Peradaban Islam Berbasis Spiritualitas dan Rasionalitas
Hasan Pur__Peringatan hari kemenangan Republik Islam Iran di rayakan oleh Sekolah Tinggi Agama Islam Sadra dengan menyelenggarakan webinar dengan judul “ Dimensi Spiritual Perjuangan Bangsa Iran dan Bangsa Indonesia dalam Meraih Kemerdekaan”. Dalam tulisan ini dimuat ceramah singkat yang dibawakan oleh Ammar Fauzi Heryadi PhD.
Kemenangan revolusi Islam Iran telah berdampak pada dua respon bagi sebagaian masyarakat Indonesia yang satu membela dan mendukung Iran dengan suatu sikap yang berlebihan hingga dianggapnya segala sesuatu yang lahir dan ada di Iran harus dibela mati-matian. Bahkan jika darahnya dilihat kekentalan cintanya melebihi darahnya orang Iran, begitupun sebaliknya, kaum pembencinya atau golongan yang anti Iran jika kekentalan bencinya diukur melalui darahnya maka kekentalan darahnya melebihi Donald trump atau Bangsa Israel. Kita sebagai Bangsa Indonesia harusnya dapat bersikap tidak ifrat dan tafrit (berlebihan), aspek emosi benci dan cinta harusnya diimbangi dengan sikap spiritual dan rasional.
Kajian spiritual secara akademik dikaji melalui tasawuf. Orang yang paling tinggi dalam spiritualitas dapat dilihat dari dua cita-cita seorang sufi yaitu dari sisi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal seorang sufi yaitu meraih keridloan Yang Maha Esa atau bertemu Tuhan. Sedangkan dari dimensi horizontal adalah membangun peradaban umat manusia dan membangun dunia, bukan hanya untuk dirinya, golongannya, atau bangsanya.
Tasawuf, khususnya di Iran tumbuh subur dari masa ke masa seperti al Ghozali, Sa’di, jalaludin rumi, Abdullah Tustari yang menulis tafsir sufi dan lain sebagainya. Ada juga sufi yang berasal dari tradisi Arab dan bercorak sastra Arab seperti Maroko, Irak, dan Spanyol seperti Ibn Arabi. Aliran tasawuf Persia dan tradisi arab memiliki karakternya masing-masing.
Perubahan dan pembaharuan para sufi Iran di tingkat nasional terkait perubahan sosial, sulit ditemukan bukti-bukti bahwa mereka terlibat dalam membangun peradaban. Ada dua alasan terkait sulitnya ditemukan bukti-bukti tersebut yaitu Sufi tidak peduli dengan perubahan sosial dan hanya fokus untuk mencapai derajat kedekatan dengan Al Haq, yang kedua mungkin ada kepedulian dan keterlibatan mereka dalam perubahan sosial tapi menyembunyikan pengalaman spiritualnya. Mungkin saja ada sufi yang menjadi penasehat sultan.
Ada seorang Sufi dari India yang memiliki corak dan kedekatan corak tasawuf dengan Persia yaitu Abdul Qudus dari Ganggo mengatakan bahwa Jika aku diutus untuk naik ke langit sidrotul muntaha dan bertemu Tuhan maka aku tidak akan kembali ke dunia. Inilah sufi yang dikritik oleh Iqbal padahal Rosulullah setelah isro dan mi’raj kembali ke bumi untuk membangun peradaban manusia. Harusnya seorang sufi memikirkan dan berbuat agar melakukan perubahan sosial yang bersifat horizontal yaitu dengan membangun peradaban dunia.
Corak tasawuf Iran memiliki kedekatan dengan India, bahkan bahasa Persia cukup berkembang pesat di India. Pada masa itu tradisi tasawuf di Iran memiliki kesamaan dengan corak tasawuf di India yaitu tidak terlibatnya mereka dalam melakukan perubahan sosial. Sebagian sufi lebih mementingkan kebahagiaannya sendiri setelah bertemu Tuhannya, mereka tidak peduli dengan manusia lainnya.
Lebih dari itu, ada sufi yang membawa kemunduran pada peradaban Islam. Tasawuf dimaknai hanya sebatas tarekat, rumah dzikir, dan kegiatan ritual lainnya yang justru membawa kemunduran bagi peradaban Islam. Di Iran pada masa sebelum revolusi juga tidak jauh dari dua karakter sufi tersebut di atas.
