Konsep Hikmah (Kebijaksanaan) dalam Perspektif al-Qur’an dan Falsafah Islam
Oleh:
Fardiana Fikria Qur’any, S. Th, I., MA
Istilah-Istilah
Kebijaksanaan adalah istilah yang sering didengungkan ketika membahas tentang filsafat. Philo dan Sophia berasal dari bahasa Yunani, dua kata yang membangun kata filsafat memiliki arti Cinta Kebijaksanaan. Orang yang mencintai kebijaksanaan disebut filosof. Sebuah sebutan yang diberikan Pythagoras kepada Socrates untuk membedakannya dari kaum sofis pada masa itu.
Nanang Tahqiq dalam buku Asas-Asas Falsafah Islam menjelaskan secara panjang lebar secara bahasa terkait istilah filsafat. Tahqiq berargumen bahwa penulisan yang benar adalah falsafah atau falsafat bukan filsafat karena tidak memiliki akar bahasa yang jelas. Namun, apapun istilah filsafat yang digunakan, istilah tersebut tidak berasal dari bahasa Arab itu sendiri. Kata philosophia berasal dari Yunani, philosophy berasal dari bahasa Inggris, sementara bahasa Arab menggunakan istilah Hikmah/Hikmat[1] yang berarti kebijaksanaan.
Al-Qur’an sebagai sumber inspirasi falsafah Islam tentu memiliki pengaruh besar terhadap para failasuf dalam membangun konsep dan teori di dalam falsafah Islam itu sendiri. Oleh karena itu melihat dan membaca kembali ayat-ayat Hikmah di dalam al-Qur’an untuk memperoleh maknanya secara komprehensif adalah hal yang penting dan memiliki urgensitasnya sendiri.
Ayat-Ayat Hikmah dan Kontekstualisasinya
Berdasarkan Kitab Mu’jam al-Qur’an, kata Hikmah muncul di dalam al-Qur’an sebanyak 20 kali di dalam surat yang berbeda-beda dan konteks ayat yang berbeda pula.
- Hikmah adalah Kebaikan yang Berlimpah
يُؤْتِي الْحِكْمَةَ مَنْ يَشَاءُ ۚ وَمَنْ يُؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ أُوتِيَ خَيْرًا كَثِيرًا ۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّا أُولُو الْأَلْبَابِ
Artinya: Allah menganugerahkan al hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al Quran dan As Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).
- Hikmah adalah sesuatu yang dapat diajarkan
- كَمَآ اَرْسَلْنَا فِيْكُمْ رَسُوْلًا مِّنْكُمْ يَتْلُوْا عَلَيْكُمْ اٰيٰتِنَا وَيُزَكِّيْكُمْ وَيُعَلِّمُكُمُ الْكِتٰبَ وَالْحِكْمَةَ وَيُعَلِّمُكُمْ مَّا لَمْ تَكُوْنُوْا تَعْلَمُوْنَ ۗ ﴿البقرة : ۱۵۱﴾
Artinya: Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu seorang Rasul (Muhammad) dari (kalangan) kamu yang membacakan ayat-ayat Kami, menyucikan kamu, dan mengajarkan kepadamu Kitab (Al-Qur’an) dan Hikmah, serta mengajarkan apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah: 151)
Konsep Hikmah: Pengetahuan atau Pemahaman
Jika kita mengingat kembali doa yang diajarkan oleh Nabi Muhammad “Rabbi zidni ‘ilman, warzuqni fahman” yang artinya ‘Ya Allah tambahkan ilmuku dan berikanlah aku pemahaman”. Ada dua hal yang diminta oleh hambaNya yaitu, yang pertama adalah ilmu dan yang kedua adalah pemahaman. Ilmu ini bersifat perolehan atau dalam filsafat kita kenal dengan istilah hushuli yaitu, ilmu yang diperoleh melalui segenap usaha/ikhtiyari. Kedua, hal yang diminta oleh hambaNya ialah, pemahaman. Pemahaman ini menggunakan kata kerja “Warzuqni” di mana sifatnya sudah tidak lagi sebuah perolehan, melainkan sebuah pemberian dari Allah SWT yang sifatnya hudhuri. Tampaknya hal ini relevan dengan isyarat ayat-ayat sebelumnya tentang Hikmah.
