Fiqh Politik dan Fiqh Kebijakan
Annisa Eka Nurfirtia, M.Sos Iran, sebuah negara yang secara resmi dikenal sebagai Republik Islam, menarik perhatian internasional karena kombinasi unik dari ajaran Islam dan sistem pemerintahan demokratis. Diskusi tentang hubungan antara Islam dan demokrasi, serta peran Fiqh sebagai landasan politik, menjadi topik yang relevan dalam menganalisis dinamika politik Iran
Pemerintahan berbasis Islam memegang peran sentral dalam sejarah dan politik Iran modern. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang dua aspek kunci dalam studi hukum Islam, yaitu Fiqh Politik dan Fiqh Kebijakan, serta dampaknya dalam pembentukan pemerintahan Islam, dengan fokus pada Republik Islam Iran. Fiqh Kebijakan, sebagai bagian dari Fiqh Politik, melibatkan aspek hukum pidana dan kebijakan, sementara Fiqh Politik membahas administrasi dan pengelolaan masyarakat, serta perbincangan tentang pemerintahan, negara, dan hubungan antara negara dengan masyarakat dalam konteks hukum Islam.
Fiqh Kebijakan, sebagai bagian dari Fiqh Politik, membahas aspek hukum pidana dan kebijakan yang relevan dengan administrasi pemerintahan, termasuk pertimbangan hukuman seperti saksi, hukum, hukuman, qisas, diyat, dan hukuman dalam berbagai situasi. Sementara itu, Fiqh Politik membahas administrasi dan pengelolaan masyarakat, serta hubungan antara negara dengan masyarakat dalam konteks hukum Islam. Salah satu contoh fatwa yang dijadikan dasar politik di Iran adalah Fatwa Khomeini tentang Ketidaktergantungan pada Amerika Serikat. Fatwa ini dikeluarkan oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini, pemimpin Revolusi Islam Iran, pada tahun 1989.
Dalam fatwa ini, Khomeini menegaskan pentingnya Iran untuk tidak bergantung pada Amerika Serikat dalam segala hal, terutama dalam kebijakan politik dan ekonomi. Dia menganggap Amerika Serikat sebagai musuh utama Iran yang mencoba mendikte kebijakan dan mengintervensi dalam urusan dalam negeri Iran. Fatwa ini memiliki dampak besar dalam membentuk sikap politik luar negeri Iran, yang di antaranya termasuk sikap keras terhadap Amerika Serikat dan penolakan terhadap campur tangan asing dalam urusan dalam negeri Iran.
Fatwa ini mencerminkan pentingnya fatwa dalam politik Iran, di mana fatwa yang dikeluarkan oleh ulama besar seperti Khomeini memiliki otoritas yang sangat besar dan dihormati oleh pemerintah dan masyarakat Iran. Hal ini menunjukkan bagaimana ajaran agama Islam, dalam hal ini fatwa, dapat digunakan sebagai dasar untuk membentuk kebijakan politik suatu negara.
Dalam kajian ini, beberapa masalah akan dibahas, termasuk legitimasi pembentukan pemerintahan Islam pada masa ghaybah Imam Mahdi, bentuk-bentuk pemerintahan Islam, peran suara rakyat dalam masa ghaybah, validitas batas-batas geografis dan nasional dalam konsep dar al-Islam dan dar al-Kufr, serta partisipasi politik dan non-politik masyarakat dalam syariat Islam.
Sistem pemerintahan di Iran memiliki perbedaan signifikan dengan demokrasi konvensional dalam beberapa aspek kunci:
- Legitimasi dan Otoritas: Demokrasi konvensional didasarkan pada legitimasi dari hasil pemilihan umum dan kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, sementara Iran mengklaim legitimasi dari prinsip-prinsip Islam dan otoritas dari pemimpin agama. Iran menerapkan sistem pemerintahan yang unik, di mana prinsip-prinsip Islam menjadi landasan konstitusi negara. Pemerintahan dipimpin oleh pemimpin tertinggi, yang dipilih oleh Majelis, dan memiliki kekuasaan otoritatif. Fiqh, atau hukum Islam, memiliki peran sentral dalam sistem hukum Iran. Konstitusi Iran didasarkan pada prinsip-prinsip Islam, dan Fiqh digunakan sebagai pedoman dalam pembuatan undang-undang dan kebijakan pemerintah. Interpretasi Fiqh juga sering kali menjadi subjek perdebatan dalam politik Iran, dengan berbagai kelompok yang mengklaim otoritas dalam menafsirkan hukum Islam dan menerapkannya dalam kebijakan publik. Hal ini mencerminkan kompleksitas hubungan antara agama dan politik dalam konteks Iran.
