Sayidah Fathimah as, Barometer Kebenaran Risalah Nabi Muhamad saww
Setelah hijrah ke Madinah, Rasulullah saww senantiasa berupaya menyebarluaskan ajaran agama Islam ke berbagai negara, juga penganut agama lainnya. Rasulullah saww menyampaikan kebenaran ajaran agama Islam dengan berbagai cara, menyampaikan surat, dialog, dan salah satunya ialah dengan bermubahalah.
Sebab diturunkan surat Ali-Imron ayat 61 ialah peristiwa Mubahalah. Para pendeta Nashrani Najran menantang Rasulullah saww untuk bermubahalah, “Siapakah yang membantahmu dalam hal ini setelah engkau memperoleh ilmu, katakanlah, “Mari kita panggil anak-anak kami dan anak-anak kalian, wanita-wanita kami dan wanita-wanita kalian…kemudian marilah kita bermubahalah agar laknat Alloh ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.”
Mubahalah ialah prosesi saling melaknat dua kelompok yang ingin membuktikan kebenaran ajaran, atau pengakuan masing-masing, dan kelompok yang salah akan binasa.
Ayat menggunakan kata ‘nisaa’ , bentuk plural atau jamak yang artinya ialah para wanita. Dalam kaidah bahasa Arab, untuk bentuk plural atau jamak minimal ialah tiga orang. Namun, Rasulullah saww kala itu hanya mengajak Sayidah Fathimah as dari kalangan wanita. Padahal, ada para istri Nabi saww dan wanita mukminah lainnya, namun tidak seorang pun dari mereka diajak. Ini dikarenakan peristiwa Mubahalah merupakan peristiwa penentuan antara benar dan tidaknya ajaran Islam. Para pendeta Najran telah mempertanyakan kebenaran kenabian dan risalah Nai Muhamad saww. Karena itu, sosok yang diajak pun harus seseorang yang punya peran penting dalam risalah Nabi saww. Sosok yang maksum dan sosok yang merupakan manifestasi ajaran Islam secara utuh, itulah Sayidah Fathimah as.
Para pendeta Najran mengurungkan niatnyaw saat melihat sosok-sosok yang diajak Rasulullah saww yang di antaranya ialah Sayidah Fathimah as. Kemudian mereka mengumumkan kepada kaumnya, “Sesungguhnya aku melihat wajah-wajah yang bila mereka memohon kepada Alloh untuk mengangkat gunung dari tempatnya dan menghancurkannya, niscaya Alloh akan mengabulkan. Janganlah kalian bermubahalah dengan mereka, karena kalian akan binasa. Dan,jika itu terjadi, niscaya tidak akan tersisa seorang pun di muka bumi ini dari orang Nashrani.”[1]
Subhanallah! Ucapan pendeta Najran membuktikan akan keagungan tiada tara Sayidah Fathimah as. Beliau merupakan sosok penentu kebenaran ajaran yang dibawa oleh Nabi terakhir. Kenapa tidak, para penantang Mubahalah mengurungkan niatnya saat melihat sosok tersebut yang salah satunya ialah Sayidah Fathimah as.
Zamakhsyari dalam tafsirnya menyatakan bahwa tidak ada lagi dalil dan argumen yang lebih kuat dan lebih penting dari ayat Mubahalah yang menunjukkan keutamaan dan keagungan ‘Ashhabul Kisa‘ yaitu, Ali, Fathimah, Hasan dan Husain.[2]
Ungkapan Zamakhsyari seorang mufassir terkenal ini pun akan menjadi penguat akan keagungan Fathimah az-Zahra as dalam hal ini. Sosok agung Sayidah Fathimah as, menjadi barometer kebenaran risalah dan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah saww. Ini bukan hal yang kecil, karena kebenaran ajaran Islam dibuktikan oleh keberadaan mereka. Sayidah Fathimah as menjadi barometer kebenaran risalah Nabi Muhamad saww.
