Perbedaan Fundamental Hadis Fariqain
Perbedaan Fundamental Hadis Fariqain
Bila kita melihat kumpulan riwayat kaum Muslimin secara umum, kita dapat membaginya menjadi dua kelompok; hadis-hadis Syiah dan hadis-hadis Ahlu Sunnah. Dua kelompok hadis ini memiliki beberapa perbedaan penting dari sisi shudur, reportasi dan kandungannya.
Sebagian perbedaan pentingnya dapat kita sebutkan sebagai berikut:
1. Yang dimaksud dengan hadis-hadis Syiah adalah hadis-hadis yang dinukil dari para maksum dan terkumpul dalam kitab-kitab para muhaddis Syiah melalui jalur Syiah. Hadis-hadis Ahlu Sunnah juga dinukil melalui jalur Ahlu Sunnah dalam kitab-kitab hadis khusus mereka.
2. Syiah menganggap ucapan pribadi maksum sebagai hujjah. Oleh karena itu, hanya reportasi dari ucapan, perbuatan dan taqrir 14 maksum saja yang memiliki makna dalam definisi hadis Syiah. Sementara itu, Ahlu Sunnah meyakini hanya Nabi Muhammad saw saja yang dianggap sebagai sosok maksum. Dengan demikian, menurut mereka, hadis-hadis para imam Syiah tidak diterima sebagai hujjah secara independen. Dari sisi lain, Ahlu Sunnah meyakini ucapan dan atsar (penukilan) para sahabat Nabi saw dan tabi’in sebagai hujjah. Bahkan tidak jarang ditemukan ucapan orang-orang setelah sahabat juga dianggap sebagai hujjah yang valid dan layak untuk diamalkan.[1]
Argumentasi mereka yang meyakini ucapan sahabat sebagai sesuatu yang valid adalah karena para sahabat mengambil ucapan dan perbuatan mereka dari Nabi saw. Dengan begitu, ucapan dan perbuatan mereka adalah hujjah.
Bagaimanapun juga, argumentasi ini tidak dapat dibuktikan, karena masing-masing sahabat memiliki orientasi, perasaan, keyakinan dan yang terpenting pemahaman yang tidak sama sehingga ucapan dan perbuatan mereka berbeda-beda. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian mereka bukan hanya tidak beramal dengan petunjuk-petunjuk Nabi saw, bahkan berselisih dalam berbagai masalah dan hingga saling berperang atau saling membunuh. Dengan kondisi seperti ini, apakah ucapan dan perbuatan mereka masih dapat dianggap sebagai hujjah syar’i?
3. Keyakinan Ahlu Sunnah (yang meyakini keadilan sahabat) bersandar kepada seluruh reportasi sahabat. Pada hakekatnya, disamping Ahlu Sunnah menerima ucapan dan perbuatan sahabat sebagai hadis, juga menerima reportasi mereka dari hadis Nabi saw secara utuh. Penerimaan ini muncul dari keyakinan mereka terhadap keadilan seluruh sahabat Nabi saw. Oleh karena itu, dalam kitab-kitab rijal mereka tidak ada studi mengenai tautsiq (penilaian tentang ke-tsiqah-an) atau tadh’if (penilaian tentang ke-dha’ifan) sahabat Nabi saw.
Sebaliknya, para ahli hadis Syiah hanya bersandar kepada ucapan Nabi saw, 12 imam dan Fatimah Zahra’ dan meyakininya sebagai hujjah. Maka tidak ada seorangpun dalam setiap tingkatan, jabatan, posisi politik, sosial dan religius yang terlepas dari studi dan telaah. Bahkan posisi sahabat itu sendiri bukan merupakan sebuah dalil untuk menciptakan validitas dan ke-tsiqah-an
4. Peristiwa-peristiwa sosial – historis dalam bingkai hadis Syiah berbeda dengan Ahlu Sunnah.
Kondisi hadis Ahlu Sunnah sepeninggal Nabi saw mengalami pelarangan penulisan dan pencatatan. Kebijakan ini berlangsung sekitar 90 tahun hingga pada akhirnya pelarangan itu dihapus oleh Umar bin Abdul Aziz pada tahun-tahun pertama abad ke-2 H. Masa kekosongan yang lama ini, terjadi bersamaan dengan berlalunya generasi sahabat dan tabi’in. Dengan demikian, penulisan hadis dimulai pada masa generasi ketiga kaum Muslimin dan ahli hadis. Mereka mulai mengorganisir tulisan-tulisan pertama hadis dengan menulis hal-hal yang mereka dengar. Masa jeda 90 tahunan ini mempengaruhi konsolidasi dan sistem hadis Ahlu Sunnah.
