10 Ramadhan; Wafatnya Perempuan Agung yang Dirindukan Surga (Sayidah Khadijah as)
Euis Daryati,MA Keagungan dan kemuliaan Sayidah Khadijah, bukan karena kekayaannya atau pun karena nasabnya, namun karena sifat-sifat terpujinya, yang dikenal sejak sebelum menikah dengan Rasulullah Saw. Beliau digelari dengan berbagai julukan yang menunjukkan kemuliaannya seperti thahirah (perempuan suci), mubarakah (perempuan yang diberkahi), Sayyidatu Quraisy (perempuan penghulu Quraiys), dan lainnya.
«کانَتْ خَدیجَةُ إمْرَأةً عاقِلَةً شَریفَةً مَع ما أرادَ اللهُ بِها مِنَ الکرامَةِ وَالْخَیْرِ وَهِیَ یَوْمَئذٍ أفْضَلُهُمْ نَسَباً وَأعْظَمُهُم شَرَفاً وَأکْثَرُهُمْ مالاً؛ »
“Khadijah adalah perempuan yang berakal nan mulia, yang Allah kehendaki dengan kemuliaan dan kebaikan. Pada saat itu ia adalah orang yang paling utama nasabnya dan paling agung kemuliaannya dan paling banyak hartanya.”[1]
Menariknya, seorang pendeta telah memprediksi bahwa Sayidah Khadijah akan mencapai maqam tinggi itu dari sebelum Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi dan rasul, juga sebelum mereka menikah. Pada saat itu seorang pendeta berkata kepada Maisarah, pelayan Sayidah Khadijah,
«یا مَیْسَرَةُ إقْرَأ مَوْلاتَکَ مِنّی السّلام وَاعْلِمْها أنَّها قَدْ ظَفَرّتْ بِسَیِّدِ الاَنامِ، وَأنَّهُ سَیَکونُ لَها شَاْنٌ مِنَ الشَّاْنِ وتَفْضُلُ عَلی سائِرِ الخاصِّ والْعامِ وَاحْذَرْها أنْ تَفوتَها القربَ مِنْ هذا السَّیِد فَإنَّ اللهَ تعالی سَیَجْعَلُ نَسْلَها مِنْ نَسْلِهِ وَیَبْقی ذِکْرُها إلی آخِرِ الزَّمانِ…؛
“Wahai Maisarah, sampaikan salamku kepada tuanmu, dan katakan kepadanya bahwa ia akan memenangkan seorang pemimpin manusia, ia akan memiliki kedudukan dan akan mulia atas semuanya baik dari kalangan khusus, maupun umum. Peringatkan ia agar tidak kehilangan kedekatan dari pemimpin ini. Sesungguhnya Allah akan menjadikan keturunannya (Khadijah) dari keturunannya (Nabi Muhammad) dan akan senantiasa diingat sampai akhir zaman.”[2]
HaI ini menunjukkan bahwa keagungan dan kemulian Sayidah Khadijah telah dicatat di kitab-kitab suci terdahulu, sehingga para pendeta Nasrani dapat memprediksinya dengan baik. Menariknya juga, Shafiyah putri Abdul Muthalib telah menyinggungnya pada pada malam pengantin Sayidah Khadijah,
یا خَدیجَةُ! لَقَدْ خَصَصْتَ هذه اللَّیْلَةَ بِشَیءِ ما خَصَّ بِهِ غَیْرُکَ، وَلا نالَهُ سِواکَ مِنْ قَبائِلِ الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ، فَهَنیئاً لَکِ بما أوتِِیتَهُ وَوَصَلَ إلَیکِ مِنَ العِزِّ والشَّرَفِ
“Wahai Khadijah, telah dikhususkan malam ini untukmu dengan sesuatu yang tidak dikhususkan untuk selainmu, tidak ada yang mendapatkannya selainmu dari kalangan Arab maupun Ajam (non Arab), selamat atas anugrah yang diberikan kepadamu dari keagungan dan kemuliaan.”[3]
Tentunya anugrah tersebut tidak didapatkan begitu saja, namun karena perjuangan dan pengorbanannya untuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Di antaranya ia adalah orang yang pertama beriman kepada Allah dari laki-laki maupun perempuan dan tidak ada yang menyatakan selain itu. Ibnul Atsir menyatakan, “Khadijah adalah yang Allah tetapkan masuk Islam pertama kali, tidak ada laki-laki maupun perempuan yang mendahuluinya.”[4]
Salam Spesial Allah SWT untuk Sayidah Khadijah
Allah SWT tidak mungkin memperlakukan seorang hamba-Nya dengan spesial jika hamba tersebut tidak memiliki kedudukan spesial di sisi-Nya. Bayangkan, Sayidah Khadijah telah mendapatkan ‘salam spesial’ dari Allah SWT, Pencipta alam semesta, yang mungkin saja para nabi pun belum tentu mendapatkan perlakuan khusus seperti ini. Apakah ini tidak cukup untuk menggambarkan maqam jalaliyah dan jamaliyah Sayidah Khadijah?
