Teori Disposesi Baqir Sadr
Oleh: Fardiana Fikria Qurany
Pendahuluan
Manusia ditahbiskan sebagai makhluk budaya, lantaran yang akan dilakukannya tidak sekedar berdasar insting hewani namun terdapat asumsi, kalkulasi, pola pikir, keyakinan, motif dan bahkan the ultimate purpose yang diyakininya sebagai sumber hakiki kehidupan, sehingga manusia merasa mesti melakukan sesuatu karenanya. Tindakan manusia bukan tanpa nilai, tapi nilailah yang menjadi syarat sebuah tindakan disebut tindakan manusiawi, dan nilai tersebut berpangkal secara mendasar pada cara pandang yang bekerja dalam konstruksi pengetahuannya.
Maka pengetahuan adalah segi esensial pada manusia. Tanpa pengetahuan, manusia bukanlah manusia, oleh karenanya tak ada manusia yang tak berpengetahuan. Pengetahuan sendiri adalah sebuah kerja mental yang bersifat non-material, tak dapat dindra, kecuali hanya bisa dimengerti eksistensinya di alam benak-mental, itu sebabnya ia tak mungkin memiliki ruang, waktu, dimensi dan volume dan massa layaknya materi.
Namun kendati pun ia tak dapat dipersepsi secara indra, persis karena sifatnya yang non-material, tapi ia adalah landasan peradaban manusia. Baik peradaban yang tampak sebagai peradaban spiritual (agama) maupun peradaban material seperti perkembangan teknologi dan pembangunan. Segala ihwal perkembangan kebudayaan manusia adalah ekspresi atas hadir dan mengeramnya pengetahuan dalam benaknya.
Dengan pengetahuan, alam ini tidak sekedar sebuah ruang hidup biologis manusia, tapi ia menjadi obyek untuk disingkap rahasianya, dimana manusia menemukan hukum-hukum alam yang menakjubkan, yang hanya mungkin dipahami dengan berpikir. Dan yang menarik, tidak saja hal-hal yang tampak yang dapat diketahui oleh manusia melainkan yang tak tampak yang juga bagian dari teori-teori mengenai alam (sains-fisika), seperti teori gravitasi, meski kita hanya melihat gejalanya belaka secara empirik, melalui fenomena jatuhnya benda dengan massa tertentu saat kita melemparkannya atau dari arah atas ke bumi, namun secara rasional kemudian disimpul ada daya tarik bumi atas benda-benda yang ada di atasnya, demikian muncul konsepsi Gravitasi.
Dengan pengetahuan pula, budaya dan peradaban manusia berkembang, tidak stagnan. Kita dapat melihat evolusi (bahkan revolusi pada manusia) dalam konteks kehidupannya, dari kehidupan nomaden, berlanjut ke agraris, berevolusi ke industrial hingga era teknologi dan informasi. Hal tersebut tidak terjadi pada makhluk selain manusia yang berpengetahuan.
Teori Pengetahuan Disposesi
Maka perbincangan soal pengetahuan tak akan pernah lekang oleh zaman (timeless). Oleh sebab itu, pada subyek yang bernama pengetahuan, para filosof bekerja untuk menguak bagaimana sebuah pengetahuan yang eksistensinya hadir dan niscaya disadari oleh benak mampu terbentuk sedemikian rupa dan memiliki nilai dalam mengungkap realitas obyektif sebagaimana adanya. Adalah seorang Baqir Sadr yang ikut terlibat dalam upaya menunjukkan nilai pengetahuan (epistemologi) yang telah diramunya dari khazanah filsafat Islam yang dikonstruksi oleh pada filosof muslim, dari al Farabi hingga Mulla Sadra. Epistemologi yang diuraikannya secara mendetail dan sistematik dalam bukunya Falsafatuna, memiliki corak rasioanal, sebagaimana corak utama filsafat Islam pada umumnya.
Teori pengetahuan yang dicurahkan oleh Baqir Sadr bercorak rasional, namun rasionalitas yang digagasnya memiliki perbedaan dengan rasionalitas yang berkembang di dunia filsafat Barat.
