Meneladani Kedermawanan Fathimah Az-Zahra di Era Kesepian
Oleh: DR. Dina Y Sulaeman, M.Si
(Makalah yang disampaikan di Seminar dengan tema “Sayyidah Fathimah Inspirator Gerakan Perempuan di Indonesia”)
Para ulama dari berbagai mazhab telah banyak menulis tentang keutamaan-keutamaan Fathimah Az-Zahra s.a. Amat banyak buku yang telah ditulis untuk menjelaskan berbagai aspek kehidupannya. Salah satu keutamaan itu bahkan dicatat dalam AlQuran,QS Al Insan ayat 5-10, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai kitab tafsir, seperti al Wahidi dalam kitabnya al-Basith, Ishaq alTsa’libi dalam kitab tafsir al-Kabir, Al-Zamakhsyari dalam al-Kasysyaf, dan Ismail al Haqqi dalam Ruhul Bayan.
Sesungguhnya orang- orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur. (yaitu) mata air (dalam surga )yang daripadanya hamba- hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik- baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana- mana. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan. Sesungguhnya Kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ( ucapan ) terima kasih. Sesungguhnya Kami takut akan(azab ) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang- orang bermuka masam penuh kesulitan.(Surah Al-Insan, 5-10).
Al-Tsa’labi dalam tafsirnya dengan sanad yang bersambung dari Ibnu Abbas menyatakan bahwa ayat itu berkaitan dengan kejadian ketika Hasan dan Husan jatuh sakit, dan Rasulullah berkata kepada Imam Ali dan Fathimah Azzahra agar berpuasa sebagai nazar untuk kesembuhan anak-anaknya.
Kemudian, mereka semua berpuasa. Fathimah pun telah menggiling satu sha’ gandum dan membuat lima potong roti, untuk keluarga dan seorang pembantunya (Fiddah).
Ketika tiba waktu berbuka, seseorang mengetuk pintu. Ia berkata, “Salam bagi kalian wahai Ahlul Bait Muhammad. Saya seorang yang miskin di antara kaum muslimin, karena itu berilah saya makanan; semoga Allah memberi kalian makanan dan hidangan-hidangan di surga.”
Lalu, Imam Ali melontarkan bait-bait syair pujian atas kedermawanan, bahwa sesungguhnya surga diharamkan bagi seorang yang kikir dan tempatnya kelak adalah di neraka. Beliau lantas memberikan potongan roti bagiannya untuk orang miskin itu. Istrinya, kedua anaknya, dan pembantunya segera mengikuti, mereka semua menyerahkan roti bagian masing-masing kepada pengemis itu.
Pada puasa hari kedua, kejadian serupa terulang lagi. Kali ini seorang anak yatim yang datang meminta makanan. Dan hari ketiga, kembali mereka hanya berbuka dengan air karena ada seorang mantan tawanan yang membutuhkan makanan tepat di saat mereka hendak berbuka. Lalu turunlah Surah Al Insan 5-10 itu untuk memuji mereka dan menjanjikan kebahagiaan di surga. [1]
Saya ingin menafsirkan peristiwa ini dalam konteks hari ini. Menurut data Bank Dunia, ada 10% warga dunia ini yang harus hidup dengan 2 Dollar sehari, atau kira-kira 26.000 rupiah. Ini dikategorikan warga yang hidup dalam kemiskinan ekstrim. Menurut data BPS 2016, 10% penduduk Indonesia juga hidup di bawah garis kemiskinan, namun standar miskinnya bukan 2 Dollar, melainkan di bawah 80 sen dollar (sekitar Rp10.000). Kalau dengan standar 1,5 Dollar sehari, jumlah orang miskin di Indonesia meningkat jadi 40%. Artinya, sangat banyak orang miskin di sekitar kita.
Itupun kita tahu, kebutuhan hari ini tidak cukup hanya dengan makanan, ada sangat banyak pengeluaran, mulai dari air, listrik, transportasi, hingga biaya sekolah anak-anak. Kalau itu dihitung, mungkin kita merasakan juga sendiri, banyak di antara kita yang tidak kaya, tidak termasuk orang miskin, tapi juga terasa sangat berkekurangan.
Sementara itu, baru-baru ini, sebuah LSM internasional bernama Oxfam melaporkan bahwa kekayaan kolektif empat orang terkaya di Indonesia, yang tercatat sebesar 25 miliar dolar AS, sama dengan gabungan kekayaan 100 juta orang termiskin. Dalam laporan itu disebutkan orang terkaya di Indonesia dalam waktu satu hari dapat meraup bunga dari kekayaannya lebih dari seribu kali lipat jumlah pengeluaran rakyat Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar mereka selama setahun penuh. Di dunia, ada 8 orang terkaya yang kekayaannya sama besar dengan uang yang dimiliki setengah warga termiskin di dunia. Kekayaan mereka totalnya 426 miliar dollar, sama dengan total harta 3,6 milyar manusia termiskin di dunia.