- Perlindungan Hak-hak dan Kebebasan: Demokrasi konvensional sering kali menekankan perlindungan hak-hak individu dan kebebasan sipil, sedangkan Iran cenderung memberikan prioritas pada keselamatan dan keamanan publik, sesuai dengan hukum Islam.
- Partisipasi Politik: Meskipun Iran memiliki pemilihan umum, partisipasi politik lebih terbatas dibandingkan dengan negara-negara demokratis lainnya, terutama dalam hal pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Iran mengklaim menjadi negara demokratis, dengan mengadopsi pemilihan umum dan partisipasi aktif rakyat dalam politik, keberadaan otoritas agama yang kuat dan pengaruhnya dalam pengambilan keputusan politik telah memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana demokrasi yang sesungguhnya terjadi. Para ulama memiliki pengaruh yang signifikan dalam politik Iran, dengan banyak dari mereka yang terlibat secara aktif dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan. Kehadiran ulama dalam lembaga-lembaga pemerintah dan badan-badan legislatif memberikan dimensi agama dalam proses politik.
Namun, penting untuk diingat bahwa dalam konteks politik dan kebijakan, ada beberapa implikasi dan tantangan yang timbul dari interaksi antara fikih dan kebijakan di berbagai negara. Beberapa implikasi dan tantangan tersebut dapat mencakup:
- Pengaruh Agama dalam Politik: Penggunaan fikih sebagai landasan untuk kebijakan politik di Iran menunjukkan pengakuan kuat terhadap kekayaan budaya dan agama negara tersebut. Ini mencerminkan relativisme budaya, di mana nilai-nilai agama dan fikih dihormati dan diintegrasikan ke dalam proses politik, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk hukum, ekonomi, dan sosial.
- Konservatisme Sosial: Implementasi fikih sebagai bagian dari kebijakan negara dapat menghasilkan norma-norma sosial yang konservatif, sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dipegang teguh oleh masyarakat. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan perdebatan tentang batasan-batasan kebebasan individu, seperti kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama, dalam kerangka relativisme budaya.
- Toleransi dan Keanekaragaman: Penerapan fikih dapat menghadapi tantangan dalam mempromosikan toleransi terhadap keanekaragaman pendapat dan keyakinan di masyarakat. Perlu ada keseimbangan antara menghormati nilai-nilai budaya dan agama dengan mendorong toleransi dan penghargaan terhadap perbedaan.
- Pengaturan Hak Asasi Manusia: Beberapa prinsip dalam fikih mungkin bertentangan dengan norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara internasional. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana negara dapat mempertahankan identitas budaya dan agama sambil tetap memenuhi kewajiban internasionalnya terhadap hak asasi manusia.
- Relevansi Terhadap Masalah Kontemporer: Tantangan bagi fikih adalah memastikan bahwa interpretasinya relevan dengan konteks dan masalah-masalah kontemporer, termasuk perkembangan teknologi, ekonomi global, dan isu-isu lingkungan. Hal ini membutuhkan pendekatan yang dinamis dan kontekstual terhadap pemahaman fikih, dengan mengakui keberagaman dalam penafsiran dan aplikasinya.
Penting untuk mencari keseimbangan antara prinsip-prinsip fikih, kebebasan individu, dan nilai-nilai universal seperti hak asasi manusia dalam menghadapi tantangan ini. Ini membutuhkan pendekatan yang inklusif dan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan semua anggota masyarakat.Iran, sebagai contoh unik dari perpaduan antara Islam dan demokrasi, menimbulkan pertanyaan dan tantangan yang kompleks dalam dinamika politiknya. Dalam konteks ini, pemahaman yang mendalam tentang peran Fiqh sebagai landasan politik, serta implikasi dari hubungan antara agama dan politik, menjadi penting dalam analisis politik Iran dan arah kebijakan masa depannya.