إنَّ جَبْرَئیلَ أتی النَّبِیَّ صلی الله علیه و آله فَقالَ إقْرَءْ خَدیجَةَ مِنْ رَبِّها السَّلامَ فَقالَ رَسولُ الله صلی الله علیه و آله: یا خَدیجَةُ هذا جَبْرَئیلُ یُقْرِئُکَ مِنْ رَبِّکِ السلامَ، قالَتْ خَدیجَةُ: اللهُ السَّلامُ وَمِنْهُ السَّلامُ وَعَلی جَبْرئیلَ السَّلامُ
Jibril as telah mendatangi Rasulullah Saw seraya berkata, sampaikan salam dari Allah SWT untuk Khadijah. Maka Rasulullah Saw bersabda, “Wahai Khadijah, ini adalah Jibril, ia telah menyampaikan salam dari Allah SWT untukmu.” Sayidah Khadijah berkata, “Allah itu damai, dan salam (kedamaian) itu dari-Nya, dan salam juga atas Jibril.”[5]
Surga Merindukan Sayidah Khadijah
Kita merindukan surga dan ingin masuk surga. Namun jika surga yang merindukan seseorang untuk segera ditempatinya, maknanya sangat mendalam dan luar biasa. Sayidah Khadijah termasuk perempuan yang dirindukan surga. Surga ingin segera didatangi dan ditempatinya, sementara manusia lain dengan susah payah ingin memasukinya.
اشْتَاقَتِ الْجَنَّةُ إِلَى أرْبَعٍ مِنَ النِّسَاءِ: مَرْیَمَ بِنْتِ عِمْرَانَ وَآسِیَةَ بِنْتِ مُزَاحِمٍ زَوْجَةِ فِرْعَوْنَ وَهِیَ زَوْجَةُ النَّبِیِّ-ص- فِی الْجَنَّةِ وَخَدِیجَةَ بِنْتِ خُوَیْلِدٍ زَوْجَةِ النَّبِیِّ-ص- فِی الدُّنْیَا وَالْآخِرَةِ وَفَاطِمَةَ بِنْتِ مُحَمَّدٍ-ص
“Surga telah merindukan empat perempuan; Maryam putri Imran, Asiyah putri Muzahim istri Firaun, istri Nabi saw, Khadijah, istri di dunia dan akhirat, dan Fathimah putri Muhammad.”
Kain Kafan dari Surga
Karena banyaknya tekanan yang menimpa Sayidah Khadijah, terkhusus pemboikotan di Syi’b Abu Thalib, akhirnya beliau sakit. Ketika menjelang ajal, beliau berkata kepada Rasululllah Saw,
“Aku memohon maaf kepadamu, jika aku sebagai istrimu belum berbakti kepadamu. Aku memiliki keinginan namun akan meminta putriku yang menyampaikannya kepadamu, karena aku malu menyampaikanya kepadamu.”
