.[11] Bahkan sebagian sahabat ditekan karena penukilan hadis.[12] Abu Bakar suatu saat juga bersegera melenyapkan riwayat-riwayat yang dimilikinya.[13]
Menurut pandangan para peneliti, tidak satupun dari alasan di atas menjadi sebab utama pelarangan penukilan dan penulisan hadis.[14] Namun pelarangan tersebut lebih berhubungan dengan fenomena politik masa itu. Diantara target penting dari larangan adalah melenyapkan hadis-hadis dari Nabi saw berkenaan dengan keutaman dan keburukan beberapa individu.[15] Buktinya antara lain, penukilan riwayat-riwayat hukum atau fikih tidak begitu sensitif.[16]
Reaksi sahabat dan tabi’in berbeda-beda dalam menghadapi kebijakan pelarangan ini. Sebagian meninggalkan penukilan dan penulisan hadis.[17] Sebagian hanya mengingat-ingat hadis, namun menolak untuk menulisnya atau melenyapkan tulisan-tulisan hadis miliknya.[18] Sebagian lain gigih bertahan dan melanjutkan penukilan dan penulisan hadisnya.[19]
Singkatnya, kebijakan pelarangan ini menyebabkan sebagian besar hadis terlupakan secara bertahap atau kandungannya mengalami distorsi atau bahkan mengundang pemalsuan.
Pada masa khilafah Muawiyah, kebijakan tiga khalifah pertama berkenaan dengan hadis berlanjut.[20] Pada periode ini, disamping perlakuan sulit yang diterapkan kepada Ahlul Bait Nabi saw, juga diperintahkan untuk menciptakan riwayat-riwayat keutamaan tiga khalifah pertama dan cacian kepada Ali bin Abi Thalib. Untuk melaksanakan hal itu, digunakan usaha sebagian sahabat dan tabi’in.[21] Kondisi ini berlanjut hingga akhir abad pertama Hijriah.
Pada tahun 99 H, Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah.[22] Ia memiliki sirah yang berbeda dengan khalifah-khalifah sebelumnya. Ia menginginkan penulisan hadis dan sunnah Nabi saw karena merasakan bahaya lenyapnya sunnah dan hadis beliau saw. Ia kemudian memerintahkan hal tersebut kepada bawahannya di Madinah yang bernama Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm Al-Ansari.[23] Sebagian sejarawan menulis bahwa ia juga mengeluarkan perintah serupa kepada Ibnu Shahab Zuhri[24] dan para penguasa provinsi lain.[25]
Menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani, perintah Umar bin Abdul Aziz menandai permulaan penulisan hadis.[26] Mayoritas ulama kontemporer juga melihat masa khilafah Umar bin Abdul Aziz bersamaan dengan permulaan penulisan hadis secara resmi.[27] Bagaimanapun juga, perintah Umar bin Abdul Aziz termasuk titik balik perjalanan penulisan hadis. Setelah perintah Umar bin Abdul Aziz, secara bertahap ulama mulai menulis hadis.
Di era Bani Umayyah, usaha penulisan hadis berjalan sangat lambat, karena penulisan dan pembukuan ilmu pengetahuan menurut mayoritas ulama tidak diterima sebagai sebuah hal yang menyenangkan.[28] Disamping itu, pembukuan hadis juga masih sangat dasar sehingga masih belum tampak kerapihan dan klasifikasi pembahasan.[29]
Namun setelah masa khilafah Bani Abbas, terutama zaman Mansur Al-Abbasi terjadi dinamika dalam pembukuan hadis.[30] Menurut laporan Dzahabi, pada tahun 143 H ulama di seluruh kota melakukan pembukuan ilmu-ilmu mereka dalam berbagai bidang seperti hadis, fikih dan tafsir. Dengan demikian, pada akhirnya muncul berbagai macam karya.[31]
Pembukuan hadis dari abad ke-2 hingga ke-5 menemukan bentuk khususnya. Hal itu berjalan dengan berbagai metode, yang terpenting adalah sebagai berikut:
- Pembukuan tematik, khususnya berdasarkan bab-bab fikih;
- Pembukuan berdasarkan musnad-musnad, yaitu penulisan hadis yang diriwayatkan oleh masing-masing sahabat dalam sebuah bab.[32]
Di antara dua metode ini, metode pertama dianggap lebih baik.[33]
Sumber: wiki.ahlolbait.com
1] Al-Jami’ Ash-Shahih, Sunan Tirmidzi, Muhammad bin Isa Tirmidzi, Jilid 5, Halaman 38.
[2] Biharul Anwar, Majlisi, Jilid 2, Halaman 144.
[3] Shahih Bukhori, Muhammad bin Ismail Bukhari, Jilid 1, Halaman 37; Abdullah bin Saba’ Wa Asathir Ukhra, Murtadha Askari, 1412, Jilid 1, Halaman 97 – 100.
[4] Lihat: Sunan Tirmidzi, Ibid; Taqyid Al-‘Ilm, Khatib Baghdadi, Halaman 29 – 35.
[5] Dirasat Fi Al-Hadits An-Nabawi Wa Tarikh Tadwinihi, Muhammad Mustafa A’dhami, Jilid 1, Halaman 78; Al-Anwar, Al-Kasyifah Lima Fi Al-Adhwa’ Min Al-Majazifah, Abdurrahman Mu’allimi, Halaman 35.
