“Apakah al-Quran Berpihak kepada Maskulinisme?” (Penyebutan Gender dalam al-Quran)
Tidak sedikit para pengusung kesetaraan gender mengkritik Bahasa al-Quran, yang menurut mereka sagat berbau maskulin (hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki). Karena itu, mari kita coba mengkuliti masalah ini dengan merujuk pada pendapat ulama tafsir kontemporer sekaligus filsuf, Ayatullah Jawadi Amuli. Beliau banyak melakukan kajian dalam hal ini.
Perlu diketahui, terdapat beberapa ayat dalam al-Quran yang dengan jelas menyebut jenis laki-laki dan perempuan. Hal ini bertujuan, pertama, untuk menghilangkan pemikiran Jahiliyah yang membeda-bedakan antara laki-laki dan perempuan serta menganggap rendah perempuan. Juga pemikiran yag menganggap bahwa kemuliaan dan ibadah hanya milik kaum laki-laki. Oleh karena itu, al-Quran datang meluruskan pandangan miring tersebut denga mengatakan bahwa yang harus disempurnakan adalah ruh. Dan ruh bukan perempuan atau laki-laki.
Sebelum kedatangan Islam, perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua, tak berharga. Masyarakat Arab selalu memadangnya dengan sebelah mata. Begitu pula di belahan dunia lainnya. Perempuan hanya dianggap sebagai objek pelampiasan nafsu semata. Ini jelas penghinaan pada perempuan. Sementara al-Quran menyatakan, perempuan sebagai ibu adalah sosok yang bertanggungjawab mengurusi Pendidikan hati dan ruh anak-anaknya. sementara ruh dan hati manusia bukalah laki-laki maupun perempuan. Ini membuktikan tidak ada pengistimewaan pada laki-laki dalam Islam.
Dalam pembahasan Irfan, diutarakan tentang empat jalan yang harus ditempuh laki-laki maupun perempuan, karena keduanya pasti melalui jalan tersebut. Kalau pun ada perbedaan maka hal itu hanya dalam pelaksanaan teknisnya saja. Misalnya dalam masalah ibadah, tidak ada satu pun ibadah yang tidak melibatkan perempuan. Bahkan dalam masalah haid sekalipun. Meski ada riwayat yang memerintahkan agar perempuan meninggalkan shalat ketika haid, dalam riwayat lain disebutkan bahwa saat itu sebaiknya perempuan berwudhu dan duduk berdzikir di waktu shalat tiba. Dengan begitu, ia akan memperoleh pahala shalat yang sama seperti ketika ia tidak sedang haid. Juga, usia taklif atau balig syar’i anak perempuan lebih cepat beberapa tahun dibandingkan dengan usia balig anak laki-laki. Jadi, tidak ada satu pun bentuk kesempurnaan yang hanya dapat digapai oleh laki-lakisaja da perempuan terhalang untuk meraihnya. Tentu saja, hukum-hukum fikihlah yang mengatur bagaimana teknis pelaksanaannya, kegiatan apa saja yang harus dilakukan perempuan dan kegiatan apa saja yang harus dilakukan laki-laki. Dan ini tidak berkaitan sama sekali dengan kesempurnaan dan kemuliaan yang akan menjadikan perempuan lebih mulia dari laki-laki, atau sebaliknya.
Kedua, al-Quran menggunakan bahasa dialogis yang biasa digunakan manusia karena objek dari al-Quran adalah manusia. Seperti jika al-Quran menyebut manusia secara umum, maka maksudnya ialah manusia secara umum bukan laki-laki dan perempuan saja. Seperti dalam percakapan, jika laki-laki dan perempuan mengatakan suatu masalah, kita akan berkata, “Orang-orang berkata demikian.” Dalam hal ini, tidak ada kekhususan antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, dalam al-Quran hal-hal yang bersifat maknawi diungkap dengan kata-kata khusus agar kita dapat memahami bahwa Bahasa al-Quran tidak berkaitan dengan gender. Jika ada ungkapan yang dengan jelas menunjuk perempuan atau laki-laki, maka hal itu dalam konteks ‘meminjam bahasa yang digunakan oleh masyarakat umum ketika al-Quran turun.’ Sebagai contoh dalam surat Ali Imron tentag kaum Mukminin yang hijrah di era awal Islam. Ketika itu, Imam Ali bin Abi Thalib as hijrah bersama beberapa orang perempuan, “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan.” [QS Ali Imron : 195]
Berdasarkan ayat tersebut, perempuan yang hijrah memperoleh pahala sebagaimana laki-laki. Keduanya mendapat keutamaan yang sama.
Dalam ayat tersebut, frase ‘min dzakarin wa untsa’ yang berarti ‘baik laki-laki maupun perempuan’ menjelaskan ‘amilin’ yang artinya seorang laki-laki yang beramal yag berbentuk maskulin. Seandainya maksud ‘amil’ adalah ‘laki-laki yang beramal’ maka tidak perlu ada penjelasan ‘baik laki-laki maupun perempuan’. Karena itu, dapat dikatakan bahwa bentuk-bentuk maskulin yang digunakan al-Quran tidaklah berarti lawan dari feminim. Hal ini juga memahamkan kita bahwa al-Quran memiliki Bahasa khusus, di antaranya penggunaan bentuk maskulin yang tidak hanya merujuk pada kaum laki-laki saja. Kita tidak boleh terjebak saat menafsirkan ayat-ayat al-Quran semacam itu, begitu pula dalam riwayat-riwayat serupa.
Sebagai pelengkap, ayat-ayat al-Quran yang banyak menggunakan bentuk maskulin dapat dikelompokkan sebagai berikut:
Pertama, ayat-ayat yang tidak dikhususkan untuk satu jenis saja seperti ayat yang menyebutkan an-nas atau insan (manusia) atau yang disebut dengan man (siapa).
Kedua, ayat-ayat yang berbicara tentang laki-laki seperti ayat-ayat yang menggunakan bentuk maskulin seperti Muslimun dan Muslimin, dan ayat yang mengandung arti maskulin sebagai kata ganti kata nas atau kata lainnya. Ini semua sesuai Bahasa tersendiri yang digunakan al-Quran. ‘orang-orang’ yang dalam Bahasa Arab disebut an-nas (orang-orang) ialah khalayak umum. Al-Quran cenderung banyak menggunakan kata-kata maskulin karena hal itu cukup popular dalam sastra Arab.
Ketiga, ayat-ayat yang menggunakan kata-kata laki-laki dan perempuan. Kata ini bukan dalam rangka menjelaskan masalah laki-laki dan perempuan, tapi menjelaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan, tapi untuk menjelaskan bahwa antara laki-laki dan perempuan tidak ada perbedaan. Seperti yang terdapat dalam surat an-Nahl ayat 97, “Barangsiapa yang beramal soleh dari laki-laki maupun perempuan, sementara dia seorang Mukmin, maka Kami akan menghidupkannya dengan kehidupan yang baik, dan Kami akan memberikan balasan pahala mereka lebih baik dari yang telah mereka lakukan.”
Euis Daryati MA