Telaah Singkat Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih Syeikh Shaduq (Bag. Terakhir)
Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih
1- Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih Menurut Ulama
2- Kelebihan Kitab Man Laa Yahdhuruh Al-Faqih
3- Kekurangan Kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih
4- Kritik Kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih
Kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih merupakan kitab jami’ hadis karya Ibnu Babawaih yang berada di tangan kita. Kitab ini penting karena penyusunnya berusaha memaparkan hadis-hadis shahih dan sangat terpercaya di dalamnya.
Meskipun dalam kitab-kitab Syeikh Shaduq penuh dengan riwayat shahih dan muwatstsaq, namun sangat disayangkan karya-karya beliau juga tidak lepas dari hadis-hadis non shahih. Beberapa contoh darinya dapat disebutkan berikut ini:
1) Dalam kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih yang dijamin keshahihan seluruh riwayatnya oleh Syeikh Shaduq, terdapat “Kitab Ash-Shaum” yang menyatakan bahwa bulan suci Ramadhan akan selalu terjadi 30 hari dan tidak pernah kurang darinya.
Jelas bahwa hukum ini bertentangan dengan realitas dan kesaksian, karena berkali-kali ribuan orang spesialis dan non spesialis pada permulaan bulan dan pelaksanaan puasa Ramadhan melihat hilal (bulan) sehingga mereka menghitung jumlah harinya hanya 29 hari. Riwayat ini disebutkan dengan berbagai redaksi.[1]
Syeikh Shaduq tidak membawakan sanad riwayat-riwayat tersebut dalam kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih dan terkadang hanya mencukupkan dengan menyebut perawi pertama. Oleh karena itu, ketidakshahihan hadis-hadis ini, selain masalah sanad, begitu jelas dari sisi ilmiah bagi orang berpengetahuan dan awam.
2) Tentang Riwayat Abu Rabi’ Asy-Syami
Imam Shadiq a.s. berkata kepada Abu Rabi’ Asy-Syami, “Janganlah bergaul dengan orang-orang Kurdi; karena mereka adalah satu golongan dari jin yang Allah swt. singkapkan tirainya.”[2]
Tidak diragukan lagi, riwayat ini palsu dan dusta, karena bertentangan dengan ajaran-ajaran Alquran, sunnah Nabi saw. dan Ahlul Bait a.s.
Allah swt. berfirman:
“يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ”
“Hai manusia! Sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”[3]
3) Riwayat Terkait Shalat Jumat
Imam Ja’far Shadiq a.s. bersabda, “Orang pertama yang mendahulukan khutbah dari shalat di hari Jumat adalah Usman. Saat ia selesai mendirikan shalat, tidak ada jamaah yang menetap untuk mendengarkan khutbahnya. Mereka bubar sambil berkata, “Untuk apa kita mendengarkan nasehatnya sedangkan dia sendiri tidak mengambil pelajaran darinya dan dia menciptakan bid’ah.”
Ketika Usman melihat hal seperti itu, ia memutuskan untuk mendahulukan dua khutbah Jumat dari shalatnya.”[4]
Riwayat ini menunjukkan, khutbah shalat Jumat semestinya dilaksanakan setelah shalat. Jelas bahwa riwayat ini tidak shahih, karena bertentangan dengan ijmak kaum Muslimin (baik dari kalangan Syiah maupun Ahlu Sunnah) dan berbagai riwayat dari dua kelompok ini.
Selain itu, seluruh penyarah kitab “Man Laa Yahdluruh Al-Faqih” menyatakan bahwa riwayat ini tidak shahih. Kita juga memiliki banyak riwayat dari Imam Baqir dan Imam Shadiq a.s. yang bertentangan dengan riwayat dan fatwa terkait hal ini.[5]
Ada kemungkinan terjadi kerancuan antara shalat Jumat dengan shalat Idul Fitri dan Idul Adha yang khutbahnya dilakukan setelah shalat.
4) Syeikh Shaduq dalam kitab Man Laa Yahdluruh Al-Faqih (sama seperti Kulaini), dalam Pasal terkait “Shalat Ayat” menjelaskan mitos seekor ikan paus yang menyebabkan terjadinya gempa bumi.
Sebagaimana di tempat-tempat lain, Syeikh Shaduq menghapus sanad riwayatnya dan menyandarkan mitos-mitos itu kepada Imam Shadiq a.s.[6]
Syeikh Shaduq juga membawakan hadis-hadis seperti ini dalam kitab-kitab lainnya, di antaranya sebagai berikut:
* Ma’ani Al-Akhbar, halaman 384 – 385, Cetakan Jama’ah Al-Mudarrisin.
* Kamal Ad-Din Wa Tamam An-Ni’mah, halaman 463, Cetakan Jama’ah Al-Mudarrisin.
* Shifat Asy-Syiah Wa Fadhail Asy-Syiah, halaman 13, Cetakan Perpustakaan Syams Tehran.
* Tsawab Al-A’mal Wa ‘Iqab Al-A’mal, halaman 510, Percatakan Akhlaq (Qom).
* ‘Uyun Akhbar Ar-Ridha, Litografi, halaman 211.
===================================
[1] Lihat: Man Laa Yahdluruh Al-Faqih, jilid 2, halaman 169, hadis ke-2.040; jilid 2, halaman 169, hadis ke-2.041; jilid 2, halaman 170, hadis ke-2.042.
[2] Ibid, jilid 3, halaman 164, hadis ke-3.604.
[3] QS. Al-Hujurat [49]: 13.
[4] Man Laa Yahdluruh Al-Faqih, ibid, jilid 1, halaman 432 – 433, hadis ke-1.264.
[5] Lihat: Al-Kafi, jilid 3, halaman 421, hadis ke-1, 2, 3 dan 7.
[6] Man Laa Yahdluruh Al-Faqih, ibid, jilid 1, halaman 524 – 543, hadis ke-1.512 dan 1.513.