Sudah ada Sains dan Filsafat, Untuk apa Agama? (Bag.1)
Oleh: Fardiana Fikria Qurany
Terjadi diskusi cukup menarik belakangan ini di media sosial (Facebook), yang dipicu oleh perselisihan pendapat dua penulis populer di tanah air, Goenawan Mohamad dan A.S. Laksana. Tulisan demi tulisan kemudian bergulir sedemikian rupa, saling tanggap menanggapi, kritik, konstruksi dan sebagainya yang disajikan oleh sejumlah penulis berkaliber. Meski telah cukup lama berlangsung, tapi gairah perselisihan ini cukup memberi angin positif bagi hadirnya suatu diskursus akademik yang analitis, sekurangnya sebagai penghibur dari pengap dan membosankannya perbincangan politik kaum politisi yang hanya itu-itu saja, juga dinamika keagamaan yang makin menyusut pada kubang politik identitas dan kiat menciutkan sistem intelektual dari diskursus keagamaan itu sendiri.
Perselisihan berputar di sekitar tema, sains, filsafat dan agama. Konteks pemicunya adalah soal pandemi Covid-19. Namun tulisan ini tidak akan secara spesifik menanggapi tulisan yang sudah terbukukan itu. Apa yang penting dari tema ini adalah, bahwa pandemi yang kita hadapi saat ini, adalah suatu peristiwa yang mengguncang kemanusiaan secara umum, menyusutnya pendapatan (ekonomi), kekhawatiran massal, dan lebih-lebih suara-suara ‘relijius’ yang berkata ini adalah bala’, adzab, yang Tuhan kirimkan karena kemaksiatan yang telah banyak dilakukan oleh manusia.
Pandemi ini juga disinyalir sebagai momen penting dimana para pengagum, bahkan fanatik sains menunjukkan tajinya. Bahwa pandemi tidak selesai dengan banyaknya doa yang dipanjatkan, atau dengan renungan filosofis yang menaik tinggi hingga ke langit ketujuh. Tapi ia akan selesai dengan perilaku sains (cuci tangan, pakai masker, dan hindari kerumunan) atau solusi saintifik (uji laboratorium guna menemukan vaksin) dan sebagainya.
Perilaku sains dan solusinya, mungkin tidak perlu kita bantah demi keselamatan kita sendiri. Bagaimana pun yang menjadi kesadaran kita, bahwa virus corona ini tak mengenal agama orang tertentu, warna kulit, atau ras dan suku tertentu. Namun sikap saintisme yang sepenuhnya menegaskan bahwa alam kehidupan ini semata hanya utuh dalam bacaan sains, amat berlebihan dan cenderung reduktif. Terlebih apalagi jika dikatakan agama tak berfungsi apa-apa.
Perdebatan sains, filsafat dan agama, bukan barang baru. Ini adalah isu lama yang mungkin selalu baru untuk dibahas. Kali ini perbincangan tersebut menjadi hangat dengan pandemi sebagai pemicunya.
Cara Kerja Sains dan Filsafat
Cara kerja dapat dipahami terlebih mula dengan mengenali obyek pembahasan dari suatu disiplin ilmu. Sains dengan segala varianya (fisika, kimia, biologi, dsbg) berobjekkan benda fisik-materi. Fisika meninjau segi gerak suatu materi, kimia meninjau unsur-unsur materi, dan biologi pada anatomi dan kerja metabolisme tubuh-raga. Sains tak lagi bertanya, apakah materi itu ada? Justru sains mesti bermula sejauh materi itu ada. Maka soal bagaimana materi menjadi ada sebagai materi bukan menjadi wilayah sains. Jika demikian artinya, sains hanya dapat meneliti dan mengkaji sejauh sesuatu adalah ada dan bersifat material.