Kemudian Rasulullah Saw keluar dari kamar dan Sayidah Khadijah memanggil Sayidah Fatimah dan berbisik,
“Fatimah putriku, aku yakin ajalku segera tiba, yang kutakutkan adalah siksa kubur. Tolong mintakan kepada ayahmu, aku malu dan takut memintanya sendiri, agar beliau memberikan bajunya yang biasa untuk menerima wahyu agar dijadikan kain kafanku.”
Luar biasa keikhlasan Sayidah Khadijah, perempuan kaya yang telah menyerahkan seluruh hartanya kepada suaminya, namun merasa malu untuk meminta sesuatu kepadanya.
Setelah Sayidah Fathimah menyampaikan pesan permohonan Ibundanya kepada Rasulullah saw. Rasulullah pun memberikan bajunya kepada putrinya, dan tiba-tiba turunlah Malaikat Jibril,
«یا محمد! اِنَّ کَفنَ خَدِیجةَ مِن عِندِنا فَاِنَّها بَذَلَت مَا لُها فِی سَبِیلِنا فَجَاء جِبرِئیلُ بِکَفَنٍ وَقَال یَا رَسُولَ اللهُ هَذا کَفنُ خَدیِجَةُ وَهُوَ مِن اَکفانِ الجَنةِ اَهدَیَ اللهُ اِلَیهَا…»؛
“Wahai Muhammad, sesungguhnya kafan Khadijah dari kami karena dia telah menggunakan hartanya di jalan kami. Maka datanglah Jibril dengan membawa kafan seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah kafan Khadijah yang berasal dari kafan surga yang telah dihadiahkan Allah SWT kepadanya.”
Ucapan Terakhir Rasulullah di Dekat Jasad Mulia Sayidah Khadijah
“Wahai Khadijah istriku sayang, demi Allah, aku takkan pernah mendapatkan istri sepertimu. Pengabdianmu kepada Islam dan diriku sungguh luar biasa. Allah maha mengetahui semua amalanmu. Semua hartamu kau hibahkan untuk Islam. Kaum muslimin pun ikut menikmatinya. Semua pakaian kaum muslimin dan pakaianku ini juga darimu. Namun begitu, mengapa permohonan terakhirmu kepadaku hanyalah selembar sorban?“
Tersedu Rasulullah mengenang istrinya semasa hidup. Seluruh kekayan Sayidah Khadijah diserahkan kepada Rasulullah untuk perjuangan agama Islam. Dua per tiga kekayaan Kota Mekkah adalah milik Sayyidah Khadijah. Tetapi ketika Khadijah hendak menjelang wafat, tidak ada kain kafan yang bisa digunakan untuk menutupi jasad Khadijah. Bahkan pakaian yang digunakan Sayidah Khadijah ketika itu adalah pakaian yang sudah sangat kumuh dengan 83 tambalan diantaranya dengan kulit kayu. Rasulullah Saw kemudian berdoa kepada Allah SWT,
“Ya Allah, limpahkanlah rahmat-Mu kepada Khadijahku, yang selalu membantuku dalam menegakkan Islam. Mempercayaiku pada saat orang lain menentangku. Menyenangkanku pada saat orang lain menyusahkanku. Menentramkanku pada saat orang lain membuatku gelisah. Oh Khadijah, kau meninggalkanku sendirian dalam perjuanganku. Siapa lagi yang akan membantuku?”
Innalillahi wa inna ilaihi rajiun, langit berduka atas kepergian salah satu perempuan agung penopang dakwah Islam.
[1] Tarikh al-Khumais, Husein bin Muhammad Diyarbakri, jil. 1, hal. 263.
[2] Biharul Anwar, Majlisi, jil.16, Hal.44.
[3] Ibid, jil.16, hal.71.
[4] Ummahat Al-Mukminin, hal. 174.
[5] Biharul Anwar, Majlisi, jil.16, Hal.8.