Sudah Ada Sains Dan Filsafat Untuk Apa Agama (bag. 2)
Sudah Ada Sains Dan Filsafat Untuk Apa Agama (bag. 2)
Mengapa Butuh Agama (I)?
Oleh:
Fardiana Fikria Qurany, MA
Agama dan Tuhan adalah tema yang tak pernah lekang dengan waktu. Setiap tahapan sejarah yang dilalui oleh manusia selalu ada dan bahkan makin menguat dimensi percakapan manusia soal agama dan Tuhan. Karena tidak saja kedua hal tersebut—dan tema turunannya—berkaitan soal-soal akademik, analisa ilmiah atau diskursus pemikiran tapi terkait secara intim dengan pandangan hidup, keyakinan, akidah yang kelak akan membentuk pola dan sistem hidup seseorang, kelompok atau komunitas yang lebih besar lagi.
Agama—sekali lagi—berbeda dengan segenap pengetahuan manusia, baik pengetahuan ilmiah, logika dan atau pengetahuan filsafat. Agama adalah ajaran yang tidak sekedar untuk dipahami tapi dipercaya dan dijalankan. Maka agama pada dasarnya bukan sebuah ilmu, tapi tuntunan, yang akan menjadi ilmu (ilmu agama) saat terjadi konstruksi, penafsiran atau interpetasi atasnya.
Kembali lagi, problem yang mengemuka, apa yang mengharuskan manusia mesti menerima agama? Apakah ada kebutuhan absolut manusia pada agama? Kelak semua pertanyaan soal agama akan berpuncak pada pertanyaan adakah eksistensi Tuhan? Dan apakah Dia benar-benar menguasai hidup manusia dan alam raya ini?
Atas pertanyaan tersebut, sejumlah pemikiran lahir, baik argumentasi yang mengafirmasi adanya Tuhan dan keharusan manusia untuk menerima agama, atau argumentasi yang menolaknya, mengingkari eksistensi Tuhan, atau yang juga mengafirmasinya namun tak menerima konsepsi-konsepsi secara kelembagaan yang dikembangkan dalam agama-agama yang ada.
Namun yang perlu diperhatikan, kesemua argumentasi adalah argumentasi pengetahuan, yang berasas pada konsepsi-konsepsi rasional filosofis dengan konsep sebab-akibat, atau kosmologis dengan konsep ketata-harmonisan alam, atau argumen etis-spiritual dengan adanya rasa cinta, kasih sayang pada diri manusia. Yang semua itu berada di titik nadir pengetahuan, dan selanjutnya adalah unknown sebuah ketidaktahuan yang hendak diberikan wujud ontologisnya: Tuhan.
Artinya, manusia dalam aneka argumennya, hanya mengkonstruksi Tuhan dengan kemampuan akalnya. Namun yang pasti tak pernah menyaksikannya sendiri mengenai wujudNya.
Dari Filsafat Jiwa Menuju Keyakinan
Dalam diri tiap manusia, ada hal yang unik, yang justru menjadi sandaran utama bagi formula sistem aksi tindakan kehidupannya. Yakni Keyakinan. Sebuah tindakan kejiwaan yang menerima kebenaran sesuatu.
Dalam ilmu logika kita kenal istilah “proposisi”, dimana ia terdiri dari dua konsep, yang masing-masing menjadi subyek dan predikat. Karena terkait subyek dan predikat, maka kedua konsep dalam tatanan proposisi (predikatif) mengandaikan suatu hubungan yang tak tertulis dan tak terlihat, yang hanya dipahami dalam pikiran.
Seperti saat kita berkata “Api Itu Panas”, maka kita memiliki dua konsep yakni “api” sebagai subyek dan “panas” sebagai predikatnya. Dalam proposisi ini tidak sekedar menunjukkan adanya konsep tentang api dan panas, tapi pikiran mengerti akan adanya hubungan di antara keduanya. Nah, hubungan inilah yang hendak diyakini kebenarannya, yakni apakah memang api itu panas? Tanpa pemahaman mengenai hubungan keduanya dalam proposisi di atas, kita tak dapat menilai apa-apa kecuali adanya dua konsep yang tak saling berkaitan tesebut.