Bisa dibayangkan, betapa sebenarnya, atau seharusnya, tidak perlu ada orang miskin di dunia ini. Seandainya kekayaan dan makanan yang ada di muka bumi dibagi rata, kemiskinan tidak ada lagi. Namun tentu saja, itu ‘seandainya’, namun tidak pernah menjadi kenyataan. Di zaman ini, orang-orang dianggap sah dan bebas untuk mendapatkan kekayaan sebanyak-banyaknya. Kepemilikan harta, berapapun banyaknya, dianggap sah dan legal.
Sayangnya, situasi ini sadar atau tidak sadar, terjadi karena dukungan atau persetujuan kita semua. Tanpa kita sadari, diri kita sendiri sebenarnya turut andil dalam terjadinya distribusi kekayaan yang timpang ini.
Sebagai contoh sederhana, saat naik kereta api hari-hari ini, kita akan lebih senang dengan kereta yang ber-AC, duduk nyaman, tak ada pedagang. Jauh berbeda dengan kondisi kereta api zaman dulu. Ketika harganya menjadi mahal, kita terima saja dengan doktrin, “Ada rupa ada harga, wajar bila mahal, kan pelayanan menjadi lebih baik?” Apa kita mengingat nasib orang-orang yang terpinggirkan dan akhirnya tidak mampu naik kereta api ketika harganya menjadi berkali-kali lipat? Bagaimana dengan nasib para pedagang yang selama ini mengais rizki dengan berjualan di kereta? Kita mementingkan kenyamanan dan memaafkan perusahaan kereta api dan berkata, “Wajarlah, namanya perusahaan ya harus untung!” Kita tidak peduli pada sistem yang ada, yang disebut sistem ekonomi neoliberalisme. Kita sibuk mengurus diri sendiri. Kita tidak merasa perlu berlama-lama memikirkan, mengapa harga kereta harus mahal, dan apa yang seharusnya dilakukan agar semua orang bisa merasakan nyamannya naik kereta dengan harga terjangkau.
Banyak dari kita yang terpesona melihat kekayaan orang lain dan punya keinginan untuk mencapainya. Kita mengagungkan pencapaian kemakmuran sebagai hasil kerja individu, kemenangan dalam kompetisi, dan peningkatan karir. Dogmanya, setiap individu harus bekerja keras dan menang dalam kompetisi bila ingin sukses. Kita mengajarkan anak-anak persaingan sejak dini. Kita mengajari anak-anak berbagai skill supaya menang dalam persaingan. Kita akan bangga bila anak kita bekerja di perusahaan besar dan mendapatkan uang yang amat banyak, dibanding bila ia menjadi pekerja sosial yang mendarmabaktikan waktu dan tenaganya demi orang-orang yang membutuhkan. Kita lebih bangga pada keberhasilan materi, sadar atau tidak sadar.
Kita hidup di zaman ketika upaya mencari dan menumpuk kekayaan dipandang sebagai kemestian. Tanpa memikirkan, apakah sistemnya sudah benar? Bila kita berhasil, kita akan bersyukur pada Tuhan, dan menganggap bahwa memang selayaknya kita berhasil, karena kita sudah bekerja keras untuk itu. Padahal faktor keberhasilan kita seringkali karena ada orang lain yang tersingkir, baik itu kita sadari atau tidak.
Misalnya, kita berhasil dalam karir karena memiliki uang untuk sekolah atau kuliah di lembaga pendidikan yang bagus. Universitas yang bagus, karena diharuskan mencari dana sendiri, tidak lagi dijamin oleh pemerintah, menaikkan uang SPP-nya. Ketika anak-anak kita yang beruntung bisa kuliah, sebenarnya pada saat yang sama, ada anak-anak lain yang tidak mampu, tidak ada kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Situasi ini yang menyebabkan, kalangan menengah ke atas bisa terus bertahan dalam kondisi ekonomi yang baik, sementara kalangan miskin akan terus berada dalam kemiskinannya. Kita berada dalam kondisi persaingan yang tidak adil, tetapi berapa banyak dari kita yang memikirkan hal ini? (bersambung)
***
[1] Dikutip dari Buku “Sejarah Fathimah Azzahra” karya Prof. Dasteghib.