Peran Perempuan dalam Revolusi Karbala dan Konteks Kekinian
Oleh : Dina Y Sulaeman
Pendahuluan: Latar Belakang Revolusi Karbala
QS 3:144 “Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang Rasul, telah berlalu sebelumnya beberapa orang Rasul, apakah jika dia wafat atau terbunuh, kalian akan berbalik ke belakang? Siapa pun yang berbalik ke belakang, maka ia tidak mendatangkan kerugian sedikit pun kepada Allah. Dan Allah akan memberikan balasan kepada orang-orang yang bersyukur.”
Rasulullah datang untuk membebaskan manusia dari penghambaaan pada berhala, perbudakan, dan sistem kasta. Beliau membentuk sebuah pemerintahan yang adil, yang mengatur hak dan kewajiban setiap warga dengan sebaik-baiknya. Baitul Mal digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Rasulullah mengenyahkan korupsi, nepotisme, atau kroniisme dari pemerintahan beliau.
Namun, setelah wafatnya Rasulullah, sedikit demi sedikit, umat mulai berbalik ke belakang. Secara politik, Islam memang mencapai kemajuan. Kekuasaan wilayah kekhalifahan Islam sudah membentang dari Makkah hingga Kairo. Namun sayang, perluasan kekuasaan itu justru seiring dengan munculnya nepotisme, korupsi, dan ketidakadilan ekonomi. Relasi keluarga menjadi dasar pengangkatan para gubernur dan pejabat. Gubernur-gubernur pemimpin wilayah Islam, hidup bermewah-mewah, sementara rakyat hidup tertindas. [1]
Setelah kekhalifahan Islam menaklukkan berbagai wilayah, masyarakat muslim pun terdiri dari beraneka suku bangsa dan etnis, mulai dari Arab, Persia, Nabat, Byzantium, dan Turki. Mereka saling bermigrasi dan hidup tersebar di berbagai wilayah. Namun, saat itulah terjadi sistem kasta, dimana kaum Arab dianggap lebih mulia; dan para gubernur yang berasal dari Arab lebih mengutamakan hak-hak warga Arab.[2]
Diriwayatkan, setelah Imam Ali dibaiat menjadi khalifah, beliau membagikan tunjangan Baitul Mal sama rata di antara masyarakat yang membutuhkan. Ketika ada yang protes, “Aku adalah orang Arab, sementara dia adalah Mawali, mengapa kami mendapatkan perlakuan yang sama?”
Imam Ali menjawab, “Aku membaca Al Quran, lalu aku pikirkan, di sana aku dapati tidak ada perbedaan kasta, tidak ada perbedaan apapun meski sesayap nyamuk sekalipun antara keturunan Ismail maupun keturunan Ishak.”[3]
Imam Ali ingin melakukan reformasi dalam tubuh kekhalifahan Islam. Namun, tentu saja, reformasi ini mendapatkan penentangan dari banyak pihak. Penentangan terkeras dilakukan oleh Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur yang berkuasa atas Syria dan Mesir. Dia melakukan propaganda yang sangat luas, dengan mengirimkan surat-surat ke berbagai wilayah Islam untuk mendiskreditkan pemerintahan Imam Ali. Situasi konflik semakin memuncak dengan pecahnya perang Shiffin, antara dua kekuatan: pasukan Imam Ali dan pasukan Muawiyah. Peperangan hampir dimenangkan pasukan Imam Ali, namun lagi-lagi, Muawiyah menggunakan berbagai taktik propaganda, sehingga pasukan Imam Ali terpecah, dan kalah. Muawiyah secara de facto kemudian menjadi penguasa terkuat di seluruh wilayah Islam.
Setelah Muawiyah meninggal (tahun 60 H), dia menunjuk anaknya, Yazid sebagai khalifah. Sejak saat itulah tradisi monarkhi dimulai dalam kekhalifahan Islam.[4] Yazid yang sebelumnya menjadi gubernur di Humas (Syam) dikenal luas memiliki akhlak yang buruk. Dia dengan terang-terangan melakukan berbagai perilaku yang dilarang agama: minum arak, berzina, membunuh orang yang tak bersalah, dan perbuatan keji lainnya. Di bawah kepemimpinan Yazid, penyelewengan terhadap nilai-nilai Islam, bisa dipastikan akan semakin merajalela.
