Menolak Halus Perintah ‘Salah’ Suami
“Suami melarang saya mengenakan hijab, terus aku sebagai istri harus bagaimana?” Suami mungkin menyuruh saya mengenakan busana sangat ketat dan transparan saat keluar rumah. Bahkan, terkadang menyuruh saya berdandan menor, yang jelas-jelas dilarang dalam Islam. Ia bilang, ‘Aku suamimu, jadi kamu harus menaati perintahku. Lagi pula, dengan penampilan seperti ini kamu terlihat lebih muda. Supaya aku tidak malu jalan dengan kamu.’ Sering terbetik dalam hati, apakah dalam hal ini saya harus mentaati perintah suami? Karena saya juga ingin menyenangkan suami.”
Keluh kesah di atas mungkin hanya salah satu contoh fenomena yang sering terjadi dalam rumah tangga. Seorang suami, karena posisinya sebagai kepala rumah tangga, merasa berhak ditaati oleh istri dalam segala hal meski terkadang perintahnya bertentangan dengan perintah Allah swt.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menemukan pasangan yang berbeda. Sering kali seorang wanita yang shaleh harus menikah dengan pria yang kurang tingkat keshalehannya berada di bawah wanita – karena sulit mendapat suami yang benar-benar sekufu. Dalam kondisi seperti ini, istri tidak boleh apatis. Ia harus tetap berusaha membangun rumah tangga yang harmonis demi kebahagiaan dan masa depan anak. Sayang sekali jika istri langsung memilih jalan pintas atau cerai hanya karena suami tidak patuh pada ajaran agama. Perceraian memang halal tapi perceraian merupakan hal mubah yang mampu menggetarkan arsy Allah swt. Jalan cerai baru bisa ditempuh sebagai jalan terakhir ketika semua cara untuk mempertahankan rumah tangga sudah buntu. Kadang kala, usaha dan kesabaran istri dapat berbuah manis dan bisa mengubah prilaku suami menjadi lebih baik. Bukankah Allah swt sudah memerintahkan kaum Muslim untuk menjaga diri dan keluarganya dari api neraka? Dalam riwayat juga disebutkan bahwa Allah swt akan memberi pahala pada wanita yang sabar atas keburukan suaminya seperti pahala yang diperoleh Asyiyah istri Firaun [Mizanul-Hikmah]. Karena kesabaran dan keteguhannya, Asyiyah disebut Allah swt sebagai teladan bagi pria dan wanita Muslim.
Berusaha menyenangkan hati suami memang sangat dianjurkan dalam Islam. Tapi hal ini tetap punya batasan; selama tidak bertentangan dengan perintah Allah swt. Selain itu, kita sudah mengetahui bahwa setiap orang pasti punya kebaikan dan keburukan. Mustahil seseorang hanya punya sisi buruk saja. Begitu pula suami; tidak mungkin ia tak punya sisi kebaikan atau kelebihan apapun. Tambahan lagi, sebaik atau seburuk apapu seorang suami, ia tetap berposisi sebagai kepala rumah tangga. Dan posisinya ini harus dihormati oleh istri. Rasulullah saww pernah bersabda, “Jihadnya istri adalah berbuat baik pada suaminya.” Juga, “Berbahagialah istri yang membuat ridho suaminya.” [Mizanul Hikmah].
Mungkin muncul pertanyaan dalam benak kita, bagaimana dengan lanjutan riwayat Rasulullah yang menyatakan “Celakalah istri yang telah membuat marah suaminya.” Apakah dalam hal ini – istri yang menolak perintah suami karena perintahnya bertentangan dengan perintah Allah swt – juga akan mendapatkan murka-Nya? Tentu tidak seperti itu. Suami wajib ditaati oleh istri karena Allah swt sendiri yang memberikan hak tersebut pada seorang suami, yaitu ‘hak untuk ditaati’ oleh istri. Jika tidak diperintahkan Allah swt, maka suami dengan sendirinya tidak memiliki hak untuk ditaati oleh istri. Karena itu, perintah suami yang wajib ditaati istri adalah perintah yang tidak bertentangan dengan perintah Allah swt. Imam Shadiq as dalam sebuah riwayat berkata, “Laa tha’atil makhluq fi ma’siatil Kholiq artinya tidak ada ketaatan terhadap makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq (Allah swt)” [Mizanul-Hikmah].
Mungkin kita pernah mendengar ada di antara suami yang melarang istrinya berjilbab, padahal berhijab merupakan perintah Allah swt. Dalam hal ini, istri tidak wajib mentaati perintah suaminya karena perintahnya bertentangan dengan perintah Allah swt. Tapi ini tidak berarti istri boleh menolak dengan cara yang tidak bijaksana. Istri harus memilih cara yang bijak dan tidak menyinggung perasaan suami. Seorang istri pasti mengetahui momen-momen yang tepat untuk mengajak suaminya berbicara dari hati ke hati; saat suami sedang punya mood, tidak lelah atau tidak pusing memikirkan sebuah masalah. Sampaikan dulu kelebihan dan kebaikan suami. Saat ia mulai memberi respon dan menunjukkan keseriusan, barulah sampaikan teguran tentang perintahnya yang tak sesuai ajaran Islam itu. Tentu saja dengan cara yang baik. Misalnya, “Sayang, engkau baik sekali. Aku tahu engkau sayang padaku, tapi apa tidak salah menyuruhku melakukan hal itu? Bukan aku mau menentangmu, atau bertujuan tidak mentaatimu, tapi coba renungkan lagi apakah itu pantas untuk aku lakukan? Aku yakin, engkau tidak mau aku sengsara kan? Mungkin engkau sedang khilaf saat mengatakannya. Tolong renungkan lagi, ya?” Perkataan lemah lembut yang disampaikan istri bisa meluluhkan hati suaminya.
Bisa jadi suami memerintahkan sesuatu yang dilarang Allah swt karena ia memang tidak tahu duduk masalah dan hukum-hukum Islam dengan detil. Jika demikian, istri bisa menghadiahkan buku yang sesuai pada suami, yang bisa memberi wawasan baru pada suami tentang hal itu. Setelah itu, istri bisa mengajak suami mendiskusikan berdua. Tentu saja, dalam kondisi santai dan nyaman. Dengan begitu, perbedaan pendapat antara suami istri bisa dipersempit. Dan, cara memberitahu suami seperti ini pun lebih efektif, karena suami tidak merasa digurui dan kehormatannya tetap terjaga sebagai pemimpin rumah tangga. Istri yang cerdas akan mampu mengingatkan dan menyadarkan kesalahan suami dengan cara yang sangat cantik.
Euis Daryati MA