Sebagaimana diulas pada tulisan terdahulu soal teori pengetahuan yang dapat dilihat dari dua segi: pembentukan konsep (tashawwur) dan penilaian konsep (tasdik). Pada level tashawwur Baqir Sadr mendudukkan dua konsepsi yang berbeda coraknya, yakni konsepsi Primer (ma’qulah awwaliyah) dan konsepsi Sekunder (ma’qulah tsnawiyyah). Konsepsi Primer terbentuk berdasar hubungan indrawi dengan realitas, yang kemudian membentuk konsepsi dalam pikiran kita, seperti konsep kita tentang warna yang kita lihat, hasil perabaan, atau pendengaran telinga kita. Dalam konteks ini tak berbeda dengan empirisme yang mengakui realitas eksternal (alam) sebagai sumber pengetahuan. Namun, berbeda dengan empirisme yang hanya menjadikan alam sebagai “satu-satunya” sumber pengetahuan, Baqir Sadr menunjukkan pada pikiran mampu melakukan “inovasi-konstruksi” pengetahuan yang bersifat rasional, secara teknis, proses terbentuknya konsepsi sekunder dari konsepsi primer disebut Teori Disposesi (nadhariyah intiza’). Kelak rasionalitas bercirikan dua ranah konsepsi: Logika dan Filsafat. Kedunya masuk dalam kategori konsepsi sekunder (ma’qulah tsanawiyyah).
Dalam kategori konsepsi sekunder tersebut terlihat kemiripannya dengan teori rasional seperti dirumuskan oleh Descartes dan Kant, namun konten dan fomasinya. Descartes nyaris menolak kebenaran konsep empiris dan mengukuhkan rasionalitas sebagai satu-satunya konsep yang layak dipercaya, maka dalam terang Cartesian, pengetahuan terpisah dari dunia eksternal. Sementara pada Kant, pengetahuan empiris diterima hanya sebagai bahan-bahan konsepsi, yang formanya dibentuk oleh pikiran, yang berarti dalam pikiran telah terumuskan secara independen forma-forma pengetahuan yang disebutnya sebagai ruang-waktu dan 12 kategori. Bagi Baqir Sadr, Descartes dan Kant telak terjebak dalam dualisme, antara realitas eksternal (alam) dan konsepsi (rasio).
Kritik dan Konstruksi
Jika empirisme menolak rasionalitas, maka bagaimana teori ini menegaskan prinsipnya sendiri? Jika dikatakan bahwa “konsepsi manusia sepenuhnya dihasilkan melalui panca indra atas realitas empiris” bukankah dalam konsepsi telah mengandaikan logika “sebab-akibat” yakni ‘sebab’ kita mempersepsi realitas (melalui panca indra) maka ‘akibatnya’ kita memiliki konsepsi tentangnya. Maka, apakah konsep sebab-akibat sendiri dapat dipersepsi secara indrawi? Jika empirisme melonak konsep sebab-akibat lantas non-empiris, maka prinsip empirisme dengan sendirinya gugur.
Berikut pula, bagi kaum rasionalis, jika pikiran mampu membentuk konsepsi pada dirinya tanpa kaitan dengan realitas, maka bagaimana menilai kebenaran konsepsi itu sendiri? Misal, konsep sebab-akibat yang diakui sebagai forma intelektual (rasional) oleh Kant, bagaimana konsepsi tersebut mampu terbentuk tanpa kaitan dengan realitas? Yakni, jika Kant menegaskan eksistensi konsep kausalitas yang telah ada dalam pikiran, bagaimana pikiran dapat memahaminya? Dapatkah kita sejak awal telah mengenal “sebab-akibat” tanpa mengerti “apa yang menjadi” sebab dan akibat” sebelumnya? Kritik senada juga Baqir Sadr tujukan pada Descartes, yakni jika realitas eksternal tak dapat diyakini keberannya, lantaran indra yang cenderung manipulatif, dan berubah-ubah, bukankah itu meniscayakan adanya pengetahuan yang diakibatkan oleh hubungan indrawi? Dan bila terdapat konsepsi dalam pikiran yang sepenuhnya bersifat rasional seperti ide Tuhan, bagaimana akal menerima ide tersebut tanpa kaitannya dengan alam?
Dualitas konsepsi di atas menyebabkan kerancuan disana-sini. Oleh sebab itu, konstruksi pengetahuan yang melibatkan hubungan yang solid antara yang empiris dan rasional dalam hubungan disposesif menjadi suatu keharusan.