Langkah pertamaYazid setelah menjabat khalifah adalah memaksa semua pihak untuk membai’atnya. Siapapun yang menolak, akan dipenggal. Termasuk Imam Husein, putra Imam Ali bin Abi Thalib.
Yazid mengirim surat kepada Walid bin Uthbah, isinya instruksi agar Walid meminta baiat dari warga Madinah, termasuk Imam Husain. “Bila Husain enggan berba’iat, tebaslah kepalanya dan kirimkan kepadaku!” tulis Yazid.[5]
Imam Husein berkata kepada Uthbah, “Kami adalah keluarga para nabi, pusat risalah Ilahi, dan tempat hilir mudiknya para malaikat. Dengan kami, Allah telah membuka agama-Nya dan dengan kami pula Dia akan menutupnya. Sedangkan Yazid, ia adalah seorang yang fasik, peminum arak dan penumpah darah orang-orang yang tidak bersalah. Dia melakukan maksiat dengan terang-terangan. Demi Allah, ia sama sekali tidak layak untuk menduduki tempat itu. Orang sepertiku tidak mungkin akan membaiat orang seperti dia.”[6]
Di tempat lain, Imam Husein berkata, “Innalillahi wa inna ilaihi roojiuun. Jika Islam harus dipimpin oleh orang seperti Yazid berarti Islam telah hancur.”[7]
Kabar penolakan baiat dari Imam Husain, memunculkan semangat untuk bangkit melawan Yazid. Kaum muslimin di Kufah mengirimkan 12.000 pucuk surat kepada Imam Husein, memintanya datang ke Kufah dan memimpin perlawanan terhadap Yazid. Dalam surat-surat itu, mereka semua mengakui kebejatan moral Yazid sehingga dia sama sekali tidak pantas menjadi pemimpin kaum muslimin.
Imam Husain pun membawa seluruh keluarganya, termasuk perempuan dan anak-anak, berangkat menuju Kufah. Namun, sebelum tiba di Kufah, oleh pasukan Yazid,[8] mereka dihalang-halangi, hingga tertahan di sebuah wilayah di tepi sungai Eufrat, sekitar 75 km dari Kufah. Tempat itu bernama Karbala. Di sanalah kemudian terjadi pertempuran yang tidak seimbang. Pasukan Imam Husein yang berjumlah 72 orang, gugur syahid setelah bertempur melawan puluhan ribu pasukan Yazid.[9]
Kehadiran Perempuan dalam Revolusi
Salah satu fakta menarik dari kisah kebangkitan (revolusi) Imam Husain adalah keikutsertaan kaum perempuan. Kehadiran kaum perempuan dan anak-anak di padang Karbala menjadi jawaban bagi tuduhan bahwa Imam Husein bangkit melawan Yazid adalah demi perebutan kekuasaan. Bila kekuasaan yang menjadi tujuan, mengapa beliau membawa serta keluarganya, termasuk istri, saudara perempuan, dan anak-anak perempuannya yang masih belia?
Kehadiran kaum perempuan dalam revolusi Imam Husain merupakan bagian dari sebuah strategi perjuangan. Imam Husain berangkat ke Kufah dalam kondisi sudah mengetahui bahwa beliau akan syahid terbunuh. Beliau memang memilih kematian daripada hidup terhina, berbaiat kepada seorang pemimpin yang zalim. Namun, kesyahidan itu tak boleh sia-sia. Harus ada yang menjadi penyampai suara perlawanan terhadap kezaliman. Dan mereka, yang ditugasi untuk menyampaikan pesan kebenaran itu, adalah kaum perempuan.
