Genosida di Gaza dan Runtuhnya Narasi Pecah-Belah Barat
Selama puluhan tahun, kekuatan Barat telah membangun narasi yang bertujuan untuk memecah-belah kawasan Asia Barat. Mereka memanfaatkan perbedaan etnis, agama, dan ideologi untuk menciptakan konflik yang menguntungkan kepentingan geopolitik mereka. Strategi ini memungkinkan Barat untuk mempertahankan kendali atas kawasan tersebut dengan mengabaikan aspirasi rakyat setempat. Namun, genosida di Gaza telah mengguncang fondasi narasi ini, memperlihatkan kelemahan dan kepalsuan di baliknya. Perlawanan di Gaza berhasil membongkar kebohongan yang telah lama dipertahankan untuk menjaga konflik internal di kawasan, yang dimulai sejak Revolusi Islam Iran pada 1979. Strategi seperti mengadu Syiah melawan Sunni, Iran melawan negara-negara Arab, serta sekuler melawan Islamis telah lama digunakan untuk mengontrol kawasan ini. Bahkan, taktik tersebut berhasil menyeret beberapa pemimpin Arab ke dalam aliansi yang tak terduga dengan Israel.
Konflik Gaza, yang tidak dirancang atau dikendalikan oleh Washington, menjadi momen langka yang membebaskan masyarakat Asia Barat dari narasi Barat. Serangan brutal Israel terhadap Gaza memperjelas siapa saja yang benar-benar mendukung perjuangan Palestina dan siapa yang hanya memberikan dukungan simbolis. Iran, Hezbollah, kelompok perlawanan Irak, dan Ansarallah di Yaman—yang selama ini disudutkan oleh narasi Barat—kini muncul sebagai satu-satunya aktor regional yang memberikan dukungan nyata kepada Gaza. Dukungan ini datang dalam bentuk dana, persenjataan, hingga aksi militer langsung yang bertujuan melemahkan kekuatan Israel. Di sisi lain, negara-negara Arab yang disebut sebagai “moderasi pro-Barat” seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Mesir, menunjukkan peran yang jauh lebih pasif. Arab Saudi menggelar pertemuan puncak Arab dan Islam, tetapi hasilnya hanya berupa pernyataan simbolis tanpa tindakan konkret. UEA dan Yordania bahkan mengirim pasokan ke Israel, yang kemudian diblokade oleh Ansarallah. Mesir, meskipun memiliki peran kunci melalui Perbatasan Rafah, tetap menutup jalur tersebut, menghalangi bantuan kemanusiaan yang sangat dibutuhkan rakyat Gaza.
Qatar, yang pernah menjadi pendonor utama Hamas, kini lebih berfokus pada diplomasi dan negosiasi untuk membebaskan tawanan Israel. Sementara itu, Turki, meskipun vokal mengkritik Israel, terus meningkatkan hubungan dagangnya dengan negara tersebut. Ekspor Turki ke Israel meningkat hingga 35 persen antara November dan Desember 2023. Negara-negara Arab moderat pro-Barat ini terlihat lebih mementingkan stabilitas hubungan mereka dengan Barat dan Israel daripada solidaritas dengan Palestina. Palestina bagi mereka hanyalah isu simbolis yang digunakan untuk meraih dukungan domestik. Namun, kekuatan media sosial dan gelombang protes global telah memperlihatkan bahwa narasi ini semakin kehilangan relevansinya. Palestina tetap menjadi isu sentral bagi dunia Arab dan Islam. Meskipun kadang surut, perjuangan ini selalu mampu membangkitkan semangat dan emosi massa. Konflik Gaza saat ini, yang dikenal dengan nama Operasi Badai Al-Aqsa, mempertegas bahwa perjuangan Palestina tidak hanya soal geopolitik, tetapi juga soal keadilan dan kemanusiaan.
