Bekerja Keras Demi Menafkahi Keluarga
Seorang ibu berkata pada kawannya, “Kasian Bu Fulanah, kondisi ekonominya sangat memburuk, demi sesuap nasi semua barang di rumahnya habis dijual…!”
Temannya berkomentar, “Kalo kita liat, sebenarnya tidak mungkin kondisinya seburuk ini bila suaminya mau bekerja keras dan tidak gengsian. Bu Fulanah sendiri yang bilang ke saya, katanya suaminya pilih-pilih kalau kerja dan nggak mau sengsara, maunya langsung enak. Saya sih udah bilang, pengusaha saja nggak langsung jadi pengusaha, tapi dari bawah dulu!”
Teman yang lain menambahkan, “Itu tuh, seperti suami tetangga saya, ia ulet dan tidak gengsi demi menghidupi keluarganya. Pagi jual sayuran pake dorongan, dan sorenya jual gorengan. Kata istrinya Alhamdulillah walaupun sedikit tapi lancar. Kita doakan mudah-mudahan suami Bu Fulanah juga akan berubah, mau bekerja keras demi keluarganya.”
Fenomena seperti ini sering kita dapati dalam masyarakat, dan tidak sedikit rumah tangga berujung pada penceraian karena masalah ini. Terlebih bila seorang istri tidak tahan dengan kondisi tersebut, dan di sisi lain ia pun tidak memiliki kemampuan untuk membantu perekonomian keluarga.
Islam telah menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dilaksanakan oleh pasangan suami dan istri. Kewajiban-kewajiban tersebut seperti kewajiban lainnya, bila tidak dilaksanakan akan memberikan dampak negatif dan balasan, di dunia dan akhirat. Di antara kewajiban suami adalah memberikan nafkah lahir dan batin. Dalam nafkah lahir seorang suami bertanggungjawab atas kebutuhan sandang, pangan, dan papan anak dan istrinya.
Kondisi ekonomi terkadang membaik dan memburuk itu biasa. Itulah ritme dan ujian hidup. Namun, sebagian krisis ekonomi keluarga terjadi karena sikap suaminya yang tidak mau bekerja keras dan kurang bertanggugjawabnya. Padahal, sebagai kepala rumah tangga berkewajiban untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Dan, seorang istri pun seharusnya tidak menuntut yang berlebihan. Istri harus meminta yang sewajarnya sesuai kebutuhan.
Jadi, dalam hal ini seorang suami hendaknya mengubah pola hidup dan pikirnya, dengan meyakini bahwa rezeki tidak datang sendiri, tapi harus dicari. Barulah setelah itu semuanya diserahkan kepada-Nya. Itulah tiga kunci yang harus kita jalankan: Usaha, Doa, dan Tawakal. Seperti pribahasa Persia yang mengatakan “Az ma harkat az Huda barkat” (usaha dari kita, berkah dari Allah). Karena itu, yang penting adalah bekerja keras. Allah akan memberkahi rezekinya dan memberikan bonus atas kerja kerasnya dengan memberikan rezeki yang tak terduga. Dalam surah ath-Thalaq ayat 2-3 disebutkan bahwa Allah akan memberikan rezeki tak terduga kepada hamba-Nya yang bertakwa. Salah satu tanda ketakwaan ialah bertanggungjawab atas keluarganya.
Di samping itu, banyak riwayat yang mencela kemalasan dan memuji kerja keras, Imam Ali a.s. berkata, “Jauhilah kemalasan, dan berusahalah untuk selalu giat. “
Imam Baqir a.s. berkata, “Aku sangat membenci orang yang malas dalam urusan dunia. Karena barangsiapa yang malas dalam urusan dunia maka dalam urusan akhirat pun akan lebih malas.” [Muntakhab Mizan al-Hikmah, hal 492]
Bahkan para Imam a.s. pun tidak segan-segan, atau gengsi, untuk melakukan kerja kasar demi mendapatkna rezeki yang halal. Padahal, bisa saja para imam menggunakan karamahnya dan memohon kepada Allah untuk mendapatkan rezeki tanpa usaha, atau bahkan menyuruh orang lain untuk melakukannya.
Disebutkan bahwa suatu hari Imam Ali a.s. pergi ke pasar untuk mencari kerja. Beliau keliling dalam kota Madinah namun tidak mendapatkan pekerjaan. Akhinya beliau memutuskan pergi ke pedesaan sekitar kota dan mendatangi beberapa petani di ladang untuk mendapatkan kerja. Di satu tempat, beliau mendapati seorang perempuan yang sedang bekerja di ladang seperti sedang menunggu seseorang. Begitu ia melihat Imam Ali a.s., ia meminta imam untuk bekerja padanya. Imam pun bekerja padanya dan upahnya adalah sekeranjang kurma. [Qisehhaye Kucak az Zendeqi-e Cahardah Maksum, hal 88-89]
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Imam Ali a.s. di tengah terik matahari keluar rumah untuk bekerja, padahal beliau tidak perlu sendiri mengerjakannya. Beliau melakukan ini ingin agar Allah melihat beliau bekerja keras untuk mendapatkan rezeki yang halal. [Muntakhab Mizan al-Hikmah, hal 491]
Fadl bin Qurrah berkata, “Aku mendapati Imam Shadiq a.s. sedang sibuk bekerja di kebun. Aku berkata, “Wahai yang jiwaku sebagai tebusannya, ijinkan kami yang mengerjakannya, atau para pembantu.” Beliau menjawab, “Tidak, biarkan saya yang mengerjakannya, karena aku ingin Allah melihatku dalam keadaan bekerja, dan mendapatkan rezeki halal dengan tanganku sendiri.”[Muntakhab Mizan al-Hikmah, hal 149]. Begitu pula, diriwayatkan bahwa Imam Baqir a.s. pun bekerja di ladang.
Nah, bila para Imam a.s. yang menjadi panutan kita tanpa rasa malu melakukan kerja kasar untuk mendapatkan rezeki yang halal, bagaimana dengan kita? Seorang suami yang mengikuti jejak Ahlul Bait a.s. dengan semangat akan bekerja keras demi menghidupi dan mencukupi kebutuhan anak dan istrinya. Dia tidak akan membiarkan keluarganya kekurangan, apalagi sampai kelaparan karena kemalasan dan gengsinya. Ia akan melakukan pekerjaan apapun untuk mendapatkan rezeki yang halal, karena ia tahu Allah menyukai hal itu. Sedangkan, seorang istri yang bijak akan terus mendoakan suaminya agar diberi kemudahan rizki dan mendorong suaminya dengan penuh kasih sayang, agar suaminya giat bekerja.
[Euis Daryati MA]