Peran Alumni Timur Tengah dalam Merespon Dinamika Kehidupan Bangsa Indonesia
Husein Shahab
Tak dapat dipungkiri, sampai kini Timur Tengah masih menjadi “kiblat” ilmu-ilmu keislaman bagi mayoritas penduduk Muslim dunia, tak terkecuali Indonesia. Secara historis, Haramain (Mekah dan Madinah) menempati urutan pertama. Sejak periode awal Islam, Mekah dan Madinah dikenal sebagai denyut peradaban dan sentra pembelajaran ilmu-ilmu klasik Islam.
Banyak ulama besar Indonesia (Nusantara) jebolan Haramain. Rekam jejak mereka bahkan sudah tercatat sejak abad 18, sebut saja Syaikh Abd Samad al-Falimbani, Muhammad Arsyad Al-Banjari, Abdul Rahman Al-Batawi, Muhammad Muhyidin bin Syihabuddin, Muhammad Nafis al-Banjari, Abdul Wahab al-Bugisi dan Dawud bin Abdullah al-Fatani. Pada abad 19 dan 20 lahir juga ulama-ulama agung alumni Haramain ini, antara lain KH Hasyim Asy’ari (w. 1947), pendiri Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU), dan KH Ahmad Dahlan (w.1923), pendiri Jamiyyah Muhammadiyah.
Selain Haramain, Hadramaut juga menjadi pusat lahirnya ulama Nusantara. Mereka turut mengemban kiprah yang sangat besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Republik Indonesia. Nama-nama seperti Habeb Idrus bin Salim al-Jufri (w. 1967), pendiri ratusan bahkan, menurut beberapa data, seribu lima ratus pesantren al-Khairat di Sulawesi Tengah, Habeb Ali bin Abdurrahman al-Habsyi yang lebih dikenal dengan Habeb Ali Kwitang (w. 1968) guru besar para ulama Betawi, Habib Usman bin Yahya (w. 1913) mufti agung Batavia abad 19 adalah contoh kecil dari sederetan ulama Hadramaut yang telah memberikan kontribusi luar biasa kepada bangsa Indonesia.
Alumni Timur Tengah Pasca-Kemerdekaan
Dalam periodisasi lazim sejarah Indonesia, peran jajaran ulama dan cacatan gemilang mereka mengisi era sebelum kemerdekaan. Di era Indonesia merdeka, gelombang besar pelajar Muslim tanah air melanjutkan tradisi belajar di pusat ilmu keislaman hingga bereksplorasi ke negeri-negeri lain di Timur Tengah. Paling tidak, ada empat negara di kasawan itu yang, menurut hemat saya,
merupakan basis dan destinasi utama mayoritas pelajar Muslim Indonesia: Mesir, Saudi Arabia, Yaman, dan Republik Islam Iran.
Mesir
Negeri Piramida ini menjadi prioritas ghalib pelajar Muslim dunia dan, secara khusus, Indonesia berkat keberadaan Universitas Al-Azhar. Bertempat di ibukota Kairo, universitas ini didirikan oleh Dinasti Fatimiyah sekitar tahun 970-972 M dan sangat produktif melahirkan sarjana Islam dari Indonesia. Dari keterangan Tuan Guru Bajang (TGB) Zainul Majdi, ketua aktif Organisasi Internasional Alumni Al-Azhar Cabang Indonesia (OIAA), ada sekitar 30 ribu alumni Indonesia dari Universitas Al-Azhar.
Para alumni Al-Azhar menyebar di seluruh Indonesia dan memberikan pengabdian di berbagai bidang, mulai dari pendidikan, ilmu pengetahuan sampai politik. Prof. Dr. Ustadz Quraish Shihab, Almarhum Prof. Ibrahim Hosein, Dr. Alwi Shihab, K.H. Mustofa Bisri, Tuan Guru Bajang adalah nama-nama terhormat dari sedikit tokoh-tokoh nasional lulusan Universitas Al-Azhar.
Merskipun kiprah mereka bervariasi di berbagai bidang, namun mereka semua, masih dari keterangan Tuan Guru Bajang, disatukan oleh ajaran Al-Azhar, yakni “manhajul wasathiyyah” atau garis moderat (news.detik.com, Selasa 01 Mei 2018). Syaikh Agung Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad Muhammad Al Thayyib yang hari ini selaku tamu negara selalu menekankan pentingnya moderasi dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, berpolitik dan beragama. Ini merupakan fondasi penting bagi Islam yang rahmatan lil alamin.
