Kecaman Israel Terhadap Film Farha
Annisa Eka Nurfitria, Lc_____ Pada awal bulan Desember 2022, film yang berjudul “Farha,” yang disutradarai dan ditulis oleh Darin J. Sallam, seorang pembuat film berkebangsaan Jordan-Palestina-Suriah, telah dirilis di platform streaming Netflix. Namun, sejak perilisannya, sejumlah individu di Israel berupaya agar film ini dihapus.
“Farha” mengisahkan perjalanan seorang tokoh utama berusia 14 tahun yang mengalami peristiwa Nakba pada tahun 1948. Nakba, yang berarti ‘bencana’ dalam bahasa Arab, merujuk pada serangkaian peristiwa saat pasukan Israel menyerbu Palestina, menyebabkan pengusiran dan pembunuhan massal warga Palestina serta penaklukan wilayah mereka. Meski pengusiran dan pembersihan etnis yang dilakukan oleh Israel terhadap orang Palestina dan tanah mereka masih terus berlanjut hingga hari ini, namun Nakba menjadi poin awal dari pendudukan Israel di Palestina. Dan akibat sensor yang berkelanjutan terhadap suara Palestina dan larangan terhadap film dan televisi Palestina, kisah Nakba jarang muncul dalam karya seni.
Pemimpin Israel secara konsisten menolak versi peristiwa Nakba sebagaimana diceritakan oleh orang Palestina, dan penolakan ini juga mencakup dunia perfilman dan televisi. Dalam beberapa pekan terakhir, “Farha” menjadi target kampanye pencemaran dari beberapa pihak di Israel, termasuk menteri kebudayaan mereka yang menyebut film ini sebagai “fitnah dan kebohongan.”
Film “Farha” didasarkan pada kisah nyata seorang pengungsi Palestina yang merupakan sahabat dekat ibu Darin J. Sallam. Sutradara tersebut, dalam wawancara dengan Deadline, menjelaskan bahwa perempuan tersebut selamat dari konflik dan menceritakan pengalamannya kepada seorang gadis Suriah, yang kemudian menjadi ibu dari Darin J. Sallam.
Dalam pengarahan Darin J. Sallam, “Farha” menjadi kisah pertumbuhan anak manusaia yang berubah menjadi horor yang mencekam. Adegan pembuka film menggambarkan desa Palestina sebelum dijajah, sebagai tempat yang subur dan penuh kehidupan. Namun, ironi tragis segera terungkap ketika desa tersebut diserbu oleh pasukan Zionis.
Saat terjadi kekacauan pengusiran, ayah Farha memberinya izin untuk pergi ke sekolah kota, tetapi pada malam hari desanya diinvasi oleh pasukan Zionis. Dalam kekacauan tersebut, Farha menolak meninggalkan ayahnya. Sallam menyajikan momen-momen ini tanpa penggunaan musik, hanya dengan suara-suara tembakan dan tangisan, termasuk perintah seorang prajurit Zionis kepada warga Palestina untuk meninggalkan rumah mereka.
Setelah ayah Farha menguncinya di ruang bawah tanah untuk melindunginya, baik Farha maupun penonton masih dapat mendengar teriakan dan suara-suara mengerikan lainnya dari luar tembok tipis tersebut. Seperti halnya penonton, tokoh Farha tidak melihat invasi secara keseluruhan
Bagi film ini, suara memiliki peran penting. Suara memiliki andil dalam menciptalan suasana horor, membiarkan imajinasi membayangkan hal-hal yang tidak terlihat. Tapi “Farha” bukanlah film horor supernatural, melainkan kisah tentang kengerian hidup melalui pembersihan etnis dan kekerasan kolonial.
Aktor utama, Karam Taher, menampilak karakter yang kuat, menggambarkan dengan indah pengalaman seorang gadis remaja yang terdampar dan harus bertahan hidup. Dalam pengaturan yang penuh ketegangan, ia berusaha menahan perasaan jijik dan ketidaknyamanan, membiarkan penonton merasakan secara mendalam kengerian yang ia alami.
Meski penonton tidak melihat seluruh invasi, Sallam berhasil menggambarkan kengerian dengan suara-suara tembakan, tangisan, dan perintah-perintah tentara Zionis. Farha menjadi terjebak dalam pengalaman traumatis, terisolasi di ruang bawah tanah, menjadi saksi penderitaan keluarganya dan suara-suara kekerasan di sekitarnya.
Akhir film menunjukkan Farha meninggalkan rumahnya, menuju matahari terbenam, setelah berhari-hari terkurung dalam kegelapan. Namun, seperti banyak Palestina yang terusir oleh pasukan Israel, meskipun ia bertahan untuk melihat matahari lagi, ia tidak dapat kembali ke rumahnya.
Saat ini, banyak warga Israel dan pendukung gerakan Zionis berusaha untuk menghapus “Farha” dari Netflix dan mencemarkan film tersebut melalui ulasan dan peringkat negatif di berbagai platform. Kampanye ini bahkan melibatkan penurunan peringkat film dari 7.2 menjadi 5.8 dalam waktu singkat setelah perilisan, serta ratusan ulasan negatif yang diduga berasal dari akun spam.
Beberapa pejabat Israel, termasuk menteri keuangan yang saat itu menjabat, Avigdor Lieberman, menyatakan ketidaksetujuan mereka terhadap film ini. Salah satu kritik yang dilontarkan adalah bahwa film ini disebut menciptakan citra palsu dan menghasut terhadap tentara Israel.
Namun sejumlah tokoh, seperti jurnalis Ahmed Eldin dan kelompok solidaritas Palestina di Amerika Serikat, menyerukan untuk menonton film ini dan memberikan ulasan positif sebagai respons terhadap kampanye pencemaran.
Darin J. Sallam, bersama dengan produser Deema Azar dan Ayeh Jadaneh, mengeluarkan pernyataan mengecam pelecehan dan kampanye pencemaran yang mereka alami, yang dipimpin oleh Israel terhadap “Farha.” Mereka menegaskan bahwa upaya untuk membungkam suara mereka sebagai orang Semit/Arab dan pembuat film perempuan adalah pelanggaran terhadap kebebasan berbicara. Mereka menekankan bahwa meskipun ada upaya keras untuk melawan “Farha,” mereka tidak akan mundur dari tujuan mereka untuk membagikan film dan kisah yang dihadirkannya kepada penonton di seluruh dunia. Mereka menegaskan bahwa film ini ada, mereka sebagai pembuat film ada, dan mereka tidak akan diam saja..
Pada akhirnya, “Farha” tidak hanya menjadi sebuah karya seni yang menggambarkan peristiwa Nakba dan kekejaman kolonial, tetapi juga menjadi subjek kontroversi di dunia nyata. Sementara beberapa pihak berupaya untuk merendahkan dan menghapusnya, yang lain menyuarakan dukungan dan menyerukan untuk mendengar suara Palestina.
Sebagai catatan, kini film “Farha” tidak lagi tersedia untuk ditonton di Netflix. Sementara kampanye negatif terus berlanjut, namun semakin banyak suara pula yang bersatu untuk mendukung karya seni yang menceritakan kisah tragis ini. Selalu penting untuk menghormati kebebasan berbicara dan mendengarkan berbagai perspektif, terutama dalam konteks sejarah yang penuh dengan penderitaan dan perjuangan. From River to Sea, semoga perdamaian dan keadilan akhirnya menyelimuti tanah Palestina. Amin.