Hakikat Segala Sesuatu: Bentuk dan Makna
Oleh:Fardiana Fikria Qurany
Alam yang tampak secara inderawi ini adalah jelas. Siapapun akan mengakui wujud alam yang tampak ini. Namun penampakan alam lahir ini tak memberi keluasan makna apa-apa selain dari pada yang tampak belaka. Kemenampakan realitas memunculkan sifat keberagaman yang masing-masing memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Di samping itu, apa yang nampak selalu berubah. Sehingga dengan begitu, ia bukanlah bersifat hakiki secara eksistensial. Karenanya pula ia bukan sandaran ontologis untuk menjadi dasar bagi prinsip-prinsip kehidupan.
Maulana Rumi menyebut apa yang nampak di seantero alam raya ini hanyalah bentuk-bentuk, dan barang siapa terpesona dengannya tak akan menemui hakikat sejati dan tentunya tak akan menemukan kebahagian abadi. Rumi berdendang:
“Lupakanlah yang tampak, masuklah ke dalam yang tak tampak. Di sana kalian akan menemukan perbendaharaan yang tiada tara” (Mastnawi)
Sementara di balik bentuk-bentuk ini ada Makna, yaitu perbendaharaan yang memiliki nilai sejati, dan di hadapan Makna ini sang bentuk tak memiliki nilai apa-apa. Manusia sering terpukau oleh deburan ombak yang saling mengiringi, namun sering abai terhadap luasnya lautan. Dunia yang serba nampak ini ibarat debu, dan angin adalah maknanya. Seiring menguatnya getar-getar cinta seorang hamba maka dunia tampak kerdil baginya. Rumi kembali berdendang:
“Di hadapan makna, apalah arti bentuk? Sangat tak sepadan. Makna langit tetap tersembunyi di tempat persemayamnya”
“Makna angin menjadikannya mengembara bagai roda yang berputar, tawanan bagi air yang mengalir”
” Ketahuilah, bahwa segala yang kasatmata adalah fana, tapi dunia Makna tak akan pernah sirna”
Makna sebagai Dasar Bagi Bentuk
Dalam al Quran, ditegaskan bahwa segala sesuatu adalah milikNya belaka (wa lillahil masyriqu wal maghrib / wa lillahi ma fissamawati wal ard). Untuk itu tiada jalan untuk kembali kecuali kepadaNya (inna lillahi wa inna ilaihi roji’un). Karenanya apapun yang ada di dunia ini berupa kebesaran, kemuliaan, kedigdayaan, kekuasaan, keindahan hanyalah bentuk-bentuk yang relatif, dapat berganti, berubah, mewujud dan sirna. Lalu Rumi bertanya:
“Sampai kapankah engkau akan terpikat oleh bejana? Tinggalkanlah ia; Pergi, airlah yang harus engkau cari!”
“Maka hanya melihat bentuk, makna tak akan engkau temukan. Jika engkau seorang yang bijak, ambillah mutiara dari dalan kerang”
Apa yang memungkinkan hadirnya bentuk-bentuk di jagat semesta alam ini adalah dunia makna yang universal, dimana dunia makna adalah pengetahuanNya. Dan jika pengetahuanNya adalah pula wujudNya, maka segala yang maujud tiada lain adalah WujudNya pula. Para filsuf muslim meyakini bahwa setiap yang ada adalah bermula dari pengetahuanNya yang kemudian mendapat limpahan wujud dariNya sehingga ia mewujud. Karenanya hanya wujud yang nyata, dan wujud tiada lain adalah DiriNya.
Tapi dunia adalah kenyataan hidup manusia, tak mungkin meninggalkannya atau menafikannya. Bukan sekedar bahwa dunia adalah kenyataan yang berdampingan dengan hidup manusia bahkan manusia membutuhkannya guna keberlangsungan kehidupannya. Maka, meninggalkan dunia tak mungkin dimengerti sebagai tak lagi membutuhkannya, melainkan tak memposisikannya dalam ruang terdalam di hati: Cinta. Hati harus membersihkan dirinya dari citra-citra duniawi yang berserakan tanpa nilai. Cinta harus meraih makna sejati dengan melampaui dunia.
“Lampauilah bentuk, lepaskan nama-nama dan segala sebutan, temukan makna” (Matsnawi)
Hubungan manusia dengan dunia realitas memiliki kompatibilitasnya masing-masing. Struktur realitas: Alam Ruhani, Alam Mitsal, Alam Dunia-materi memiliki kesesuaiannya dengan daya tampung jiwa manusia. Jiwa manusia mampu menerima gambaran akan obyek-obyek indrawi di alam kasat mata ini. Lalu dengan kemampuan rasionalnya dapat menghasilkan konsep-konsep baru. Namun tidak semua pemahaman dapat dihasilkan dengan kerja-kerja rasional diskursif. Jiwa membutuhkan kehadiran langsung, bukan tentang apa yang dipikirkan namun apa yang tampak dalam batin. Hanya hakikat-Dunia Makna yang dapat memenuhi dahaga jiwa terdalam manusia. Sejauh jiwa manusia hanya terpaut dengan segi-segi material duniawi saja, maka Sang Jiwa terdalam akan selamanya menderita.
Bagi jiwa, dunia hanya jalan untuk kembali bukan untuk menetap. Alam raya ini meskipun ia wujud namun wujudnya adalah pantulan wujud sang makna. Alam sebagai dirinya tak bermakna, ia menjadi bermakna jika dikaitkan kepada sang makna itu sendiri. Maka Jalaluddin Rumi meyakini hakikat ilmu yang sejati adalah yang berasal dari sang makna yang ketahui oleh Tuhan. Yang itu berarti ilmu sejati adalah ilmu yang dihadirkan oleh Tuhan langsung (hudhuri) sebagaimana ilmunya para Nabi.
Akal memang mampu menangkap ilmu dan mengembangkannya. Tapi ia hanya berupa gambaran-gambaran, sementara sang makna harus disingkap dengan cara yang lain, yakni hati yang penuh cinta. Hati dan cinta menjadi alat epistemologis yang khas bagi kaum sufi. Karena pada mulanya adalah Tuhan yang Maha Cinta. Dan semua terjadi karena Cinta. Karena bagi Tuhan segala sesuatu terjadi di bawah kuasa dan izinNya sehingga tidak mungkin terjadi suatu hal yang dibenciNya sendiri.
Sementara kebaikan dan keburukan sebagaimana berlaku dalam kategori etis yang berkaitan dengan kemaslahatan manusia sendiri. Karena kebaikan manusia tak menambah apa-apa pada kekuasaan Tuhan yang secara hakikat sempurna, begitu pula keburukan manusia pun tak mengurangi apa-apa dari kekuasaanNya.