Solidaritas Feminis: Memahami Keheningan Terhadap Gaza di Hari Perempuan Internasional
Annisa Eka Nurfitri,LC Dalam menyambut Hari Perempuan Internasional, penting untuk mengangkat pertanyaan tentang di mana posisi feminis dalam menghadapi tragedi di Gaza. Saat perempuan di seluruh dunia berjuang untuk kesetaraan dan keadilan, keheningan dari banyak feminis terhadap genosida yang terjadi di Gaza menjadi tantangan serius terhadap prinsip-prinsip feminisme itu sendiri.
Menjadi feminis berarti berbicara dan bertindak dalam solidaritas dengan semua perempuan yang mengalami penindasan, termasuk perempuan Palestina yang saat ini menderita akibat konflik di Gaza. Keheningan dalam menghadapi genosida ini bukan hanya sebuah kelalaian moral, tetapi juga menunjukkan bahwa feminisme harus lebih dari sekadar sebuah narasi; itu harus menjadi kekuatan untuk perubahan nyata dalam membangun dunia yang lebih adil dan damai bagi semua. Dalam menghadapi krisis kemanusiaan yang sedang terjadi di Gaza, adalah tanggung jawab feminis untuk mengangkat suara dan menuntut tindakan yang mendesak untuk mengakhiri penderitaan perempuan dan anak-anak di wilayah tersebut.
Dalam tiga bulan terakhir, saya telah memikirkan pertanyaan-pertanyaan ini dengan sangat mendalam. Saya telah membaca berbagai tulisan “feminis” oleh penulis yang saya kagumi, untuk mencoba memahami pandangan mereka tentang feminisme, dan mengapa perempuan Palestina tampaknya tidak termasuk dalam wacana mereka.
Saya mulai menyadari bahwa bagi feminis-feminis ini, perempuan Palestina dianggap terjajah terutama oleh laki-laki Palestina, bukan oleh Israel atau pihak luar lainnya. Mereka melihat perempuan Palestina sebagai korban dari masyarakat yang sangat patriarkal dan agamis, seperti Hamas, yang dikenal karena menindas perempuan. Oleh karena itu, mereka percaya bahwa serangan Israel terhadap Gaza akan membantu “membebaskan” perempuan Palestina dari Hamas, dan mengabaikan bahaya nyata yang ditimbulkan perang bagi mereka.
Saya percaya bahwa pendekatan ini adalah bagian dari pola sejarah yang mengganggu, di mana feminisme dipengaruhi oleh prasangka kolonial dan imperial. Feminis semacam itu mendukung invasi Amerika Serikat ke Afghanistan dengan alasan “membebaskan perempuan Afghanistan”, tetapi mereka tidak akan membela “pembebasan” paksa perempuan Yahudi dalam komunitas yang patriarkal di Israel.
Dalam feminisme semacam ini, empati dan kemarahan disesuaikan dengan identitas pribadi dan afiliasi politik, bukan dengan prinsip feminis universal. Hal ini menghasilkan hierarki kepedulian, di mana beberapa perjuangan feminis – terutama melawan laki-laki Muslim atau berkulit cokelat – diberikan prioritas di atas yang lain.
Dalam konteks ini, diamnya feminis Barat tentang kebutuhan akan gencatan senjata di Gaza tidak hanya merupakan kelalaian moral, tetapi juga politis. Ini mempertahankan feminisme yang terkait dengan struktur kekuasaan kolonial dan imperial, yang telah menyebabkan kerusakan di bawah perlindungan.
Keheningan ini adalah lambang dari “feminisme kolonial” modern, di mana retorika “membebaskan perempuan” justru menyembunyikan tindakan kekerasan yang lebih dalam. Ini membenarkan invasi dan pendudukan dengan dalih bantuan, menggambarkan perempuan Palestina sebagai korban semata-mata yang membutuhkan penyelamatan, sambil menyangkal hak mereka untuk perlawanan.
Sementara itu, beberapa feminis memaafkan penolakan mereka untuk menyerukan gencatan senjata dengan alasan kompleksitas sikap masyarakat Palestina terhadap LGBT. Namun, alasan ini mengabaikan krisis kemanusiaan yang lebih besar yang sedang terjadi dan menempatkan ideologi di atas kebutuhan mendesak untuk menghentikan kerugian jiwa dan penderitaan lebih lanjut.
Dalam situasi seperti ini, diam bukanlah sikap netral. Diam adalah pengakuan pasif dari tragedi yang sedang berlangsung. Dan jika Anda masih ingin tetap diam setelah melihat gambar-gambar mengerikan dari Gaza, jangan sebut diri Anda feminis. Karena feminisme sejati membutuhkan keberanian untuk berbicara melawan ketidakadilan di mana pun itu terjadi.
Feminisme adalah gerakan yang mengadvokasi kesetaraan gender, keadilan sosial, dan pembebasan perempuan dari penindasan sistemik. Namun, dalam konteks konflik di Gaza, terlihat adanya keheningan dari sebagian feminis Barat terhadap penderitaan perempuan dan anak-anak di wilayah tersebut. Ada beberapa faktor yang mungkin memengaruhi sikap ini:
- Perspektif Politik: Beberapa feminis mungkin memiliki perspektif politik yang mempengaruhi pandangan mereka terhadap konflik di Gaza. Misalnya, beberapa mungkin melihat konflik tersebut sebagai bagian dari perjuangan anti-kolonial dan anti-imperialisme, di mana Israel sering kali dianggap sebagai kekuatan penjajah. Dalam konteks ini, keheningan feminis bisa jadi hasil dari dukungan mereka terhadap Palestina sebagai bagian dari perlawanan terhadap penindasan kolonial.
- Kompleksitas Konflik: Konflik di Gaza sangat kompleks, melibatkan faktor-faktor politik, agama, dan etnis. Beberapa feminis mungkin merasa sulit untuk menyuarakan pendapat mereka tanpa mengabaikan nuansa dan kompleksitas yang ada. Namun, penting untuk diingat bahwa feminisme tidak selalu harus menyelesaikan semua aspek konflik secara detail; yang terpenting adalah pengakuan terhadap penderitaan perempuan dan anak-anak yang terjadi dalam konflik tersebut.
- Ketakutan akan Reaksi: Ada kemungkinan bahwa beberapa feminis takut untuk mengambil sikap terhadap konflik di Gaza karena takut akan reaksi negatif atau kontroversial dari sesama feminis atau masyarakat pada umumnya. Terlepas dari kekhawatiran ini, penting bagi feminis untuk berani berbicara terhadap ketidakadilan di mana pun itu terjadi, bahkan jika itu berarti menghadapi kritik atau pertentangan.
Dalam situasi seperti ini, penting bagi feminis untuk merefleksikan nilai-nilai inti gerakan mereka, seperti keadilan, kesetaraan, dan solidaritas. Meskipun konflik di Gaza mungkin terasa jauh dari beberapa feminis di Barat, mereka tidak boleh melupakan tanggung jawab mereka terhadap keseluruhan komunitas perempuan di seluruh dunia. Menjadi feminis sejati berarti memiliki keberanian untuk mengangkat suara melawan segala bentuk ketidakadilan, bahkan jika itu terjadi di tempat-tempat yang jauh atau kompleks secara politik.