Paradigma Realisme dan Irrealisme dalam Filsafat Moral
Fardiana Fikria Qurani
Filsafat moral merupakan suatu diskursus yang cukup fudamental dalam kehidupan manusia. Karena filsafat moral hadir untuk melakukan evaluasi rasional baik berupa kritik maupun konstruksi terhadap pandangan-pandangan moral yang telah hidup dan berlangsung menjadi kesadaran manusia.
Moral sendiri telah demikian inheren pada diri manusia. Yakni sebagai suatu kesadaran yang unik mengenai apa yang baik dan buruk untuk dilakukan. Karena manusia bukan sekedar makhluk yang berpengetahuan (homo rational) tapi juga makhluk yang bertindak. Setiap makhluk hidup yang memiliki kehendak (dalam logika; genus: hewan) mesti juga bertindak. Bertindak berdasar kehendaknya. Hanya saja yang membedakan adalah dasar atas kehendaknya untuk bertindak.
Manusia dengan perangkat rasionalnya dapat menentukan bagaiamana dia harus bertindak, termasuk bertindak semata karena kehendaknya. Berbeda dengan hewan yang bertindak semata karena kehendaknya dan tiada pertimbangan (rasional-etis). Oleh sebab itu penilaian etis atas suatu tindakan moral hanya berlaku pada manusia karena pertimbangan kesadarannya. Hal ini karena kesadaran itu sendiri sebagai dasar untuk menilai baik-buruknya suatu tindakan.
Sehingga pada manusia, relasi antara pengetahuan dan tindakan tak dapat dipisahkan. Apa yang disebut sebagai ideologi adalah keterkaitan antara apa yang diketahui dan yakini oleh suatu individu atau kelompok dengan bangunan praktik individu (etika) dan sosialnya (sistem politik, ekonomi, kebudayaan). Sehingga individualitas dan struktur bangunan sosial manusia merupakan refleksi dari pengetahuan dan keyakinannya.
Fondasi Paradigma: Mazhab Realisme dan Irrealisme
Dalam filsafat moral yang berporos pada nilai (baik-buruk), terdapat dua hal fundamen yang mesti ditilik. Fundamen ini bersifat paradigmatik, dengan melihat konsepsi sebagai sebuah konsepsi. Mazhab pertama menyatakan bahwa konsepsi moral tidak memiliki realitas obyektif, karena ia hanya ekspresi atas suatu kewajiban, selera ataupun suatu kesepakatan. Pandangan ini disebut ‘irrealisme’. Saat kita mengungkapkan bahwa “keadilan itu baik” sesungguhnya ia hanya ungkapan atas kewajiban kita untuk berlaku adil, atau selera kita yang mungkin kebetulan menyukai keadilan, mungkin juga hanya karena kita bersepakat untuk saling berbuat adil. Sehingga kebaikan pada keadilan bukanlah proposisi yang menyatakan sebuah realitas apa adanya yang terpisah ketiga aspek: kewajiban, selera dan kesepakatan.
Konsekuensinya, proposisi moral tak memiliki tuntutan untuk dikatakan benar ataupun tidak. Lantaran tidak ada fakta obyektif yang hendak dinilai keseuaiannya dengan suatu keyakinan, konsepsi atau suatu narasi. Sehingga konsep baik-buruk tidak memiliki independensi konseptual karena ia hanya terikat pada nilai-nilai kewajiban, selera dan kesepakatan.
Mazhab kedua, disebut ‘realisme’. Kontra dengan irrealisme, pandangan ini menyatakan bahwa proposisi moral memiliki kenyataan obyektif. Jika dikatakan bahwa ‘”keadilan itu baik” bukanlah lantaran kita merasa bahwa itu suatu kewajiban, selera atau kesepakatan, melainkan karena pada realitas obyektifnya keadilan itu memang baik. Artinya, sekalipun kita tidak merasa itu wajib tidak menghilangkan nilai kebaikannya, atau jika kita tak berselera untuk berbuat adil pun tak mereduksi nilai kebaikannya. Dan bahkan sekalipun perbuat keadilan tak disepakati untuk dilakukan juga tak menyurutkan nilai kebaikannya.
Implikasi logis atas kedua mazhab
Kedua pandangan di atas tentu saja memiliki konsekuensinya masing-masing. Irrealisme misalnya mesti bertendensi subyektif, ia baik hanya bagi mereka yang merasa sebagai kewajiban, atau bagi mereka yang berselera juga hanya bagi mereka yang bersepakat untuk mengimplementasikannya. Dan tentu sebalikanya, keadilan misalnya, menjadi buruk bagi mereka yang tak merasa itu sebagai kewajiban, atau mereka yang tak berselera juga bagi mereka tak tak sepakat dengannya.
Dengan begitu, konsekuensi lanjutannya adalah relativisme. Keadilan adalah baik bagi sebagaian dan buruk bagi sebagian lainnya. relativisme moral meniscayakan kesia-sian untuk saling menghakimi tindakan seseorang bagi seseorang lainnya. Sebut saja misalnya, apakah nilai bagi suatu tindakan ‘pencurian’, ya tergantung. Ia baik bagi mereka yang merasa harus mencuri, atau yang senang mencuri dan lebih-lebih mereka yang bersepakat untuk mencuri. Dan sebaliknya buruk bagi yang tak merasa harus mencuri atau tak menghendakinya dan yang tak bersepakat dengan tindakan tersebut. Maka, seseorang tak dapat menilai seseorang lainnya hanya dengan perasaan, selera dan kesepakatan dirinya sendiri.
Sementara pada pandangan realisme, memiliki sejumlah implikasi yang secara logis mesti bertentangan dengan pandangan irealis. Dengan pengandaiannya sebagai suatu realitas obyektif, maka pandangan realis bersandar pada kriteria obyektif. Bahkan penilaian etis berlaku secara obyektif terlepas dari soal-soal subyektif masing-masing individu. Jika pencurian adalah buruk, karena memang terdapat unsur-unsur obyek yang menjadikan tindakan pencurian dengan sendirinya bersifat buruk, di luar preferensi subyektif masing-masing individu. Kita suka atau tidak suka dengan pencurian, pencurian tetaplah suatu keburukan.
Dengan begitu, konsekuensi selajutnya adalah ‘absolutisme moral’. Tentu saja dengan nilai obyektivitasnya maka prosposisi moral mesti bernilai absolut. Tidak ada suatu pertimbangan individual apapun yang dapat mengubah kedudukan nilai dalam suatu tindakan moral.
Kedua pandangan tersebut tentu dapat memunculkan sejumlah pertanyaan filosofis terkait dengan kriteria akan nilai-nilai kebaikan dan keburukan. Pada irrealisme kita dapat bertanya, ‘jika kebaikan suatu tindakan moral berlandas semata pada preferensi individual: keharusan subyektif, selera dan kesepakatan. Lantas bagaimana kebaikan dapat diargumentasikan mesti berciri subyektif?’ dengan kata lain, ‘mengapa yang baik adalah semata karena suatu selera belaka?’
Berikut pula bagi pandangan realis, suatu pertanyaan dapat diutarakan, ‘apa kriteria obyektifitas suatu nilai moral?’ dan ‘mengapa obyektifitas tersebut dapat dikatakan sebagai yang baik atau buruk?’