Kita bisa melihat bahwa mayoritas ayat-ayat tentang hikmah menekankan dimensi pengetahuannya. Hikmah sebagai satu jenis pengetahuan manusia yang bisa didapat secara hushuli yaitu, melalui proses pembelajaran, ada yang diajari dan mempelajari dan begitu juga berkaitan dengan penyucian jiwa atau purifikasi yang menjadi syarat awal terbukanya pintu pemahaman yang sifatnya hudhuri. Dengan demikian, hikmah yang diartikan sebagai salah satu jenis pengetahuan baik itu bersifat perolehan maupun pemberian. Dengan kata lain, hikmah bersifat epistemik karena berhubungan dengan pengetahuan manusia.
Hikmah menurut Para Filosof Muslim
Para filosof muslim dengan berbagai mazhab filsafatnya, meski berusaha membangun satu definisi masing-masing tentang hikmah atau filsafat dengan bahasa yang berbeda, namun memiliki maksud yang sama. Dimulai dari aliran Peripatetik, diwakili oleh Ibn Sina, Ikhwan al-Shafa, aliran Iluminasi oleh Suhrawardi, ada juga Ikhwan al-Shafa dan terakhir ialah, filsuf yang dikenal dengan karyanya yang berjudul al-Hikmah al-Muta’aliyah.
Menurut Ibn Sina, “al-Hikmah” (ia menyamakan dengan filsafat) merupakan satu upaya mencapakai kesempurnaan jiwa melalui konseptualisasi (tashawwur) atas segala hal dan pembenara (tashdiq) realitas-realitas teoretis dan praktis berdasarkan ukuran kemampuan manusia. Suhrawardi dengan tegas menggunakan kata Hikmah dalam karyanya yaitu, Hikmah al-Isyraq. Suhrawardi melihat Hikmah yang terutama sebagai al-hikmah al-ilahiyyah (secara harfiah, kebijaksanaan ilahi atau teosofi) yang harus direalisasikan dalam sosok utuh manusia dan bukan hanya secara mental. Kita juga dapat menemui pandangan Suhawardi dalam karyanya yang mengatakan dengan tegas bahwa tingkat dan derajat tertinggi hikmah mensyaratkan kesempurnaan daya rasional dan kesucian jiwa. Adapun Ikhwan al-Shafa menulis “Permulaan filsafat adalah cinta pada ilmu, pertengahannya adalah pengetahuan tentang realitas wujud sesuai ukuran kemampuan manusia, dan pamungkasnya adalah kata dan perbuatan yang sesuai dengan kemampuan itu.
Mulla Sadra pada bagian awal kitab Asfar menuliskan bahwa “Falsafah adalah upaya penyempurnaan atas jiwa manusia dan dalam beberapa hal, atas kemampuan manusia melalui pengetahuan tentang realitas esensial segala sesuatu sebagaimana adanya dan melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan atas dasar demonstrasi dan bukan diturunkan dari opini atau dugaaan.
Titik Temu Konsep Hikmah: Pencapaian Rasionalitas dan Spiritualitas
Filsafat dikenal dengan diskursus rasionalnya, perdebatan yang tak berujung tentang isu-isu yang beragam, mulai dari yang metafisik hingga saintifik. Berbeda dengan Barat, falsafah Islam membangun diskursus bukan untuk filsafat itu sendiri, bukan untuk diskursus itu sendiri, melainkan memiliki tujuan lebih dari itu yaitu, untuk meraih pencapaian spiritualitas.
Kalimat “innalillahi wa inna ilaihi roji’un” yang berarti ‘sesungguhnya kami berasal dari Tuhan dan kelak hanya kepadaNya kami kembali’. Dalam kacamata kosmologi yang memiliki visi antropokosmik – di mana terdapat hubungan holistik antara makrokosmos (alam semesta) dan mikrokosmos (manusia) dengan Tuhan – bahwa setiap manusia diciptakan dengan cara yang sama dan diberikan fitrah serta potensi yang sama apapun agamanya, rasnya, warna kulitnya. Datangnya manusia ke alam ini dengan cara yang sama, namun pemahamannya, pandangan dunianya yang kemudian membuat setiap manusia berbeda dalam menentukan cara kembali pada asalnya.
[1] Istilah حکمة/حکمت dibaca Hikmah jika dalam bahasa Arab dan dibaca Hikmat jika itu bahasa Persia. Tapi penulis menggunakan istilah Hikmah dalam artikel ini.