Jihad Defensif Menurut Pandangan Fuqaha Imamiyah dengan Penekanan pada Pendapat Imam Khomeini (S) dalam Pertahanan Suci Part 1
Annisa Eka Nurfitria, M.Sos__ Pertahanan bangsa Iran dalam perang yang dipaksakan adalah salah satu contoh jihad defensif. Imam Khomeini (S) sebagai seorang faqih dan marja’ agama, memimpin Pertahanan Suci (Difa’ Muqaddas). Penelitian ini berupaya menganalisis dan menjelaskan pandangan fiqh Imam Khomeini (S) terkait Pertahanan Suci. Masalah seperti prioritas pertahanan atas kewajiban lainnya dan kewajiban pertahanan bagi semua Muslim adalah beberapa topik yang dibahas. Metode penelitian dalam penelitian ini adalah deskriptif-analitis dan dari temuan penelitian ini dapat dikatakan bahwa Imam Khomeini (S) telah mengoperasionalkan pembahasan fiqh jihad dan pandangan beliau dalam Pertahanan Suci sangat kuat dan berdasar pada fiqh jawaheri, serta secara teoritis sejalan dengan pandangan fuqaha Imamiyah yang terkenal.
- Pendahuluan
Fardhu jihad dari perspektif ilahi memiliki posisi yang tinggi dan banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menekankan pentingnya. Dalam hadis juga disebutkan bahwa jihad adalah sumber kehormatan umat Islam dan pintu surga (Syahid Tsani, 1409 H, jilid 1: 20; jilid 15: 14). Selain itu, fardhu jihad adalah salah satu cabang agama yang mencakup banyak hukum dan masalah, sehingga mendapat perhatian dari fuqaha Syiah yang membahasnya dalam kitab-kitab khusus. Berdasarkan pandangan fuqaha Imamiyah, jihad defensif adalah salah satu jenis jihad.
Salah satu contoh jihad defensif adalah perang yang dipaksakan Irak terhadap Iran, dan pemimpin besar revolusi, Imam Khomeini, memimpin perang yang dipaksakan ini. Pandangan Imam Khomeini (S) berasal dari pemikiran beliau dalam bidang-bidang seperti irfan, filsafat, kalam Islam, dan fiqh, sehingga Pertahanan Suci dalam pandangan beliau memiliki sifat multi-dimensi. Sebagai faqih dan marja’ yang memenuhi syarat serta sadar akan zaman, beliau juga membahas Pertahanan Suci dan masalah terkait dari perspektif fiqh.
Dalam penelitian ini, setelah menjelaskan alasan kewajiban jihad defensif, masalah dan hukum terkait jihad ini dalam kitab-kitab fiqh Syiah dijelaskan, dan dalam setiap pembahasan yang disampaikan, pandangan fiqh Imam Khomeini dalam Pertahanan Suci juga diuraikan.
Dalam analisis jihad defensif, terdapat artikel berjudul “Dasar-Dasar Fiqh Pembelaan Tanah-Tanah Islam” oleh Sayyid Jawad War’i. Fokus penelitian ini adalah perbedaan antara jihad inisiasi dan defensif, dan dalam bagian kedua, dijelaskan juga riwayat fuqaha dalam pembelaan tanah-tanah Islam serta fatwa jihad mereka.
Dalam analisis dan pengkajian Pertahanan Suci dari perspektif Imam Khomeini (S), beberapa penelitian juga telah dilakukan, seperti buku “Pertahanan Suci (Perang yang Dipaksakan) dalam Pemikiran Imam Khomeini (S)” oleh Mahdi Morandi dan Davood Soleimani. Dalam buku ini, pernyataan Imam Khomeini terkait Pertahanan Suci dikumpulkan tanpa analisis fiqh. Artikel “Ontologi Pertahanan Suci dari Perspektif Imam Khomeini (S)” karya Ali Karimi Malah; artikel “Kebijakan Pertahanan Imam Khomeini (S) dalam Pertahanan Suci” oleh Zahra Forootani; penelitian-penelitian ini juga tidak memiliki pendekatan fiqh. Sebelum masuk dalam pembahasan utama, konsep jihad dalam bahasa dan istilah serta jenis-jenis jihad dalam kitab fuqaha Imamiyah dijelaskan.