Yaman
Sampai sekarang, Yaman masih kokoh sebagai basis pembelajaran ilmu keislaman para pelajar Indonesia. Ada beberapa madrasah tradisional di sana yang menampung pelajar-pelajar tanah air. Dua di antaranya yang sangat populer yaitu Darul Mustafa di Tarim, Hadramaut, dan Madrasah Darul Hadits di Sa’dah.
Darul Mustafa didirikan oleh Habeb Umar bin Hafiz pada 1414 H. Hingga kini, jumlah alumni Indonesia dari madrasah ini mencapai ratusan orang; mayoritas mereka menyebar di pulau Jawa. Orientasi utama dakwah dan kiprah mereka berkisar pada tasawuf dan akhlak berdasarkan tarekat al-Alawiyyah. Di antara alumni Darul Mustafa yang cukup terkenal adalah Almarhum Habeb Munzir Musawa, pendiri Majlis Rasulullah SAW, Habeb Jindan bin Naufal al-Jindan dan sejumlah habeb muda lainnya.
Berbeda dengan Darul Mustafa yang dominan tasawufnya, Madrasah Darul Hadits di Sa’dah mengikuti manhaj salafi dalam seluruh metode dan materi pembelajaran. Madrasah ini berdiri pada tahun 1979 oleh seorang ulama salaf terkenal, Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wada’i. Di antara alumni Indonesia dari Madrasah Darul Hadits adalah Ja’far Umar Thalib, pendiri Laskar Jihad di awal tahun 2000. Sepulangnya dari sana, ia mendirikan pesantren salafi dengan nama Pesantren Ihya’ As Sunnah di Dusun Degolan, Sleman, Yogyakarta.
Kerajaan Saudi Arabia
Sejak Semenanjung Arab (Hijaz) dikuasai keluarga Al Sa’ud, lembaga-lembaga ilmiah di sana diwajibkan mengajarkan akidah salafiyah/wahabiyah. Halaqah-halaqah ilmiah tradisional di sekitar Haramain yang sudah berusia lebih dari seribu tahun dengan syaikh-syaikh yang berasal dari berbagai mazhab kemudian menyusut jumlahnya dan dikhawatirkan secara perlahan akan lenyap. Kerajaan Saudi lalu mengenalkan lembaga-lembaga ilmiah yang berstatus akademik seperti: Universitas Ummul Quro, Jami’ah al-Madinah, Jami’ah Imam Sa’ud di Riyadh.
Kini, mayoritas pelajar Indonesia di Saudi menimba ilmu di lembaga-lembaga akademik ini. Para alumninya cukup banyak, namun tidak ada data resmi mengenai jumlah mereka. Para alumni dari Saudi menyebar di berbagai tempat dengan beragam fungsi keagamaan, mulai dari sebagai imam masjid di desa-desa sampai menjadi pejabat eksekutif dan legislatif. Bekalangan, ada pula di antara mereka yang bahkan aktif sebagai pimpinan gerakan-gerakan massa seperti: FPI, Aksi 212 dan Presidium Alumni 212.
Republik Islam Iran
Iran atau Persia dikenal luas sebagai negara dengan peradabannya yang sudah terbangun sejak 7000 tahun sebelum Masehi. Pada abad ke-7, sekitar tahun 633-654, kerajaan Sasanid Persia tumbang di tangan pasukan Islam yang kemudian membentuk sistem khilafah.
Pada tahun 1501, Dinasti Safawiyah berdiri dan secara resmi menjadikan Syiah Imamiyah Itsna’asyariyah (Syiah Imam 12) sebagai mazhab resmi, menggantikan mazhab Ahlu Sunnah yang dianut dan dipromosikan oleh dinasti-dinasti sebelumnya. Sejak zaman Safawiyah ini, lembaga-lembaga keilmuan Syiah mendapatkan momentum, baik lembaga akademik klasik yang berorientasi pada ilmu-ilmu naqliyah maupun lembaga akademik yang berorientasi pada ilmu aqliyah. Kelak, lembaga-lembaga akademik klasik ini dikenal dengan nama “Hauzah Ilmiah”.
Program studi Hauzah Ilmiah lebih terfokus pada ilmu-ilmu naqliyah seperti: Fikih, Ushul Fikih, Kalam, Rijal, Hadis. Namun di sela-sela itu, Hauzah Ilmiah juga melakukan studi dalam ilmu-ilmu aqliyah seperti: Filsafat, Logika, Astronomi, Matematika, sains dan sebagainya.
