Zainab Al-Kubra, Kualitas Manusia Sempurna
Euis Daryati, MA____ Zainab al-Kubra merupakan manusia sempurna yang memiliki berbagai keutamaan yang telah dijelaskan dalam berbagai riwayat. Berbagai gelar yang disematkan kepada beliau juga telah menunjukkan keagungan dan kesempurnaanya.
Aqilah Bani Hasyim
Di antara julukan termasyhur Zainab al-Kubra ialah ‘Aqilah Bani Hasyim’. Banyak para perawi maupun sejarawan yang menulis nama beliau dengan julukannya tersebut. Abul Faraj Isfahani dalam Muqatil at-Thalibin ketika menjelaskan biografi Aun bin Abdullah, putra Zainab al-Kubra menyatakan, “Ibunya adalah Zainab al-Aqiilah.”
Sahabat Rasulullah SAW seperti Ibnu Abbas telah meriwayatkan khutbah Fadak Sayidah Fathimah Zahra dari Zainab al-Kubra. Ibnu Abbas berkata,“Aqilah kami, Zainab binti Ali telah meriwayatkan kepada kami…”
Terdapat beberapa versi berkaitan dengan arti kata ‘aqilah’. Ibnu Duraid dalam Jamharotul Lughoh berkata, “Fulanah aqilatul qaum, artinya perempuan itu ialah perempuan paling mulia dari kaumnya.” Pendapat ini dikuatkan oleh Ibnu Zakaria dalam Mujmal Lughoh. Ini adalah pandangan beberapa sarjana bahasa.
Adapun versi lainnya adalah bahwa kata aqilah merupakan shighah mubalaghah; bentuk kata dalam tata bahasa arab yang menunjukkan amat atau sangat. Ia memiliki akar kata ‘aql, yang artinya sangat berakal, atau dengan orang yang kapasitas dan kesempurnaan akalnya amat besar.[1]
Julukan agung tersebut dapat lebih kita pahami jika kita menyimak dan menelaah secara seksama isi khutbah Fadak Fathimah az-Zahra as. Bagaimana tidak, khutbah Fathimah az-Zahra as yang amat panjang, sangat fasih dan sarat dengan pembahasan yang sangat tinggi telah diriwayatkan oleh Ibnu Abbas dari Zainab as. Khutbah Fadak berisikan pembahasan tentang kenabian dan risalah Nabi SAW, falsafah dan hikmah hukum-hukum Islam, penuntutan hak-haknya yang telah dirampas, penghakiman atas Abu Qohafah (Abu Bakar) dan kondisi umat setelah wafatnya Nabi SAW dan lain sebagainya.[2]
Padahal, saat Fathimah az-Zahra as menyampaikan khutbahnya, usia Zainab al-Kubra kala itu lima tahun. Itu artinya sejak usia belia, kematangan dan kesempurnaan akal Zainab as sudah tak terbantahkan lagi.
Dalam sebuah riwayat juga telah disebutkan tentang kisah Zainab al-Kubra yang mengisyaratkan tentang kesempurnaan akalnya.
Pada suatu hari, Zainab al-Kubra yang masih kecil bertanya kepada ayahnya, “Ayahku sayang, apakah engkau mencintaiku?” Kemudian Imam Ali as menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak mncintaimu, kau adalah buah hatiku.” Lalu beliau berkata lagi, “Ayahku sayang, kecintaan hanyalah untuk Allah SWT sementara kasih sayang untuk kita.”
Dalam riwayat lain juga telah dijelaskan bahwa suatu hari Imam Ali as mendudukkan putrinya, Zainab di pangkuannya. Kemudian beliau mengelus-ngelus kepalanya dan berkata, “Putriku sayang, katakan satu.” “Satu,” timpal beliau. Kemudian Imam Ali as melanjutkan ucapannya, “Putriku sayang, katakan dua.” Namun Sayidah Zainab diam tidak menjawabnya. Lalu Imam Ali as mengulangi ucapannya sembari berkata, “Berkatalah wahai cahaya mataku.” Saat itu Sayidah Zainab menjawab, “Ayahku sayang, aku tidak dapat mengatakan dua dengan lidahku yang dengannya aku katakan satu.” Mendengar ucapannya itu lalu Imam Ali as memeluk dan menciumnya dengan penuh rasa haru.
Kisah di atas menunjukkan kematangan dan kemampuan daya pikir lebih yang dimiliki oleh Zainab as. Padahal kala itu beliau masih kanak-kanak. Dalam usia dini beliau dapat memahami bahwa saat telah mengatakan Tuhan itu Esa maka tidak mungkin dapat mengatakan Tuhan itu dua.[3]
Dengan kata lain beliau telah memahami kontradiksi antara konsep monoteisme dengan dualisme. Inilah salah satu perwujudan gelar ‘aqilah yang disandang Zainab al-Kubro as berupa kematangan dan kecerdasan akal tinggi.
