Tiger Mom Parenting; Pola Asuh Kontroversial
Euis Daryati, MA—– Salah satu pola pengasuhan yang kontroversial adalah ‘Tiger Mom’ (Pengasuhan Harimau), sebutan untuk pola pengasuhan yang keras, mengontrol perilaku anak dengan ketat.
Tiger parenting adalah pendekatan pengasuhan yang menekankan disiplin ketat dan harapan tinggi terhadap anak-anak, terutama dalam hal prestasi akademis. Metode ini menjadi populer karena buku Amy Chua, Battle Hymn of the Tiger Mother pada tahun 2011 yang menggambarkan bagaimana pengasuhan gaya Cina yang keras menekankan pada pencapaian akademis dan keluarga. Ia menyebutkan bahwa orang tua yang menggunakan pendekatan ini percaya bahwa dengan menetapkan standar yang sangat tinggi, anak-anak dapat meraih kesuksesan lebih besar di masa depan. Pendekatan tiger parenting ini mencerminkan penekanan budaya Tiongkok terhadap pencapaian akademis dan kewajiban keluarga, yang berbeda dari praktik pengasuhan yang lebih fokus pada harga diri dan pertumbuhan pribadi di budaya Barat.
Dari buku Amy Chua tersebut terdapat 15 ciri pola asuh tiger mom seperti; melarang anak menonton televisi, melarang anak nonton game, menuntut anak untuk selalu sempurna, mendikte anak, menebar ancaman, terlalu kompetitip, membuat banyak aturan, mencintai anak tergantung prestasi, mengekang kebebasan anak, bersikap keras kepada anak, bersikap dingin kepada anak, tidak menerima kritik, dll.[1]
Kelebihan Tiger Parenting
Salah satu keunggulan utama dari tiger parenting adalah pencapaian akademis yang tinggi. Chua dalam bukunya menjelaskan bahwa orang tua yang menerapkan metode ini sering kali menetapkan standar yang sangat tinggi untuk anak-anak mereka, mendorong mereka untuk belajar lebih giat dan mencapai nilai-nilai yang luar biasa.
Dengan menetapkan rutinitas belajar yang ketat dan fokus pada prestasi, tiger parenting dapat mengembangkan etos kerja yang kuat pada anak-anak sejak usia dini. Selain itu, disiplin yang ketat dalam metode ini juga membantu anak-anak mengembangkan ketekunan dan keterampilan menghadapi tantangan, yang pada akhirnya memperkuat ketahanan mental mereka.
Kekurangan Tiger Mom Parenting
Namun, tiger parenting juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah kurangnya keintiman emosional antara orang tua dan anak. Haochen Zhang, dkk., dalam penelitiannya berjudul Do tiger moms raise superior kids? The impact of parenting style on adolescent human capital formation in China menyatakan bahwa pendekatan yang sangat berfokus pada disiplin dan pencapaian akademis dapat membuat anak merasa kurang didukung secara emosional, yang dapat menyebabkan tingkat stres dan kecemasan yang tinggi.
Selain itu, anak-anak yang dibesarkan dengan gaya pengasuhan ini mungkin merasa kesulitan mengembangkan kemandirian, karena terlalu tergantung pada arahan orang tua dalam banyak aspek kehidupan mereka. Chao dan Tseng dalam penelitian mereka berjudul Asian and Western Parenting: A Cultural Comparison juga menemukan bahwa pendekatan ini berisiko membuat anak kehilangan minat terhadap kegiatan yang mereka lakukan karena merasa terpaksa dan terbebani oleh harapan yang terlalu tinggi. Akhirnya, hubungan keluarga bisa terganggu, terutama jika terjadi konflik antara harapan orang tua dan keinginan pribadi anak.
Dampak Tiger Mom Parenting
Dampak Positif
Masih mengutip buku Amy Chua, berikut ini merupakan beberapa dampak positif dari tiger parenting:
- Meningkatkan prestasi akademis karena fokus pada disiplin dan kerja keras
- Meningkatkan motivasi dan ketekunan anak dalam belajar dan menghadapi tantangan
- Anak-anak dapat mengembangkan rasa percaya diri dari pencapaian akademis dan kesuksesan di bidang lain seperti musik atau seni.
Dampak Negatif
Mengutip dari penelitian berjudul What is “Tiger” Parenting? How Does it Affect Children? oleh Su Yeong Kim, seorang Profesor Ilmu Perkembangan Manusia dan Keluarga di University of Texas di Austin dan penelitian milik Haochen Zhang, dkk., dalam penelitiannya yang berjudul Do Tiger Moms Raise Superior Kids?, berikut ini merupakan beberapa dampak negatif dari tiger parenting:
- Menyebabkan tingkat stres dan kecemasan yang tinggi pada anak karena tuntutan yang terlalu besar.
- Dapat menghambat perkembangan keterampilan sosial dan emosional anak karena kurangnya interaksi yang menyenangkan dan kurangnya perhatian emosional
- Risiko burnout atau kelelahan mental pada anak akibat beban belajar dan ekspektasi yang terlalu tinggi.
- Berpotensi merusak hubungan antara anak dan orang tua akibat minimnya dukungan emosional dan komunikasi.
- Menurunkan kemampuan anak untuk menjadi mandiri karena selalu berada di bawah kendali dan aturan orang tua.[2]
Bagaimana dalam Islam?
Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa para nabi membawa kabar gembira dan peringatan, ini juga menunjukkan tentang konsep Pendidikan dalam Islam secara universal, ada kabar gembira ada hukuman. Karena tugas utama para nabi adalah mendidik manusia. Artinya bahwa terdapat dua unsur penting dalam Pendidikan, yaitu unsur kabar gembira dan unsur peringatan atau hukuman. Sementara dalam parenting tiger mom parenting penekanan utama pada hukuman. Kita juga dapat melihat dalam berbagai hadis terkait dua unsur penting tersebut;, bahwa adakalanya harus tegas, harus ada hukuman, namun adakalanya dengan bahasa kasih sayang dan cinta. Sebagai contoh hadis Nabi saw yang menjelaskan 3 tahapan usia pendidikan; tujuh tahun pertama adalah tuan, tujuh tahun kedua adalah budak, tujuh tahun ketiga adalah menteri menjelaskan pola pengasuhan yang harus disesuaikan usianya yang tidak melulu berupa hukuman.
Rasulullah saw bersabda, “Seorang anak adalah tuan pada usia tujuh tahun pertama, hamba sahaya pada tujuh tahun kedua, dan menteri pada usia tujuh tahun ketiga. Jika engkau merasa puas (sesuai harapan) pada akhlaknya pada usia 21 tahun, jika tidak (sesuai harapan akhlaknya) maka pukullah bagian samping tubuhnya, denga itu engkau telah menyampaikan uzur di hadapan Allah Swt.” [Hindi, Kanzul Ummal, hadis ke-54338]
Dalam sebuah hadis dijelaskan tentang hukuman yang benar untuk pendidikan,
Seseorang mengadukan perihal anaknya kepada Imam Musa al-Kadzim as. Beliau berkata, “Janganlah engkau memukulnya, diamkanlah (tidak diajak bicara sebagai hukuman), tapi jangan berlama-lama mendiamkannya.”
Diriwayatkan oleh Ali bin Ats-bat, yang mengatakan bahwa Rasulullah saw melarang mendidik dalam keadaan marah.
Rasulullah saww bersabda, “Siapa yang memiliki anak, hendaknya bersikap kekanak-kanakkan di hadapan anaknya.” [Syeikh Shaduq, Man La Yahdhurul Faqih]
Imam Ali as berkata, “Barangsiapa yang memiliki anak, bersikaplah kekanak-kanakkan.”[Kulaini, al-Kafi]
Bermain merupakan sebuah kegiatan yang sangat disukai dan sangat penting bagi anak-anak. Terkhusus, pada usia 0-7 tahun, bermain merupakan kebutuhan mendasar dan merupakan dunia anak-anak. Dengan bermain, anak dapat bebas melakukan kegiatan yang disukainya dan mendapatkan hiburan. Kegiatan bermain juga dapat diselaraskan dan digabungkan dengan belajar sehingga bermain, selain anak-anak menjadi senang, juga mendapatkan ilmu dari belajar.
Ada sebuah ungkapan Imam Ali as yang cukup fenomenal mengenai pendidikan anak di mana beliau berkata, “Ajarilah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup di zaman mereka bukan pada zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian.”
Di samping itu, tiap anak memiliki potensi dan kecerdasan yang berbeda-beda, tugas orang tua adalah mengenali dan membantu mengembangkannya agar meraih kesuksesan. Berdasarkan hal ini, maka tidak ada anak yang bodoh dan orang tua tidak boleh membanding-bandingkan anak-anaknya karena perbedaan kecerdasan tersebut. Kecenderungan minat, bakat, talenta dan ketrampilan dasar belum menjadi bagian yang integral.
Dalam Al-Quran berkaitan dengan hal ini Allah berfirman,
قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ
“Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya masing-masing.” (QS. Al-Isra : 84)
Para ahli tafsir Al-Quran menafsirkan kata ‘syakilatih’ (شَاكِلَتِه) sebagai pembawaan masing-masing/potensi/bakat/kecerdasan genetik.
Artinya bahwa kecerdasan anak tidak hanya penekanan kecerdasan akademi saja seperti dalam pola asuh tiger mom.
Di malam-malam Lailatul Qadar sayidah Fathimah menidurkan Imam Hasan dan Imam Husein pada siang harinya agar malam harinya mereka dapat mengikuti Lailatul Qadar tanpa mengantuk. Pesannya dalam Pendidikan juga perlu menerapkan kedisiplinan.
Kesimpulannya bahwa pola asuh terbaik adalah tidak ekstrim kanan juga tidak ekstrim kiri, namun mendidik dan mengarahkan anak sesuai dengan kecerdasannya yang adakalanya untuk mencapai kesuksesan diperlukan adanya kedisipinan, aturan, tapi juga apresiasi dan kasih sayang, sehingga yang berkembang bukan hanya kecerdasan intelektual saja namun juga kecerdasan mental dan emosonal.
[1] https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/15-ciri-ciri-tiger-mom-dan-dampaknya-dalam-mendidik-anak
[2][2] https://www.detik.com/jogja/berita/d-7570729/apa-itu-tiger-parenting-ini-pro-dan-kontra-beserta-dampaknya.https://ameera.republika.co.id/berita/ncr8wu/tiger-mom-lebih-banyak-buruknya-daripada-baiknya. https://www.ibupedia.com/artikel/keluarga/15-ciri-ciri-tiger-mom-dan-dampaknya-dalam-mendidik-anak