Lembaga-lembaga Hauzah Ilmiah menyebar cukup luas di Iran. Namun, lembaga terbesar adalah Hauzah Ilmiah Qom. Dalam wikipedia di entri “hauzah ilmiah” dicatat bahwa Hauzah Ilmiah Qom kini merupakan hauzah yang paling banyak melayani thalabeh (santri) dunia dan tempat paling banyak dihuni oleh para marji’ Syiah (https://fa.wikipedia.org).
Hauzah Ilmiah Qom telah melahirkan ulama dan sarjana besar, baik sebagai ahli fikih yang kemudian bergelar ayatullah maupun sebagai ahli filsafat yang kemudian bergelar hakim. Untuk menyebut sekedar contoh, ulama-ulama fuqaha alumni Hauzah Ilmiah Qom adalah Ayatullah Syaikh Abdul Karim Hairi, Ayatullah Broujurdi, Ayatullah Ruhullah Khomaini, Ayatullah Sayed Ali Khameni. Para ulama bergelar hakim (filosof) seperti Mulla Sadra, Faiz Kasyani, Mirdamad, Allamah Thabathabai, Murtadha Muthahhari.
Alumni Qom
Pasca revolusi Islam Iran tahun 1979, Hauzah Ilmiah Qom menjadi tumpuan ribuan pengikut Syiah dunia, tak terkecuali dari Indonesia. Sejauh pengetahuan penulis, pelajar pertama asal Indonesia yang belajar di Hauzah Ilmiah Qom adalah beberapa santri yang datang di awal tahun 1970-an. Mereka berasal dari Pesantren al-Khairat Palu, dari keluarga Habeb Muhammad bin Ali al-Habsyi Kwitang, santri dari Pesantren Ar-Riyadh Palembang, dan beberapa individu lain yang datang secara pribadi.
Sampai sekarang, diperkirakan ada sekitar 500-an alumni Iran yang menyebar di seluruh Indonesia. Mayoritas mereka adalah alumni Hauzah Ilmiah Qom yang kemudian membentuk sebuah organisasi bernama Ikatan Alumni Jamiah Al Mustafa (IKMAL) yang berdiri pada 7 Februari 2009. Sebagai sarjana dan ulama Syiah Indonesia, mayoritas alumni ini bergabung dengan salah satu dari dua ormas Syiah: IJABI dan ABI. Dua ormas ini memegang prinsip toleransi dalam beragama dan bermazhab.
Dalam pengantar buku “Syiah Menurut Syiah” karya Tim Ahlulbait Indonesia, tertulis catatan berikut:
Ahlulbait Indonesia sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang terdaftar di Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, tentu berkewajiban dan
bertanggungjawab untuk turut serta memberikan andil dalam membangun masyarakat Indonesia yang harmonis, saling menghargai, cinta damai dan toleran. Bagi masyarakat Ahlulbait Indonesia, menerima dan mengamalkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk aktualisasi ajaran Islam.” (Syiah Menurut Syiah, hal. ix; Buku Putih, hal. v).
Kontribusi Alumni Timur-Tengah
Sejauh ini, para alumni Timur Tengah telah mencurahkan pengabdian dan kontribusi yang tidak sedikit bagi kehidupan bangsa dan negara Republik Indonesia, baik di bidang ilmu-ilmu keislaman, politik, budaya, pendidikan dan ekonomi.
Dalam ilmu-ilmu keislaman, masing-masing alumni Timur Tengah membaktikan kontribusinya sesuai dengan bidang kepakaran masing-masing. Alumni Al-Azhar Kairo melahirkan sejumlah ahli tafsir dan ahli fikih bahkan budayawan. Ini dapat dilihat dari karya-karya para ilmuwan seperti: Prof. Dr. Quraish Shihab, Prof. Ibrahim Hosein dan K.H. Mustofa Bisri. Akan halnya alumni Iran lebih banyak melahirkan karya-karya filsafat dan teologi, seperti yang bisa dilihat dari karya-karya Dr. Khalid al-Walid (http://riset.sadra.ac.id/?p=2664) Ammar Fauzi, Ph.D.
(https://riset.sadra.ac.id/?p=2314), Dr. Muhsin Labib (https://id-id.facebook.com/muhsinlabibOfficial/), dan sejumlah akademisi dan ulama lainnya.