Tapi kemudian aliran tasawuf yang sekarang berkembang di Iran bercorak sastra Arab yaitu aliran Hikmah Muta’aliyah yang memiliki silsilah aliran tasawuf falsafi sebagaimana yang digagas oleh Ibn Arabi (wahdatul wujud). Filsafat dan tasawuf pada mulanya dianggap sesuatu yang bertentangan dengan Islam, bahkan pelakunya dianggap najis dan disamakan dengan anjing.
Seorang sufi akan menyempurna jika telah menyelesaikan perjalanan ke empat, yaitu mereka telah bertemu Tuhan tapi kembali hadir di tengah-tengah manusia untuk terlibat dengan urusan manusia dan membawa nilai-nilai ilahi untuk membangun peradaban manusia. Demikianlah yang dilakukan oleh Imam Khomeini. Imam Khomeini mengamalkan dan mengajarkan filsafat dan tasawuf secara konsisten hingga beliau berhasil memimpin gerakan untuk membangun peradaban Iran dengan melakukan revolusi sosial dengan mendirikan Republik Islam Iran. Republik Islam Iran adalah sebuah model pemerintahan yang baru di dunia, yang tidak mengikuti bentuk manapun yang ada di dunia. Imam Khomeini memiliki konsep Tasawuf yang meniadakan dirinya dihadapan Alloh tapi membuktikan keberadaan dirinya di tengah-tengah masyarakat.
Republik Islam Iran hadir di dunia dalam kondisi dan lingkungan teknologi yang serba canggih, Iran berada di tengah-tengah jantung dunia, Iran dikuasai oleh dinasti yang didukung oleh kekuatan dunia seperti Inggris, Perancis, Uni sovyet, dan Amerika serikat. Di samping itu, di Iran banyak ulama yang justeru mengharamkan tasawuf, filsafat, dan politik. Dan yang sangat menyedihkan adalah Iran pada masa sebelum revolusi memiliki tingkat buta huruf yang sangat tinggi hingga 80 % sehingga rakyat mudah dimanipulasi dan perdayai.
Terkait dengan Republik Islam Iran Ali Kamenei, pemimpin spiritual Islam Iran pernah mengatakan bahwa kita sedang mengarah pada peradaban Islam tapi kita masih belum berhasil merealisasikan masyarakat Islam. Walaupun secara formil sudah terbentuk tapi belum tercapai secara spiritual tapi paling tidak kita dalam arus yang benar sedang membangun masyarakat Islam.
Visi vertikal dan horizontal spiritual bukan hanya terkait karomah, kasyaf tapi juga menuntaskan perjalanan ruhani yaitu pengamalan syariat, tarikat dan pemahaman rasional. Publik tidak memahami apa itu kasyaf, apa itu ilham? Publik melihat dari hasil kinerja yang bersifat rasional. Tradisi tasawuf di Iran kini didukung oleh kekuatan filsafat agar dapat lebih menjelaskan ajaran tasawuf lebih dimengerti dan dipahami publik.
Tasawuf juga terkait dengan gerakan sosial (horizontal) yang dalam istilah Islam terkait dengan kata jihad yaitu bekerja sepenuh hati, sepenuh jiwa dan meniadakan diri untuk membangun peradaban. Seorang mujahid adalah seorang sufi. Kata jihad juga terkait dengan musuh yang kita harus hadapi terutama musuh yang tak tampak yaitu kebodohan, ketergesa-gesaan dalam menerima sesuatu, masa bodoh, materialisme, korupsi, hipokrasi (kemunafikan), ketertinggalan, jiwa inferioritas dan tidak punya kepercayaan diri, dan ketergantungan.
Bertasawuf berarti kita melakukan jihad akbar yaitu membangun diri melalui: mempelajari ilmu pengetahuan baik agama maupun ilmu non agama, melatih kesabaran, fokus, peduli, kejujuran, jiwa untuk maju, percaya diri, serta memiliki martabat dan punya kedaulatan. Jihad merupakan puncak tertinggi dari tasawuf yaitu bekerja sepenuh hati dengan meniadakan diri untuk membangun peradaban manusia sebagai makhluk yang dicintai Allah SWT.
Referensi:
Iqbal, M (2016), Rekonstruksi Pemikiran Religius dalam Islam, mizan: Bandung
Ceramah Ammar Fauzi H, Webinar SII tentang “Dimensi Spiritual Perjuangan Bangsa Iran dan Bangsa Indonesia dalam Meraih Kemerdekaan” di STAI Sadra Jakarta.