Sejarah mencatat bahwa segera setelah 72 pahlawan Karbala gugur syahid, pasukan Yazid membakar tenda-tenda kaum perempuan, merampas harta benda mereka, bahkan merobek baju dan kerudung mereka. Kaum perempuan itu diarak dari Karbala menuju Kufah, lalu dari Kufah menuju Damaskus (Syam).[10]
Mari kita bayangkan kondisi psikologis kaum perempuan itu. Dalam satu hari (tanggal 10 Muharam), mereka kehilangan saudara, anak, dan suami. Sayyidah Zainab, adik Imam Husain, kehilangan 2 anaknya, puluhan keponakan, serta 6 saudara laki-laki, termasuk Imam Husain sendiri. Dengan mata kepalanya sendiri, ia menyaksikan orang-orang yang dicintainya itu disiksa, dihujani panah, dan disabet pedang, sampai akhirnya gugur syahid.
Dalam kondisi yang sangat berat itu, Sayyidah Zainab harus mampu mengendalikan emosinya. Dia harus mengurus kaum perempuan dan anak-anak yang masih tersisa; termasuk melindungi putra Imam Husain, yaitu Ali Zainal Abidin yang dalam kondisi sakit. Pasukan Yazid waktu itu berusaha membunuh Ali Zainal Abidin, namun berhasil dihalau oleh Sayyidah Zainab dengan kekuatan kata-katanya.
Di sepanjang jalan, ketika mereka diarak dalam keadaan mengenaskan dan dipermalukan, mereka tetap tegar dan terus-menerus mengumumkan kepada khalayak, siapa mereka sebenarnya. Dengan kepala tegak, dengan penuh harga diri dan keanggunan, Sayyidah Zainab berkali-kali berpidato dengan teknik orasi yang mampu membangkitkan kesadaran. Rakyat yang mendengar menjadi terguncang; mereka yang semula mengira bahwa rombongan tawanan itu adalah kaum pemberontak, segera menangis histeris dan menyesali, mengapa tidak membantu keluarga Nabi saat dibantai di Karbala.
Jika saja kekuatan itu tidak dimiliki oleh Sayyidah Zainab dan kaum perempuan Karbala, sudah pasti penguasa akan menceritakan hal-hal lain versi mereka. Mereka telah dan akan terus memutarbalikkan fakta; mereka akan memposisikan Imam Husain sebagai pemberontak dan musuh kekhalifahan Islam.
Konteks Kekinian: Masyarakat yang Damai dan Relijius
Lalu bagaimana dengan kita hari ini, kaum perempuan Indonesia?
Tantangan yang ada di hadapan kaum perempuan Indonesia saat ini sungguh kompleks. Namun, bila kita kaitkan dengan tema seminar ini, yaitu upaya membentuk masyarakat yang damai dan relijius, kita bisa memfokuskan perhatian pada masalah ini. Damai artinya terbebas dari konflik. Penyebab konflik sangat beragam, namun, seperti disimpulkan oleh Barthos & Wher, akar konflik terbagi tiga, yaitu kekayaan, kekuasaan, dan prestise.[11] Sementara itu, Pruitt & Rubin menyebutkan adanya faktor invidious comparison sebagai penyebab konflik; yaitu ketidakkonsistenan status.[12] Dengan demikian, kecemburuan sosial akibat semakin melebarnya jurang antara si kaya dan si miskin adalah di antara penyebab konflik.
Semakin tahun, jumlah kaum miskin di Indonesia semakin meningkat akibat berbagai kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Pemerintah kita telah menandatangani berbagai perjanjian internasional yang berujung kepada terpinggirkannya industri dalam negeri. Kita kaum perempuan pasti tahu bahwa di pasar, hampir semua barang murah yang beredar adalah produksi asing. Beredarnya barang-barang murah itu telah membuat ribuan pabrik tekstil dan alas kaki gulung tikar; serta puluhan ribu buruh menganggur; kemiskinan meningkat, diikuti dengan berbagai problem sosial yang merupakan efek dari kemiskinan.