Sebelum Operasi Badai Al-Aqsa diluncurkan pada 7 Oktober, perhatian utama geopolitik di kawasan tertuju pada kemungkinan normalisasi hubungan antara Arab Saudi dan Israel. Kesepakatan ini dipandang sebagai pencapaian besar yang bisa mengubah dinamika politik kawasan serta menguntungkan Presiden AS Joe Biden menjelang pemilihan umum. Kesepakatan tersebut dipromosikan sebagai langkah strategis yang akan mempererat hubungan Arab-Israel dan mengukuhkan pengaruh AS di Timur Tengah. Namun, operasi tersebut menghancurkan seluruh rencana tersebut. Sebagai penjaga situs suci Islam, Arab Saudi kini berada dalam posisi sulit untuk melanjutkan negosiasi tersebut tanpa menghadapi reaksi keras dari dunia Islam. Dengan serangan udara Israel yang terus menghujani Gaza dan menewaskan ribuan warga sipil, pilihan Riyadh semakin terbatas.
Operasi Badai Al-Aqsa tidak hanya menggagalkan normalisasi hubungan antara Saudi dan Israel, tetapi juga mengubah dinamika politik di Asia Barat. Narasi yang selama ini mendominasi, yang menggambarkan perlawanan Palestina sebagai konflik sektarian atau ideologis, mulai terkikis. Konflik ini memperjelas bahwa perlawanan Palestina tidak dapat dipisahkan dari perjuangan lebih luas melawan kolonialisme dan ketidakadilan yang didukung oleh kekuatan besar dunia. Sementara itu, negara-negara Arab yang selama ini berpihak pada Barat harus menghadapi kenyataan bahwa solidaritas mereka dengan Palestina dipertanyakan. Arab Saudi, yang sebelumnya dianggap sebagai pelopor dalam upaya normalisasi, kini harus menyesuaikan kebijakan luar negerinya dengan sentimen publik yang semakin mendukung perjuangan Palestina.
Negara-negara Arab moderat seperti Mesir, UEA, dan Qatar semakin terisolasi karena ketidakmampuan mereka untuk mengambil langkah nyata. Meskipun mereka masih memainkan peran diplomatik, tindakan mereka dinilai tidak memadai dalam menghadapi krisis kemanusiaan di Gaza.
Konflik ini juga menandai perubahan besar dalam cara publik melihat kekuatan Barat dan sekutu-sekutunya di kawasan. Dengan semakin transparannya informasi yang disebarluaskan melalui media sosial, narasi Barat yang selama ini mendominasi mulai kehilangan pengaruhnya. Masyarakat mulai memahami bahwa konflik di Gaza bukan sekadar masalah Palestina, tetapi juga bagian dari perjuangan yang lebih luas melawan dominasi dan ketidakadilan global. Solidaritas internasional terhadap Palestina semakin menguat, dengan protes besar-besaran di berbagai negara, menuntut diakhirinya kekerasan dan pendudukan Israel.
Genosida di Gaza tidak hanya mengguncang narasi pecah-belah yang digunakan oleh Barat, tetapi juga memperlihatkan potensi perubahan besar di kawasan Asia Barat. Solidaritas regional mulai terbentuk, dengan blok Perlawanan yang mengambil peran sentral dalam mendukung perjuangan Palestina. Dukungan terhadap blok ini menunjukkan bahwa kawasan tersebut sedang bergerak menuju era baru, di mana perlawanan kolektif dan solidaritas antarnegara dapat menggantikan perpecahan yang selama ini dimanfaatkan oleh kekuatan luar.
Pada akhirnya, genosida di Gaza mempertegas posisi Palestina sebagai isu utama dalam dinamika politik kawasan. Palestina bukan hanya simbol perlawanan, tetapi juga pusat perjuangan melawan kolonialisme dan ketidakadilan. Konflik ini menunjukkan bahwa meskipun kekuatan besar mencoba memaksakan narasi mereka, perjuangan untuk keadilan dan kemerdekaan tetap hidup di hati rakyat Asia Barat. Dengan meningkatnya dukungan untuk blok Perlawanan, kawasan ini tampaknya sedang menuju era baru di mana solidaritas dan perlawanan menjadi kekuatan utama dalam menghadapi tekanan eksternal.