Hadis Syiah terjaga dari hal tersebut dan mengalami perkembangan dan sublimasi, karena kaum Syiah telah memiliki perhatian terhadap penulisan hadis dan meyakini hal itu sebagai sebuah keharusan berdasarkan perintah dan petunjuk Nabi saw dan para imam.[2]
Yang lebih penting bahwa mayoritas ajaran hadis Syiah diambil dari hadis-hadis Imam Baqir dan Imam Ja’far Shadiq yang hidup selama bertahun-tahun pasca Umar bin Abdul Aziz. Mereka berdua menyampaikan ajaran-ajaran Nabawi kepada umat melalui reportasi sunnah Nabi saw. Reportasi-reportasi tersebut merupakan reportasi paling detail dan akurat berkenaan dengan hadis-hadis Nabawi. Dengan demikian, riwayat-riwayat Nabawi kaum Syiah berasal dari jalur yang paling tsiqah.
5. Topik dan pembahasan duniawi dalam area hadis Syiah juga dapat dianggap sebagai perbedaan fundamental hadis Syiah dan Sunni. Nabi saw dan para imam maksum disamping bertugas menyampaikan wahyu (tabligh) dan menjelaskan jalan-jalan petunjuk dan kesempurnaan manusia, juga menjawab kebutuhan-kebutuhan umat Islam dalam segala bidang. Topik dan pembahasan sosial politik yang berada dalam domain pembahasan duniawi, menurut Syiah juga menjadi sekumpulan ajaran sunnah.
Peristiwa-peristiwa politik sepeninggal Nabi saw menyebabkan munculnya pandangan mayoritas di kalangan Ahlu Sunnah bahwa ajaran-ajaran Nabawi terkait pembahasan duniawi harus dipisahkan dari pembahasan ukhrawi. Para penguasa politik dengan propaganda “ucapan-ucapan Nabi saw dalam urusan duniawi tidak dianggap hujjah” telah membatasi sunnah dengan ajaran-ajaran spiritual semata supaya tidak menjadi penghalang bagi aktifitas politik mereka.
Kesimpulannya, perbedaan hadis fariqain muncul dari perbedaan persepsi terhadap beberapa hal seperti, kemaksuman pribadi-pribadi yang maksum, kehujjahan (hujjiyyah) ucapan para sahabat dan tabi’in, rentang waktu pelarangan penulisan hadis pada abad ke-1 H dan seterusnya…
Perbedaan-perbedaan fundamental inilah yang menyebabkan munculnya dua jenis basis ilmu hadis di kalangan Syiah dan Ahlu Sunnah yang tentunya juga masih memiliki berbagai persamaan dalam banyak hal.
Referensi: Mabani-ye Syenakht-e Hadis az Didgah-e Fariqain (Sayed Mohammad Kazem Taba’tabai)
————————
[1] Silahkan lihat: Muwaththa’, Malik, Jilid 1, Halaman 245 dan Jilid 2, Halaman 456 dan 864; Malik bin Anas di sana bersandar kepada perbuatan Umar bin Abdul Aziz untuk memberikan hujjiah kepada fatwanya dan membuktikan kebenarannya, sementara Umar bin Abdul Aziz bukan seorang maksum dan juga bukan termasuk sahabat atau tabi’in. Umar bin Abdul Aziz lahir pada tahun 60 H atau 50 tahun setelah wafatnya Nabi saw.
[2] Silahkan lihat: Tadwin As-Sunnah Asy-Syarifah, Muhammad Ridha Husaini Jalali, Halaman 134 – 186.