Situasi serupa pernah terjadi di Iran tahun 1890 ketika Shah Iran menandatangani perjanjian monopoli tembakau dengan Inggris. Akibatnya, industru tembakau dalam negeri terancam bangkrut dan ratusan ribu orang terancam kehilangan pekerjaan. Kaum perempuan Iran waktu itu bangkit melakukan berbagai aksi protes, antara lain dengan berhenti menggunakan tembakau, menutup toko-toko di pasar, dan mendesak suami-suami mereka untuk ikut dalam aksi protes. Salah satu tokoh perempuan pada era itu adalah Zainab Pasha. Dia terkenal dengan seruannya, “Kalau kalian tidak berani melawan kaum penjajah, pakailah kerudung kami dan pulang ke rumah! Kami yang akan menggantikan kalian untuk berjuang!” Aksi demo dan boikot meluas ke berbagai penjuru negeri, sampai akhirnya Shah Iran membatalkan perjanjian itu.
Lalu, bagaimana kita hari ini? Apakah justru kita kaum perempuan yang merasa diuntungkan oleh membanjirnya barang-barang impor murah itu? Apakah hal ini membuat kita tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi di luar sana; dengan nasib para buruh yang tercerabut dari sumber penghasilan mereka?
Sungguh, dalam hal konsumerisme, perempuan memiliki sebuah kekuatan luar biasa. Kekuatan itu bisa dipakai untuk melemahkan, atau sebaliknya membangkitkan semangat perjuangan melawan penindasan. Survei di Inggris mendapati bahwa seorang perempuan dalam diskusi tiga menit sanggup merekomendasikan 5 merek kepada temannya, dan rekomendasi itu akan diikuti oleh dua temannya. Artinya, dalam diskusi 3 menit saja, seorang perempuan mampu membuat sebuah produk mendapatkan dua konsumen baru. Atas dasar survei ini, para pakar marketing menyarankan agar para produsen pandai-pandai mengambil hati perempuan.[13]
Kekuatan yang kita miliki ini sangat mungkin membuat kita tanpa sadar telah menjadi pilar penopang kezaliman; dalam arti kita turut serta dalam melanggengkan ketidakadilan sistem perdagangan internasional. Misalnya, kita menggunakan benda-benda dengan berlebihan, lalu saling merekomendasikan dan membuat perempuan lain ikut tergiur kepada benda-benda itu. Sebaliknya, kekuatan itu juga bisa dipakai untuk merekomendasikan hal yang sebaliknya: lebih memilih membeli barang lokal daripada barang impor. Belajar dari aksi boikot tembakau di Iran, bisa dibayangkan efeknya bila 100 juta perempuan Indonesia bangkit untuk memilih produksi dalam negeri. Inilah yang disebut Temma Kaplan (1982) sebagai female consciousness, kesadaran perempuan.[14] Kesadaran inilah yang juga mendorong kaum perempuan Barcelona tahun 1910-an melakukan gerakan politik memprotes inflasi dan terbatasnya suplai makanan. Rema Hammami (1997) and Carol Barden-stein (1997) juga mengobservasi bahwa dalam proses perjuangan bangsa Palestina, definisi “good mother” telah berubah dari melayani kebutuhan keluarga, menjadi ‘seseorang yang menyediakan syuhada’. [15] Redefinisi serupa juga muncul di tengah wanita Iran yang menjalankan perannya dalam keluarga dengan mengarahkan keluaarganya agar rela mengorbankan jiwa raga demi jihad di jalan Allah.[16]
Saya pikir, kaum perempuan muslimah Indonesia hari ini punya tanggung jawab untuk membangkitkan kesadaran diri sendiri dan kaum perempuan di sekitar kita. Tanpa female consciusness, sulit muncul perubahan besar menuju kebaikan di negeri ini. Bila dulu Sayyidah Zainab membongkar kebobrokan pemerintahan Yazid, hari ini kita punya tugas membongkar kebobrokan sistem kapitalisme yang menjerat kaum perempuan di negeri ini ke alam konsumerisme. Bila dikaitkan dengan relijiusitas, kebangkitan kesadaran untuk tidak terjebak dalam konsumerisme, jelas bersesuaian dengan firman-firman Allah mengenai keharusan tampil sederhana, tidak berlebih-lebihan, dan mengalokasikan dana yang lebih banyak untuk membangun umat. []