[6] Lihat: As-Sunnah Qabl At-Tadwin, Muhammad ‘Ijaj Khatib, 1411, Halaman 306; A’dhami; Mu’allimi, Ibid.
[7] Tadwin As-Sunnah Asy-Syarifah, Muhammad Ridha Jalali Husaini, Halaman 295 – 297; Tarikh-e Omumi-ye Hadis, Majid Ma’arif, Halaman 58 – 59.
[8] Kitab Tadzkirah Al-Huffadh, Muhammad bin Ahmad Dzahabi, Jilid 1, Halaman 2 – 3, menukil dari Abu Bakar.
[9] Ibid, Halaman 5, menukil dari Abu Bakar.
[10] Shahih Bukhori, Jilid 1, Halaman 37, menukil dari Umar: کِتَابُ اللهِ حَسْبُنَا
[11] Kitab Tadzkirah Al-Huffadh, Jilid 1, Halaman 4, kedua alasan dinukil dari Umar.
[12] Ibid, Halaman 7.
[13] Ibid, Halaman 5.
[14] Man’u Tadwin Al-Hadits, Ali Syahristani, Halaman 17 – 39; Tadwin As-Sunnah Asy-Syarifah, Halaman 316 – 338; Ma’arif, Halaman 85 – 88.
[15] Ma’alim Al-Madrasatain, Murtadha Askari, 1413, Jilid 2, Halaman 44 – 45; Dirasat Fi Al-Hadits WA Al-Muhadditsun, Hasyim Ma’’ruf Hasani, Halaman 2; Tadwin As-Sunnah Asy-Syarifah, Halaman 414 – 422.
[16] Lihat: Al-Bidaya Wa An-Nihayah, Ibnu Katsir, Jilid 4, Juz 8, Halaman 110, menukil dari Umar: اَقِلُّوا الروایةَ عَنْ رَسولِ اللّه (ص) اِلاّ فیما یُعْمَلُ بِهِ
[17] Tadrib Ar-Rawi Fi Syarh Taqrib An-Nawawi, Abdurrahman bin Abi Bakr Suyuti, 1409, Jilid 2, Halaman 61.
[18] Lihat: Jami’ Bayan Al-Ilm Wa Fadluhu Wa Maa Yanbaghi Fi Riwayatihi Wa Hamlihi, Ibnu Abdil Bar, Halaman 107 – 112.
[19] As-Sunan Ad-Darimi, Abdullah bin Abdurrahman Darimi, Jilid 1, Muqaddimah, Halaman 128.
[20] Lihat: Al-Jami’ Ash-Shahih, Muslim bin Hajjaj, Jilid 3, Halaman 95, Jilid 5, Halaman 43 – 44; Kitab Tadzkirah Al-Huffadh, Jilid 1, Halaman 7.
[21] Lihat: Syarh Nahjul Balaghah, Ibnu Abil Hadid, Jilid 4, Halaman 63 – 68, Jilid 11, Halaman 44 – 46.
[22] Muruj, Mas’udi, Jilid 4, Halaman 16.
[23] As-Sunan Ad-Darimi, Jilid 1, Muqaddimah, Halaman 126.
[24] Jami’ Bayan Al-Ilm Wa Fadluhu Wa Maa Yanbaghi Fi Riwayatihi Wa Hamlihi, Halaman 127.
[25] Fathul Bari, Ibnu Hajar Asqalani, 1407, Jilid 1, Halaman 237.
[26] Tadrib Ar-Rawi Fi Syarh Taqrib An-Nawawi, 1409, Jilid 1, Halaman 67.
[27] Lihat: Al-Wasith Fi ‘Ulum Wa Mushtalah Al-Hadits, Abu Syahbah, Halaman 65; Qawa’id At-Tahdits Min Funun Mushtalah Al-Hadits, Jamaluddin Qasimi, Halaman 71; Tarikh Funun Al-Hadits An-Nabawi, Muhammad Abdul Aziz Khuli, Halaman 37; ‘Ulum Al-Hadits Wa Mushthalahuhu, ‘Ardh Wa Dirasah, Halaman 36.
[28] ‘Ulum Al-Hadits Wa Mushthalahuhu, ‘Ardh Wa Dirasah, Shubhi Shaleh, Halaman 40; Adhwa’ ‘Ala As-Sunnah Al-Muhammadiyyah atau Difa’ ‘An Al-Hadis, Abu Rayyah, Halaman 262 – 263; Al-Hadits Wa Al-Muhadditsun atau ‘Inayah Al-Ummah Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyyah, Abu Zahu, Halaman 245.
[29] Adhwa’ ‘Ala As-Sunnah Al-Muhammadiyyah atau Difa’ ‘An Al-Hadis, Halaman 263.
[30] Ibid, Halaman 264; Al-Hadits Wa Al-Muhadditsun atau ‘Inayah Al-Ummah Al-Islamiyyah Bi As-Sunnah An-Nabawiyyah, Ibid.
[31] Tarikh Al-Khulafa’, Abdurrahman bin Abi Bakr Suyuti, 1370 HS, Halaman 261; Adhwa’ ‘Ala As-Sunnah Al-Muhammadiyyah atau Difa’ ‘An Al-Hadis, Halaman 264 – 265.
[32] Muqaddimah Ibnu Shalah fi ‘Ulum Al-Hadits, Ibnu Shalah, Halaman 154.
[33] Tadrib Ar-Rawi Fi Syarh Taqrib An-Nawawi, 1409, Jilid 2, Halaman 140.