Berilmu Tanpa Belajar (‘Alimah Ghair Muta’allimah)
Julukan kehormatan ini dianugrahkan oleh Imam Ali Zainal Abidin as kepada beliau. Jelas penganugrahan gelar tersebut bukan atas dasar nepotisme karena beliau adalah bibinya akan tetapi atas dasar kedudukan tinggi yang memang dimiliki oleh Zainab al-Kubra. Imam Ali Zainal Abidin as mengetahui keutamaan, kedudukan dan kemuliaan yang dimiliki bibinya. Imam Ali Zainal Abidin as berkata, “Wahai bibiku…dan engkau, alhamdulillah, berilmu tanpa ada yang mengajarimu dan memahami sesuatu permasalahan tanpa ada yang memahamkannya.” [4]
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Alquran dan hadis, salah satu bentuk kesempurnaan manusia adalah derajat keilmuan yang dimilikinya. Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan manusia dan merupakan santapan ruh. Ilmu merupakan salah satu sumber kemulian dan keagungan manusia. Alquran dengan jelas menerangkan tentang perbedaan kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu, “Adakah sama kedudukan orang-orang yang mengetahui (berilmu) dan orang-orang yang tidak mengetahui (berilmu)?”[5]
Dalam ayat tersebut Allah tidak dalam rangka bertanya kepada manusia apakah sama orang yang mengetahui dan tidak mengetahui. Akan tetapi pertanyaan yang merupakan sebuah pernyataan yang menjelaskan bahwa kedudukan orang yang berilmu dan tidak berilmu tidaklah sama, dalm istilah tata Bahasa Arab disebut dengan ‘istifham taqrir.
Banyak hadis yang menjelaskan tentang keutamaan ilmu. Ilmu merupakan salah satu sumber kesempurnaan, kemuliaan, derajat tinggi bagi manusia sehingga Islam selalu memerintahkan kepada umatnya untuk menuntut ilmu. Namun, Zainab al-Kubra memiliki kesempurnaan tersebut tanpa ada yang mengajarinya sebagaimana yang telah dinyatakan oleh Imam Ali Zainal Abidin as. Beliau berilmu tanpa belajar, apa itu bukan merupakan suatu kedudukan yang sangat agung? Karena tidak semua orang dapat mencapai maqam dan kedudukan tersebut. Beliau merupakan salah satu perwujudan hadis Rasulullah SAW yang berbunyi, “Ilmu adalah cahaya yang disematkan Allah Swt pada hati orang-orang yang dikehendaki-Nya.”[6]
Pada masa pemeritahan Imam Ali as, Zainab al-Kubra bersama keluarganya tinggal di Kufah. Saat itu, penduduk Kufah mendatangi Imam Ali as dan memohon kepadanya agar Zainab al-Kubra mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada istri dan anak-anak perempuan mereka. Imam Ali as menerima permohonan tersebut dan Zainab al-Kubra pun mengajari mereka. Sejarah membuktikan dalam tempo empat tahun atau lebih, banyak para perempuan yang berguru dan belajar kepada beliau.
Suatu hari, Imam Ali as mendengar Zainab al-Kubra mengajarkan tafsir huruf-huruf muqatta’ah (yang terpotong-potong) dari Alquran, khususnya tentang huruf permulaan surat Maryam, yaitu huruf ‘Kaaf, Haa, Yaa, Ain Shaad‘. Usai mengajar, Imam Ali as menghampirinya dan berkata, “Wahai cahaya mataku, tahukah bahwa huruf-huruf ini (Kaaf, Haa, Yaa, Ain, Shaad) merupakan kunci rahasia peristiwa yang akan menimpa engkau dan saudaramu, Husein di Karbala?”
Kemudian Imam Ali as menjelaskan kepadanya tentang tragedi Asyura yang akan menimpanya.[7]
Derajat keilmuan beliaupun telah terbukti ketika beliau berdebat dan berdialog dengan Ibnu Ziyad, Gubernur Kufah. Beliau menjawab dengan tangkas segala pernyataan Ibnu Ziyad. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad marah kepadanya, karena setiap ia berkata, Zainab as dengan tangkas telah mematahkan segala argumennya. Sampai akhirnya Ibnu Ziyad tidak mampu lagi berdebat dengannya dan berkata, “Sumpah demi Tuhan, perempuan ini penyair dan pandai berbicara seperti ayahnya.”[8] Begitu pula khutbah-khutbah beliau lainnya yang disampaikan di Kufah maupun di Syam.
[1] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubra minal Mahdi ilal Lahdi, hal:33-34.
[2] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubra minal Mahdi ilal Lahdi, hal; 427.
[3] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubra minal Mahdi ilal Lahdi, hal: 39.
[4] Ihtijajul Thabarsi, hal 166; Safinatul Bihar, jil 1, hal 557
[5] QS. az-Zumar:9
[6] Muntakhab Mizan al-Hikmah, bab ilmu, hal 404
[7] Sayyid Nuruddin Jazairi, Khashaishu Zainab, hal 82-83
[8] Muhammad Kazim Qazwini, Zainab al-Kubro minal Mahdi ilal Lahdi, hal:348