Di dunia politik nasional, peran dan pengabdian alumni Timur Tengah juga tampak signifikan. Alumni Saudi, baik dari Universitas Ummul Quro Mekah, Univeritas Madinah, pernah duduk dalam jajaran menteri, pimpinan MPR, anggota DPR, dan pimpinan partai di Indonesia. Bahkan Univeritas Riyadh melahirkan “politisi” semacam Habeb Rizieq Shihab. Dari alumni Al-Azhar ada yang menjadi gubernur di sebuah provinsi Indonesia Timur, dan dari alumni Iran ada yang menjadi anggota DPR.
Menarik untuk diamati bahwa kendati lulusan dari Iran yang dikenal sebagai negara dengan gerakan politik yang revolusioner, anti-Amerika dan hegemonisme, ternyata alumni-alumni negeri Mullah itu sangat sedikit yang kemudian terjun ke dunia politik. Sementara Saudi yang dikenal sebagai negara kerajaan yang antipolitik justru melahirkan politisi di dalam dan dan di luar senayan.
Di dunia pendidikan, kontribusi alumni Timur Tengah patut mendapatkan catatan tersendiri. Lembaga-lembaga pendidikan yang mereka bangun seringkali sewarna dengan asal negara dimana mereka belajar. Sebagian alumni Al-Azhar, misalnya, cenderung mendirikan atau bergabung dengan pesantren-pesantren
tradisional NU yang sudah ada sejak lama di Indonesia. Sebagian alumni Saudi cenderung mendirikan atau bergabung dengan lembaga-lembaga semacam pesantren salafi yang tumbuh di berbagai tempat di tanah air. Sebagian alumni Iran juga cenderung mendirikan atau bergabung dengan lembaga-lembaga tradisional semacam hauzah ilmiah yang baru didirikan atau lembaga akademik yang sudah ada. Nama-nama lembaga seperti Pesantren Raudhatut Thalibin, Rembang, Al-Quran Learning Center (AQL) Tebet, dan Sadra Institute adalah contoh dari lembaga-lembaga akademik di atas.
Tantangan
Seperti juga generasi pelopor alumni Timur Tengah di era sebelum Kemerdekaan, alumni Timur Tengah pasca-Kemerdekaan diuji konsistensi mereka senantiasa berada dalam tradisi pencerahan keilmuan, pengayaan khazanah dan pengabdian bangsa dan negara. Terutama di dekade terakhir ini, mereka ditantang agar tetap tangguh dan kompeten dalam mengartikulasikan dua tantangan di tingkat nasional:
1. Bagaimana para alumni Timur Tengah tetap memelihara jiwa patriotisme NKRI, nasionalisme yang tinggi, dan mengutamakan pembelaan kepada bangsa dan negara Republik Indonesia dalam kondisi apa pun.
2. Kompatibilitas idealism dan realitas, yakni ilmu yang dipelajari di sana bisa bermanfaat dan sejalan dengan jatidiri bangsa Indonesia, memberi solusi bagi masalah-masalah yang dihadapi bangsa sekaligus menjadi faktor pendorong bagi kemajuan bangsa dan negara.
Usulan
Sebagai penutup, perlu juga kiranya mengantisipasi situasi dan memaksimalkan peluang sejauh relevansinya dengan status pelajar alumni Timur Tengah:
1. Meminimalisasi, kalau tidak mampu mengeliminasi, potensi konflik dan gesekan antaralumni. Untuk itu, diusulkan agar Depag mengambil inisiasi untuk memfasilitasi pertemuan penting antara alumni Timur Tengah, baik pertemuan yang bersifat ilmiah maupun silaturahmi dan sosial.
2. Depag merancang program terukur untuk mengadakan forum-forum ilmiah yang mempertemukan atau mengakomodasi ulama dan tokoh-tokoh berpengaruh dari negara-negara Timur Tengah tempat asal para alumni menimba ilmu, misalnya seminar bertema Islam Moderat atau Islam Rahmatan Lil Alamin dengan mengadirkan pembicara dari ulama Mesir, Saudi, Yaman dan Iran.
3. Para alumni Timur Tengah agar mendapatkan pemahaman komprehensif mengenai realitas kehidupan berbangsa dan bernegara dari badan-badan penting negara seperti: Lemhanas atau Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Hal ini penting guna memantapkan nilai-nilai kebangsaan yang
terkandung dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi bangsa, semangat negara, transformasi nilai-nilai universal, sistem nasional serta pembudayaan nila-nilai kebangsaan.