Konsepsi Sejarah Menurut Murtadha Muthahhari
Oleh: Fardiana Fikria Qur’any, M. Ud
Konsepsi kedua yang perlu kita pahami dalam melihat secara keseluruhan pemikiran Muthahhari terkait dengan filsafat sejarahnya ialah, konsepsi sejarahnya. Diskursus sejarah lahir untuk menjawab pertanyaan esensial mengenai sejarah yaitu, apakah sejarah itu bersifat aktif atau menjadi bahkan hidup seperti bagian dari makhluk yang hidup atau sejarah bersifat pasif seperti benda-benda saja? Oleh karena itu, pada kesempatan ini, kita akan melihat jawaban Muthahhari atas pertanyaan tersebut. Namun, sebelum menjelaskan tentang sifat sejarah, maka kita perlu membatasinya dalam definisi yang jelas, sehingga kita bisa tahu apakah sejarah yang dimaksud itu adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau yang bersifat personal atau Hukum-hukum atas peristiwa yang bersifat universal?
Definisi Sejarah
Muthahhari mengklasifikasikan sejarah berdasarkan objek sejarah yang dipelajarinya. Pertama, sejarah tradisional. Sejarah tradisional memiliki padanan kata Arabnya dengan istilah Tarikh Naqli. Sejarah yang dimaksudkan di sini dibatasi hanya dengan mempelajari objek kajiannya pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa lampau melalui catatan-catatan sejarah atau bukti lainnya. Kedua, lawan dari sejarah tradisional yaitu, sejarah ilmiah atau Tarikh Aqli dalam istilah Arabnya. Kalau yang pertama cenderung mengutip data dan catatan sejarah, sementara yang kedua merupakan analisis atas apa yang terjadi di masa lampau sehingga menghasilkan sebuah kesimpulan hukum-hukum mengikatnya. Hukum-hukum yang bahkan bukan saja mengikat peristiwa masa lampau, melainkan juga peristiwa hari ini dan yang akan datang. Hukum bersifat universal. Klasifikasi kedua ini masuk pada bagian dari ilmu sosiologi.
Klasifikasi terakhir yang dilakukan oleh Muthahhari dalam membatasi sejarah ialah, pada status ontologisnya. Status ontologis yang dimaksud ialah, membincang tentang hakikat dari sejarah itu sendiri, apakah dirinya sesuatu yang bersifat aktif dan dinamis atau sesuatu yang bersifat pasif dan statis? Jawaban dari pertanyaan inilah yang menentukan status ontologis sejarah. Klasifikasi terakhir inilah yang dimaksud dengan filsafat sejarah.
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa sejarah itu ada yang membahas peristiwa spesifik kita sebut dengan sejarah tradisional (ilmu sejarah) ada juga yang membahas hukum-hukumnya disebut dengan sejarah ilmiah (sosiologi) dan yang terakhir membahas tentang status ontologisnya (filsafat sejarah). Ketiganya saling berhubungan dan tidak bisa dilepaskan satu dari yang lainnya. Karena untuk menghasilkan hukumnya, maka perlu ada data sejarah yang dianalisa. Hukum universal pasti berangkat dari fakta-fakta yang bersifat partikular.
Muthahhari membatasi pembahasan konsepsi sejarahnya hanya pada sejarah ilmiah dan filsafat sejarah saja. Meskipun begitu, sejarah tradisional menjadi bagian dari pembahasan keduanya.
Sejarah; Hukum Universal
Dalam sejarah ilmiah maupun filsafat sejarah, otentisitas data dan catatan sejarah adalah hal penting. Oleh karena itu, langkah awal sebelum masuk pada analisis, maka yang perlu dilakukan ialah, menganalisis otentisitas peristiwa sejarahnya. Setelah persoalan otentisitas sejarah, untuk menyimpulkan sebuah hukum universal dari beberapa peristiwa sejarah harus berangkat dari satu pemahaman bahwa sejarah ini sangat bergantung pada sebab-akibat, karena tanpa sebab-akibat, akan sangat sulit dilakukan generalisasi dan universalisasi. Pertanyaannya kemudian, sejauh mana sebab-akibat ini mendasari setiap peristiwa? Apakah keberadaan sebab-akibat ini menafikan kehendakbebas manusia dalam menentukan sejarah hidupnya sendiri? Manusia tetap memiliki kebebasan pada dirinya sehingga ia punya tanggungjawab atas setiap perilaku yang dilakukan dan kebebasannya justru menjadi penting untuk menentukan arah sejarah.