Hilir-Mudiknya Malaikat Jibril as kepada Sayidah Fathimah as
Al-Quran telah menyebutkan dua wanita yang pernah komunikasi dengan malaikat. Sarah, istri Nabi Ibrahim as yang tertawa saat seorang malaikat memberitahukan bahwa ia akan mempunyai anak, “Dan istrinya berdiri lalu ia tersenyum. Maka Kami sampaikan kepadanya kabar gembira tentang (kelahiran) Ishak dan setelah Ishak akan lahir ya’kub. Dan (istrinya) berkata, “Sungguh ajaib, mungkinkah aku akan mrelahirkan anak padahal aku sudah tua dan suamiku sudah sangat tua? Ini benar-benar sesuatu yang ajaib.” Mereka (para malaikat) berkata, “Mengapa engkau merasa heran tentang ketetapan Allah? Itu adalah rahmat dan berkah Allah…”[3]
Juga, Maryam as yang telah berbicara dengan malaikat.[4] Meskipun, Maryam as sempat tidak mengenali malaikat, dan mengiranya laki-laki asing, “…Lalu Kami mengutus ruh Kami kepadanya, maka ia menampakkan diri di hadapannya dalam bentuk manusia yang sempurna. Dia (Maryam) berkata, “Sungguh, aku berlindung kepada Tuhan Yang Maha Pengasih terhadapmu, jika engkau orang yang bertakwa. Dia berkata, “Sesungguhnya aku hanyalah utusan Tuhanmu…”[5]
Dijelaskan dalam riwayat dari Imam Jakfar ash-Shadiq as bahwa pasca wafat Rasulullah saww, Malaikat Jibril as diperintahkan untuk mendatangi Fathimah az-Zahra as. Dalam jedah waktu tujuh puluh lima hari, Malaikat Jibril as berkali-kali mendatangi Fathimah az-Zahra as. Selain untuk memberikan ucapan bela sungkawa, dan memberikan kabar tentang kedudukan ayahandanya di sisi Alloh swt, juga membukakan rahasia-rahasia gaib kepadanya. Yaitu memberitahukan segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi hingga hari kiamat dengan juru tulisnya Imam Ali as. Kumpulan berita tersebut kemudian dinamai Mushaf Fathimah.[6]
Hilir-mudiknya Malaikat Jibril as pada Fathimah az-Zahra as sekian waktu adalah hal yang sulit difahami nalar. Dalam hal ini, Imam Khomaeni menyatakan bahwa dari teks riwayat menunjukkan berulang-ulang Malaikat Jibril Mendatangi Sayidah Fathimah as. Padahal, Jibril al-Amin tidak pernah melakukan hal itu selain kepada para nabi agung yang berada pada level tertinggi. Para malaikat pun sebagaimana para nabi, memiliki level dan maqam yangberbeda-beda. Turunnya Jibril as pada Sayidah Fathimah as bukan hal yang simpel. Jibril as malaikat yang paling agung dan tinggi kedudukannya di antara para malaikat. Karena itu, harus ada sinkhiyat atau kesesuaian yang sempurna antara kedudukan dan keagungan Jibril a.s. dengan yang didatanginya. Atau, adanya sinkhiyat dan kesesuaian antara ruh agung Malaikat Jibril as dengan ruh Sayidah Fathimah as. Karena itu, ini merupakan keagungan tertinggi Sayidah Fathimah as dibandingkan dengan keagungan dan keutamaan lainnya.
[1] Fakhrurozi, Tafsir al-Kabir, jil 8, hal 89
[2] Zamakhsyari, Tafsir Alkasysyaf, jil 1, hal 193
[3] QS Hud:71-73
[4] QS Ali-Imron:42-47 dan QS Maryam:17-21
[5] QS Maryam:17-19
[6] Kulaini, Al-Kafi, jl 1, hal 241