Namun akal manusia, tak mungkin hanya mengafirmasi materi belaka, lantas bagaimana dengan pikiran, jiwa, perasaan, yang tak memiliki karakteristik material. Tentu saja ia non-materi, problemnya bagaimana yang non-materi dipastikan adanya dan dengan cara berpikir yang seperti apa ia dapat dipahami? Dalam hal ini, maka filsafat mengajukan diri sebagai kerangka berpikir yang kapabel menerima non-materi sebagai obyeknya. Tapi inti obyektifikasi filsafat bukan sekedar yang non-materi tapi bahkan yang bersifat material.
Berikut bisa dijelaskan, jika sains mesti menerima keberadaan sesuatu (materi) sehingga absah untuk diteliti dan diinvestigasi, maka filsafat bertanya, bagaimana keberadaan materi sebagaimana adanya menjadi ada? Artinya, apa yang memungkinkan sains untuk bekerja adalah apa yang menjadi obyek kajian filsafat: ADA. Jadi memisahkan keduanya (sains-filsafat) akan berakibat pada reduksi atas realitas itu sendiri. Maka apa yang diteliti oleh sains, secara niscaya mengandung prasyarat yang menjadi obyek kajian filsafat. Maka sejauh ada sains, filsafat ada.
Secara epistemologis, kerangka nalar filsafat yang bersifat rasional, menjadi sandaran bagi sains untuk menyimpulkan sejumlah pengetahuan baru berdasar penyelidikan empiriknya. Karena sains memulai kerjanya dengan mengamati realitas empirik, maka terdapat sejumlah konsepsi yang dipakai oleh sains yang justru tak memiliki bentuknya pada realitas empirik. Konsep tersebut seperti konsep keberadaan dan sebab-akibat. Dengan begitu, saat seorang saintis melihat mendidihya air setelah dipanaskan dengan api, ia menegaskan adanya hubungan sebab-akibat, sehingga disimpulkan, air mendidih “disebab” oleh panasnya api. Sains menerima pengetahuan dari alam, dan filsafat membantu memberi kerangka konsepual agar sain mampu menyimpulkan hubunga suatu fenomena dengan fenomena yang lain yang dipersepsinya secara empirik.
Maka tanpa filsafat, sains tak mampu menunjukkan realitas obyektif persepsi indrawinya, sekaligus tak dapat menyimpulkan apa-apa dari keseluruhan tumpukan konsep-konsep di dalam pikiran. Maka, baik secara ontologis atau epistemologis, sains dan filsafat adalah satu kesatuan nalar manusia (integratif), tanpa satu di antara keduanya, apa yang disebut ‘berpikir’ akan timpang.
Dimana Agama?
Lantas bagaimana dengan Agama? Berbeda dengan sains dan filsafat, agama bukan konsep, pengetahuan atau nalar. Ia adalah ajaran. Ajaran yang diyakini turun dari Tuhan. Maka agama mesti dipahami, dimengerti dan ditafsirkan. Tapi, agama tidak sekedar untuk dipahami, karena ia juga mengandung tuntutan praktis-tindakan, ritus-ibadah, moral-akhlak, hukum berupa perintah dan larangan.
Agama sebagai agama, tak memberi apa-apa kecuali hanya rangkaian kata-kata indah di atas kertas. Namun ia menjadi berarti sejauh manusia menemukan agama dalam dirinya. Maka agama berarti bukan untuk dirinya tapi untuk manusia.
Saat agama hendak dimengerti, maka mesti ada wujud visual bagaimana cara agama dimengerti dan dilaksanakan. Sosok tersebut adalah para Nabi dan Rasul.
Persolannya, mengapa manusia butuh agama? Bukankah telah ada sains dan filsafat? Tak cukupkah filsafat dan sains membawa manusia kepada kehidupan yang diimpikannya? Pertanyaan tak mungkin dijawab secara sederhana. Karena menyangkut hakikat eksistensial manusia dan alam semesta. Mengapa alam dan manusia ada, dan untuk apa ada?
Agama (mestinya) tak mungkin menjawab atau mengemukakan sesuatu yang dapat sepenuhnya dicapai oleh sains dan filsafat. Justru karena itu agama turun. Tapi apa dan bagaimana agama, sehingga ia harus turun pada manusia? insyaAllah akan diulas dalam beberapa tulisan ke depan.
(Bersambung)