Sayyid Murtadha: Figur Ilmu dan Kemuliaan (2)
Sayyid Murtadha: Figur Ilmu dan Kemuliaan (2)
Oleh: Dr. Ammar Fauzi Heryadi
Sebagian mimpi bukan tidak ada kemiripan dengan ilham dan pemberitaan gaib dari segi nilai kebenarannya. Salah satu jenis mimpi itu ialah mimpi yang dialami oleh Syaikh Mufid. Pada suatu malam, ia bermimpi melihat Siti Fatimah Al-Zahra a.s. dengan membawa Imam Hasan dan Imam Husain a.s. lalu berkata, “Wahai Syaikh, ajarkan ilmu fiqih kepada kedua anak ini!” Syaikh Mufid lantas terbangun dari tidurnya dan segera merenung. Hingga tiba waktu subuh, datanglah Fatimah, ibunda Sayyid Murtadha dan Sayyid Radhi. Disertai oleh sejumlah pelayan, Sang ibu membawa kedua anaknya itu yang masih usia kanak-kanak kepada Syaikh. Dengan penuh hormat atas kedudukan sang ibu, Syaikh Mufid lebih dahulu mengucapkan salam sambutan dan bangkit dari tempatnya. Sang ibu mengatakan kata-kata perempuan yang dilihat Syeikh dalam mimpinya, “Wahai Syaikh! Ajarkan ilmu fiqih kepad kedua anak ini!” Syaikh Mufid benar-benr terkesima, lalu ia menceritakan mimpi itu kepada sang ibunda. Dengan sungguh-sungguh, Syaikh Mufid menyanggupi permintaannya dan menunaika amanatnya; ia mengajari kedua anaknya hingga mereka berhasil mencapai kedudukan ilmu pengetahuan yang tinggi dan bintang kebanggaan dunia Islam.
Guru dan Murid
Sayyid Murtadha tmber dan berkembang pikiran dan spiritualitasnya di lingkungan intelektual yang kondusif. Di lingkungan tersebutlah Ia belajar pada banyak tokoh-tokoh yang nama-nama bersinar, seperti Syaikh Mufid, Khatib Adib, Ibnu Nubatah, Syaikh Hassan Babaweih. Selain itu, ia juga menjebolkan banyak tokoh-tokoh terkemuka di dunia Islam, seperti Syaikh Thusi, Qadhi Ibn Al-Barraj, Salah Al-Halabi, Abdul Fatah Al-Karachiki, Salar bin Abdul Aziz Al-Dailami, dan puluhan nama-nama besar lainnya di dunia Akademi pendidikannya.
Karya-karya
Sayyid Murtadha memiliki banyak karya ilmiah yang masing-masing merupakan bukti atas keluasan pengetahuan dan kedalaman Samudera ilmu serta keutamaan. Mendiang Mudaris, penulis Rayhânat Al-Adab, menyebutkan lebih dari 72 buku yang dikarang oleh Sayyid Murtadha. Sebagian dari buku-buku tersebut berkaitan dengan ilmu Fiqih dan ilmu Ushul Fiqih sebagaimana tersebut di bawah ini:
- Al-Intishâr
- Jumal Al-Ilm wa Al-‘Amal
- Al-Dzarî‘ah fi Ushȗl Al-Syarî‘ah
- Al-Muhkam wa Al-Mutasyâbih
- Al-Mukhtashar
- Ma Tafarradat bihi A-Imâmiyyah min Al-Masâ’il Al-Fiqhiyyah
- Al-Mishbâh
- Al-Nâshiriyyât.
Selain judul-judul di atas, ada juga karya-karya Sayyid Murtadha sebbagai berikut: Kitâb Al-Amâlî, Jawâb Al-Malâhidah fî Qidam Al-‘Âlam, Durar Al-Fawâ’id. Masih ada karya-karyanya yang bisa ditemukan secara terperinci dalam referensi terkait.
Gelar Alamul Huda
Berkenaan dengan gelar kebesaran Alamul Huda, yakni Panji Hidayah, sebagian besar ahli sejarah menuliskan bahwa Abu Sa’id Muhammad Husein, menteri Al-qadir Billah, khalifah Abbasiyah 381-422, jatuh sakit tepatnya pada tahun 422, yaitu dua tahun sebelum kematiannya. Pada suatu malam, sang menteri bermimpi berjumpa dengan Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib a.s. Khalifah Rasulullah ini berkata kepadanya, “Katakan kepada Alamul Huda agar dia berdoa untuk kesembuhanmu dari penyakit hingga kamu kembali pulih!” Sang menteri bertanya, “Wahai Amirul Mukminin, Alamul Huda itu siapa?” Beliau menjawab, “Dia adalah Ali bin Husain Al-Musawi”.
Segera Ia pun terjaga dari tidurnya lalu langsung menulis sebuah surat untuk Sayyid Murtadha. Di dalam surat itu, dia meminta agar Sayyid Murthada mendoakannya. Di dalam surat yang sama, dia memanggilnya dengan nama kebesaran Alamul Huda.
Membaca surat tersebut, Sayyid Murtadha terkejut dan ia meminta kepada sang menteri untuk tidak memanggilnya dengan gelar kebesaran tersebut. Sang menteri mengatakan, “Demi Tuhan, aku bersumpah bahwa Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib telah memerintahkan agar Aku memanggilmu dengan gelar kebesaran itu.”
Setelah menteri itu mendapatkan kesembuhan berkat doa Sayyid Murthada, ia menceritakan pengalaman mimpinya dan keberatan Said Murtado menerima gelar kebesaran tersebut kepada khalifah. Maka khalifah pun mengirimkan pesan yang isinya menyatakan bahwa sudah sepantasnya engkau menerima dan tidak menolak gelar kebesaran yang diberikan oleh datukmu itu engkau.
Lalu khalifah juga menginstruksikan agar semua juru tulis dan sekertarisnya menyebut Sayyid Murtadha dengan gelar Alamul Huda dalam setiap dalam surat-surat resmi kenegaraan dan ditujukan kepada publik. Demikianlah gelar tersebut akhirnya tersematkan pada diri Sayyid Murtadha.
Perpustakaan
Ruang perpustakaan Sayyid Murtadha menampung kurang lebih 80.000 jilid buku. Kebanyakan dari buku-buku tersebut adalah bahan telaah dan hasil karang beliau. Salah satu tokoh yang hidup semasanya mengatakan, “Au telah menghitung buku-buku Sayyid Murtadha dimana jumlahnya mencapai 80 ribu jilid. Kebanyakan dari buku-buku itu adalah hafalan-hafalan atau karya-karya tulisnya sendiri.” Al-Tsa’alibi, seorang sejarawan ternama, juga menguatkan kesaksian ini lalu membubuhkan, “Di Baghdad, setelah wafatnya Sayyid Murtadha, kendati sebagian besar buku-bukunya telah dihadiahkan kepada para sultan dan menteri, namun tetap saja yang tersisa darinya senilai dengan 3000 Dinar.”
Hari Wafat
Sayyid Murtadha wafat di Baghdad pada tahun 436 Hijriah. Najasyi dalam buku Rijalnya menulis, “Pada tahun tersebut dia wafat. Putranya sendiri yang menyolatkannya dan di rumahnya sendiri ia dimakamkan. Bersama Abu Yala Jafari (menantu Syaikh Mufid) dan Salar bin Abdul Aziz, saya ikut serta memandikannya. Namun, jenazah mulia Sayyid Murtadha dipindahkan ke Karbala dan dimakamkan di haram suci Imam Husein a.s.