Persoalan lain yang muncul dalam penentuan hukum universal ini adalah terkait dengan apakah sejarah ini bersifat material atau non material? Atau sejarah merupakan dua sisi material dan material dalam satu waktu? Di sini kita akan memfokuskan pada pandangan Islam yang dipaparkan oleh Muthahhari sebagai seorang filsuf yang beraliran Realisme Teologis.
Dalam Islam, ruh merupakan sesuatu yang mendasar bagi sejarah. Kebutuhan dan dorongan ruhani adalah mendasar bagi keberadaan manusia dan tak bergantung pada kebutuhan – kebutuhan bendawi. Begitu juga dengan pikiran pun tak bergantung pada tindakan dan sifat jiwa manusia mendahului bentuk kemasyarakatan kepribadiannya. Dengan demikian, di dalam Islam, sifat yang mendasar bagi sejarah, bukanlah material melainkan unsur non materialnya yang kita sebut dengan ruhaniyah. Dimensi ruhaniyah dimiliki oleh setiap manusia, bahkan manusia selevel Fir’aun.
Terkait dengan perubahan sejarah, Islam bukan saja membahas tentang kehendak bebas melainkan yang memengaruhi perubahan sejarah ialah, kekuatan nasehat, teguran, peringatan hujjah dan penalaran logis (hikmah). Semua yang disebutkan bersifat non material. Gerakan non material inilah yang sangat berpengaruh terhadap perubahan gerak jiwa seseorang.
Salah satu hukum sejarah yang disampaikan oleh al-Quran ialah, bahwa kebenaran (haq) merupakan poros wujud dan keberadaan masyarakat manusia, falsafah teologis yang berdasarkan pada prinsip-prinsip khasnya menyatakan bahwa kebaikan pasti akan mengalahkan kejahatan, yang benar akan mengalahkan yang salah, dan bahwa kejahatan bersifat kebetulan, relatif dan tidak hakiki, keberadaannya tak sejati dan tak berdiri sendiri.
Realisasi Idealitas Hukum Sejarah al-Qur’an
Pertarungan ideologi di jagat raya ini, sangat memengaruhi definisi-definisi kita tentang apa yang ada, memengaruhi penafsiran kita atas apa yang terjadi. Dari sedikit pemaparan tentang hukum sejarah menurut Islam, kita bisa menyimpulkan bahwa baik gerak sejarah justru sangat bergantung pada kekuatan spiritual, kekuatan ruhaniah.
Kita bisa melihat sendiri Islam Iran yang memperjuangkan gagasan-gagasan sosial kemasyarakatan, nilai-nilai kemanusiannya bahkan tercatat oleh sejarah bahwa revolusi besar Islam Iran dipimpin bukan oleh kekuatan ekonomi masyarakat saat itu, melainkan kekuatan hati, kekuatan pikiran, kekuatan akan kesadaran bersama yang terdapat pada seluruh jiwa masyarakat Iran saat itu. Namun proses ini bukanlah sebentar, perlu waktu untuk merealisasikan idealitas hukum sejarah yang disebut dalam Islam di atas
Kesimpulannya ialah, bahwa menurut Mtuhahhari ideologi Islam yang berasaskan tauhid, menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan memperjuangkan nilai kemanusiaan adalah sesuatu yang berdasarkan pada kekuatan ruhaniyah, non material, bukan material apalagi sampai pada basis pembagian kelas level ekonomi, bukan sama sekali.