a) Jihad dalam Bahasa dan Istilah
Kata “jihad” secara bahasa adalah bentuk masdar dari bab mufa’alah, dari kata “jahd” yang berarti kesulitan dan kesukaran atau dari “juhd” yang berarti kemampuan dan kekuatan. Berdasarkan ini, “jihad” adalah menggunakan seluruh kekuatan dan kesulitan dalam menghadapi musuh (Raghib Isfahani, 1412 H, jilid 14: 5). Dalam istilah syar’i, jihad adalah mengorbankan jiwa dan harta di jalan Allah dalam pertempuran melawan orang kafir dan pemberontak, atau mengorbankan jiwa, harta, dan kekuatan diri dalam rangka meninggikan Islam dan menegakkan syiar-syiar-Nya (Sahib Jawahir, tanpa tahun, jilid 21: 3).
Penggunaan istilah jihad untuk jihad defensif adalah penggunaan yang sebenarnya; meskipun juga disebut sebagai pembelaan (Kasyif al-Ghita, tanpa tahun, jilid 4: 289; Sahib Jawahir, tanpa tahun, jilid 21: 15). Salah seorang peneliti menulis:
Jihad menurut para ulama adalah istilah umum untuk segala pertempuran demi memperkuat fondasi agama dan melindungi umat Islam, baik itu serangan inisiasi terhadap kaum musyrikin, maupun untuk melawan serangan non-Muslim terhadap umat Islam. Jadi, konsep jihad menurut para fuqaha tidak terbatas pada jihad inisiasi, dan bukti untuk hal ini adalah bahwa jihad dibagi menjadi dua jenis (Iraqi, 1414 H, jilid 4: 330).
b) Jenis-Jenis Jihad dalam Kitab-Kitab Fuqaha Imamiyah
Sebagian besar pembahasan dalam kitab jihad para fuqaha Imamiyah berkaitan dengan jihad inisiasi, dan di sela-sela pembahasan tersebut, mereka juga menyebutkan hukum dan masalah jihad defensif. Pembagian jihad menjadi jihad inisiasi dan defensif tidak secara eksplisit disebutkan dalam kitab-kitab fiqh klasik, namun dalam menyebutkan syarat-syarat jihad inisiasi dengan mengecualikan jihad defensif dari syarat-syarat tersebut, jenis jihad ini disebutkan dan biasanya hukum jihad inisiasi dijelaskan secara rinci, sementara hukum jihad defensif dijelaskan secara tersirat (Abu al-Salah Halabi, 1403 H: 246; Thusi, 1387 H, jilid 2: 4-8; Thusi, 1400 H: 290; Ibn Baraj, jilid 1: 297; Ibn Idris, 1410 H, jilid 2: 3. Muhaqqiq Hilli, 1418 H, jilid 1: 109).
Pada periode-periode berikutnya, para fuqaha Syiah dengan lebih teliti memisahkan kedua jenis jihad ini dan menyebutkan secara eksplisit kedua jenis ini (Allamah Hilli, tanpa tahun, jilid 9: 19; Syahid Tsani, 1413 H, jilid 3: 7; Kasyif al-Ghita, tanpa tahun, jilid 4: 289; Sahib Jawahir, tanpa tahun, jilid 21: 15). Mereka menjelaskan syarat-syarat jihad inisiasi dan mengatakan bahwa jihad defensif tidak memerlukan syarat-syarat tersebut (Hilli, tanpa tahun, jilid 2: 6-7).
Perlu dicatat bahwa jihad yang merupakan salah satu dari fardhu kifayah (Allamah Hilli, tanpa tahun, jilid 9: 19; Syahid Tsani, 1413 H, jilid 3: 7) adalah jihad inisiasi, sedangkan jihad defensif adalah fardhu ain (Sahib Jawahir, tanpa tahun, jilid 21: 15).