Keadilan Sebagai Basis Kesejahteraan Sosial
Fardiana Fikria Qurany
Salah satu kehidupan yang riil dihadapi oleh manusia dalam kesehariannya adalah soal materi, soal dimana dia dapat memenuhi hajat hidup materialnya: sandang, pangan dan papan. Apa yang terang benderang adalah bahwa setiap manusia sejauh hidup di dunia ini memiliki kebutuhan biologis untuk bertumbuh.
Dalam konteks hubungan manusia dengan alam sebagai wahana pemenuhan hasrat materi untuk kebutuhan perkembangan tubuh lahiriahnya adalah soal yang sangat sederhana. Bila kita sedang merasa lapar dan melihat di depan rumah kita ada pohon pepaya, tinggal kita petik pohon tersebut lalu tinggal memakannya. Bagaimanapun apa yang dapat manusia konsumsi tiada lain berasal dari alam.
Hal di atas menjadi kompleks saat ada dalam suatu lanskap yang disebut “hubungan sosial”. Untuk sekedar mengkonsumsi apa yang ada di alam bukan sesuatu yang rumit, tapi begitu kita berpikir bagaimana sebuah bidang tanah yang di atasnya tumbuh pelbagai tumbuhan yang dibutuhkan oleh masyarakat terikat oleh sistem kepemilikan maka masalah tidak lagi menjadi sederhana. Yakni kita mesti mengkajinya secara kritis bagaimana suatu kepemilikan menjadi sah.
Berikutnya, kita dapat amati bahwa tak sepenuhnya apa yang manusia dapatkan dari alam serta merta menjadi kebutuhan konsumtifnya. Seorang petani yang tengah menggarap tanahnya tak semata sekedar ingin menikmati hasil panennya berupa beras yang hanya sekedar untuk dimakan, tapi juga untuk dijual. Maka suatu barang (komoditas) tak selalu bekerja dalam aras nilai guna melainkan juga dimainkan dalam segi nilai tukarnya.
Dalam konteks nilai tukar, sesungguhnya yang terjadi tidak lagi murni soal pertukaran barang, namun ada soal perspektif ideologis-politis yang berlangsung. Aristoteles barangkali orang yang pertama menyoal masalah ini, baginya pertukaran mesti berlangsung dalam suatu konsepsi filosofis yakni keharusan akan adanya kesetaraan akan barang yang dipertukarkan, dan kesetaraan hanya mungkin terjadi bila ada keseukuran. Pemberlakuan nilai-nilai kesetaraan sebagai nilai keabsahan pada sebuah pertukaran bukan perkara material-empirik melainkan soal ideologis, karena di situ menyangkut ide ‘keadilan’, dengan suatu hipotesis bahwa jika tak setara berarti ada kerugian yang dialami oleh salah pihak yang terlibat dalam proses pertukaran.
Nilai tukar, merupakan basis ontologis ekonomi, sehingga dasar prinsip suatu praktik ekonomi dapat diabsahkan bila mengandung nilai-nilai keadilan. Secara epistemologis abstraksi nilai-nilai keadilan tersebut tidak terlepas begitu saja dari dasar-dasar ilmiah-material yang bersifat konstitutif dalam sebuah komoditas, yakni kerja para pekerjanya. Sehingga ekonomi pada basisnya merupakan perkara sosial dimana mengandaikan konsepsi mengenai hubungan antar manusia.
Keadilan sebagai Kesadaran Etis Manusia
Keadilan sendiri adalah suatu tatanan nilai dimana manusia adalah subyeknya. Keadilan sebagai tatanan nilai lahir dari suatu konstruksi nalar kesadaran yang hanya mungkin bagi manusia. Maka keadilan dalam kehidupan sosial sesungguhnya refleksi dari kesadaran etis-sosial manusia. Setiap sesuatu yang dirancang dalam konteks kewenangan atau otoritas (politik) atau suatu usaha untuk mencapai kesejahteraan yang bersifat material (ekonomi) jika hal tersebut bertalian dengan kehidupan manusia secara sosial maka dasar pengabsahannya adalah keadilan.
Dengan begitu, kesejahteraan adalah perkara relatif dalam kehidupan sosial, atau ia bersifat sekunder. Karena jika kesejahteraan adalah kemampuan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan bahkan lebih dari cukup tidak serta merta mengindikasikan suatu sistem yang adil. Karena bagaimanapun kesejahteraan bersifat individual. Dengan perilaku yang curang, mungkin bagi seseorang untuk hidup sejahtera, atau dalam sistem yang timpang juga memungkinkan bagi sejumlah orang hidup dalam keadaan sejahtera di tengah-tengah sejumlah besar yang lainnya.
Dalam kasus perorangan tentu saja setiap orang berhasrat untuk memiliki aset kekayaan yang melimpah, artinya dia ingin sejahtera. Namun jika ini yang menjadi ukuran maka besar kemungkinan yang terjadi adalah benturan dan konflik. Karena setiap orang hanya berpegang pada hasratnya masing-masing.
Untuk itu, pertanyaan filosofis yang mendasar adalah dalam rangka apa setiap kita memilih untuk berhubungan secara sosial atau bermasyarakat?
Bagi seorang muslim, meyakini bahwa hasrat sosial manusia adalah fitrahnya. Manusia memiliki kesadaran untuk meletakkan hubungan sosialnya dalam kualitas pemaknaan yang bertingkat-tingkat, hubungan antar sesama anggota keluarga, hubungan sesama suku dan ras, hubungan antara warga negara hingga hubungan antar sesama manusia semesta.
Kesadaran kemanusiaanlah yang menjadikan manusia merasa setara satu sama lain dan oleh karenanya diyakini memiliki hak dan kewajiban yang sama. Maka kesetaraan dalam harkat dan martabat merupakan asas keadilan. Sehingga Islam pun amat konsen dengan isu keadilan dan mendudukkannya sebagai hal yang mendekatkan seorang hamba pada derajat taqwa.
Tanpa Keadilan, Kesejahteraan akan Timpang
Maka, kesejahteraan dalam perspektif keadilan tidak memberi ruang absolut—melalui akumulasi yang tiada batas—pada tiap individu karena akan melahirkan ekslusifisme kapital, dan pada gilirannya akan mempersempit ruang gerak bagi yang lain dalam memenuhi kebutuhan yang sama. Dan pula akumulasi kapital yang sedemikian rupa potensial menjadi alat kekuasaan untuk menindas satu sama lain.
Dalam konteks bernegara, segala instrumen sosial dan material yang memungkinkan setiap manusia (penduduk suatu negara) tumbuh dan berkembang maka setiap individu berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut seperti pendidikan, kesehatan, dan akses-akses ekonomi.
Khusus dalam konteks ekonomi yang basisnya bersumber pada alam, maka perspektif keadilan lebih melihat bagaimana setiap individu memiliki kesetaraan untuk memanfaatkan hasil alam yang dikuasai secara adil dan tidak tersentral oleh pemilik modal yang berjumlah segelintir orang. Karena kekuasaan atas kepemilikan akan berdampak pada keadilan dalam distribusinya.
Untuk itu, kesejahteraan tanpa keadilan adalah kedzaliman dan diskriminasi. Karena hanya akan menguntungkan segelintir orang dan mengesklusi sejumlah besar orang yang juga sama-sama ingin merasakan kesejahteraan.