Jika hubungan itu mewujud di realitas dalam kesatuannya, maka “api itu panas” dapat dibenarkan, atau diterima dan dipercaya kebenarannya.
Jiwa kita, selain berfungsi menyantirkan realitas dalam bentuk-bentuk mental indrawi-imajinatif (primer) dan pengetian-pengertian abstrak-sekunder, juga melakukan satu tindakan penting “percaya”.
Kita dapat menolak menerima atau tak mempercayai suatu sistem kepercayaan tertentu, namun kita tak bisa menampik adanya rasa untuk percaya dalam tiap diri manusia. Untuk itu, karakter jiwa yang paling mendasar, adalah “kehendak untuk percaya”. Tak ada jiwa yang tak berkarakter demikian, sekalipun saat seseorang tak percaya atau ragu.
Karena ketakpercayaan tak berarti lenyapnya kehendak untuk percaya, tapi menolak untuk memberi kepercayaan atau suatu yang disebut sebagai kebenaran. Yang itu berarti keprcayaan akan kebenaran ada, dan justru dengan adanya rasa percaya tersebut, kita bisa untuk tidak percaya. Bagaimana bisa untuk tidak percaya, jika rasa percaya sendiri tidak ada?
Berikut pula soal keraguan, ia hanya aksi menunda untuk menerima-mempercayai kebenaran sesuatu. Yang lagi-lagi menegaskan akan mendasarnya karakter kepercayaan sebagai substansi pada jiwa.
Jiwa yang memiliki “kehendak untuk percaya” sebagai fitrahnya, maka kepercayaan pula mesti tertuju kepada apa yang disebut sebagai kebenaran. Artinya, yang hendak dipercaya oleh jiwa adalah kebenaran, apapun status kebenaran tersebut. Saat seseorang menyembah api, itu karena ia percaya bahwa api adalah Tuhan yang benar. Begitu pula saat seseoang menolak menyembah api, karena ia percaya bahwa api bukan Tuhan.
Pertanyaannya, bagaimana jiwa kita memiliki karakter kepercayaan? apapun agama, suku, ras dan warna kulit kita. Yang berarti jiwa memiliki hukum pada dirinya, yakni hanya menerima yaitu hanya percaya pada kebenaran baik sesuatu yang benar dan sesuatu yang salah, karena pengetahuan yang sadar akan sebuah kesalahan adalah juga suatu kebenaran.
Maka jelas, jiwa kita tersetting untuk percaya pada yang benar, dan menolak yang salah. demikian fitrah jiwa manusia. Itu sebabnya, mengapa di saat dalam suatu keraguan tertentu jiwa seseorang terasa bimbang, terasa tak nyaman, adalah karena keraguan adalah kondisi jiwa yang belum dalam posisi utamanya: Percaya.
Kepercayaan membutuhkan kebenaran, dan kebenaran mesti dicapai oleh pengetahuan. Maka apapun yang hendak dipercaya mesti diketahui kebenarannya, dan secara faktual pengetahuan akan kebenaran bermacam-macam menurut sudut pandang paradigma yang berbeda-beda.
Maka, sejauh agama adalah suatu kebenaran, maka ia akan selalu dibutuhkan oleh jiwa untuk dipercayai. Semakin tinggi dan luas cakupan suatu bentuk kebenaran akan semakin butuh manusia padanya. Jika air dibutuhkan hanya untuk minum dan mencuci, maka di luar aktivitas minum dan mencuci, maka manusia tak butuh pada air.
Lantas bagaimana dengan agama? Apakah ia sebuah kebenaran sehingga layak dan wajib untuk dipercaya, dan sejauh mana cakupannya dalam kehidupan manusia?
Bersambung..